“Maaf” ucap Esa datar begitu aku
tiba di ujung tangga aula. Ia tak henti menatap ku. Entah mengapa kata maaf tak
berarti apapun.
“Gue minta maaf” ucapnya lagi. Ku angkat kepala ku,
menatapnya sinis. Masih tak habis pikir bahwa buku harian yang menjadi pemicu
bencana itu telah hilang di tangannya. Terlebih saat ku tahu buku itu terkena
razia bagian keamanan pusat santri putra. Masih teringat jelas wajah
menyebalkan tak bersalahnya ketika ia mengatakan buku harian ku itu sudah tak
lagi di tangannya. Masih ku rasakan pula betapa aku takut bila buku itu sampai
jatuh ke tangan orang lain. Dan benar saja, buku itu sudah menghilang.
“Asal lo tau, gue lebih ikhlas buku itu lo bakar dari
pada lo jaga dan sekarang hilang” ucap ku masih menatapnya sinis. Wajahnya
masih terlihat datar dan menatap ku lembut. Oh,
Esa Rajawali. Aku sempat bertanya-tanya apa yang tersimpan dalam diri
laki-laki itu. Selalu saja emosi ku yang kian membara itu redam ketika aku
menatap matanya.
“Gue bakal ambil buku lo sama Ustad Dasep” ucapnya lagi.
“Tapi itu tak akan merubah apapun” ucap ku. Sudah pasti,
nama ku sudah termasuk dalam daftar hitam cacatan bagian keamanan pusat. Tak
bisa dielakan lagi semua akan mempengaruhi nilai kelulusan ku nanti. Aku memang
tak berharap mendapat nilai sempurna, tapi aku tak mau bila mendapat nilai
buruk hanya karena kekonyolan ku sendiri.
“Kita coba ajah dulu, nanti setelah ashar kita ketemu
di tangga kamar para ustad” ucapnya
dan berlalu.
*****
Azan ashar telah berkumandang, aku bergegas untuk
sholat di masjid. Seperti yang dijanjikan Esa. Ia telah menunggu ku tepat di
anak tangga pertama kamar para ustad. Wajahnya muram, memandang sesuatu yang
tak terlihat oleh pandangan ku. Ia sama sekali tak bereaksi begitu aku tiba di
dekatnya. Ia sedang memikirkan sesuatu pikir
ku. Hingga beberapa detik kemudian ku putuskan untuk menghentakan kaki agar ia
menyadari kehadiran ku. Ia terkesiap, tampak begitu jelas rona keterkejutan di
sana. Aku memandangnya lekat, pria
misterius. Entah mengapa otak ku
sibuk mencari semua tumpukan dokumen tentang pria itu. Pria misterius yang
membuat ku gerah, kini ada di hadapan ku dengan wajah yang sangat sulit ku
artikan.
“Ayo..” ucapnya, memudarkan lamunan ku. Aku mengikuti
langkahnya dari belakang. Suaranya berat, sudah jelas ia sedang memikirkan
jalan keluar dari sesuatu. Mungkin masalah ini, iya buku harian ku.
Tak lama, anak tangga ini sudah mengantar kami pada
sebuah kamar. Esa mengetuk daun pintu beberapa kali dan mengucapkan salam.
Namun, hingga salam yang ketiga kali tak pula ada jawaban. Ia memalingkan
pandangannya pada ku, kali ini aku yang terkesiap. Matanya mengisyaratkan
sesuatu yang begitu pilu.
“Yaudah, mungkin..”
“Gak dikunci, ayo masuk...” Esa memotong ucapan ku dan
menarik tangan ku begitu saja.
“Esa...Jangan!!” aku tak kuasa. Ia menarik ku begitu
kuat, hingga dengan mudahnya membuat ku terhuyung mengikuti langkahnya.
“Kita gak boleh masuk kesini” ucap ku, menatapnya
nanar. Esa tak menghiraukan ku, dan mulai meluaskan pandangannya mencari
sesuatu.
“Kalau ketauan bisa bahaya!!!!” ucapku lagi. Esa tetap
tak menghiraukan ku, ia hanya mengangkat tangan kirinya ke arah ku. Apa itu isyarat untuk tenang? Ah,
menyusup ke kamar ustad yang menjabat sebagai bagian keamanan pusat adalah cara
bunuh diri yang paling konyol. Bagaimana aku bisa tenang?
“Gak ada” ucapnya.
“Kita harus cari di tempat lain” ucapnya lagi, sambil
mengatur deru nafasnya yang mulai tak karuan.
“Yaudah, sebelum semua tambah buruk kita harus keluar
sekarang” ucap ku kemudian, tak berapa lama ia mulai melangkahkan kakinya
menuju daun pintu. Tiba-tiba terdengar suara derap langkah dari luar ruangan.
Aku gugup, tanpa sadar ku genggam lengan Esa kuat-kuat.
Esa masih terdiam, derap langkah itu semakin mendekat.
Tak dapat membayangkan, hukuman apa yang menunggu bila kami tertangkap basah
berada dalam ruangan ini.
“Keluar kalau keadaan sudah aman” ucapnya, melepaskan
genggaman ku. Ia mulai membuka daun pintu. Begitu bayang-bayang seseorang mulai
terlihat dari jendela kaca. Ia mulai melangkahkan kakinya. Aku hanya membisu
dalam ketakutan ku. Terlihat oleh ku, ia berbicara dengan seseorang yang masih
tak terlihat jelas. Tak lama, mereka mulai berjalan menuruni tangga. Meski aku
tak yakin, tapi ku rasa inilah saat yang tepat untuk keluar.
*****
Esa telah sukses berat membuat ku jengkel. Bagaimana
mungkin setelah kejadian itu ia sama
sekali tak menganggap kehadiran ku. Tak menyapa saat berpapasan, tak saling
bicara meski kami terlibat dalam kasus penting sekalipun. Buku harian yang
telah ia hilangkan pun turut tenggelam bersama sikap acuhnya. Ia adalah
satu-satunya laki-laki yang berhasil membuat ku gamang. Awalnya ku pikir ia
hanya butuh waktu untuk tak ku ganggu. Atau ia depresi karena tak bisa memenuhi
janjinya mengembalikan buku harian ku. Tapi kini? Hari-hari telah berganti menjadi
bulan, bulan pertama, kedua dan seterusnya ia telah mengacuhkan ku. Begitukah
laki-laki? Memutarbalikan keadaan hingga dengan mudahnya membuat ku merasa
bersalah.
Seperti kali ini, ia duduk di depan televisi kantor bagian pengajaran
bersama para santri kelas akhir lainnya. Dan tentu saja aku pun berada di sana.
Entah mengapa meski aku kesal, hati ku tetap bertanya-tanya mengapa ia
mengacuhkan ku sekian lama.
“Biasa aja kali liatnya” ucap Diana mengejutkan ku.
“Apaan sih Dian?” jawab ku malu. Iya malu, karena aku tertangkap basah tengah
melirik Esa. Sungguh jarak yang terbentang saat ini membuatku merasa ada banyak
perubahan dalam diri ku. Aku bahkan telah lupa rasanya kesal karena kecerobohannya
menghilangkan buku harian ku. Yang ada, kian waktu berlalu semakin aku
khawatir. Takut, ia mengacuhkan ku untuk selamanya.
“Esa kan?” hardik Diana menyelidik, ia menatap ku
dengan senyuman tersungging yang penuh arti. Sial! Batin ku kesal “Sssst Dian” ucap ku sambil membungkam
mulutnya.
“Emang ada apa? Ko kalian gak seakrab dulu?” tanya
Diana lagi.
“Emang harus ada alasan?” ku palingkan wajah ku.
Menatap kaus kaki hitam yang membungkus kedua kaki ku.
“Ya” jawabnya. Aku tak menjawab masih melihat kedua
kaki ku yang terbingkai sandal jepit warna biru. “Heummm...”
“Apa karena Esa jadian lagi sama Listy?” What? Are you serious? Aku tercekat,
semua kata yang ingin ku ucapkan tersangkut ditengah kerongkongan ku. Apa karena hal itu?
“Lo gak tau? Oh my God!! kudet banget sih” Pekik Diana melihat ekspresi
bodoh ku. Ia mengambil selembar kertas
di hadapannya dan membentuknya menjadi sebuah pesawat. Tak lama setelah
itu ia mengayunkan tangannya seraya melepas pesawat itu ke udara. Pandangan ku
tersita oleh pesawat kertas itu. Sampai terjatuh tepat di hadapan Esa. Deg deg deg ... pandangannya bertemu
dengan pandangan ku. Tapi ia hanya mengernyitkan alisnya dan kembali berpaling.
“See?” Diana tergelak menyaksikan sikap ku yang kaku.
Aku mendengus, melipat kedua tangan ku. Baru ku sadari, dibalik bayang-bayang
kursi antara Esa dan Listy ada sebuah kekuatan tersembunyi dalam genggaman
tangan mereka. Is it true?
*****
“Oke sayang, Gue ngawas dulu. Good luck for your guy”
goda Diana sambil mengedipkan matanya. Sial!
Aku hanya terdiam menyaksikan kepergian mereka. Tinggal lah aku bersama sebuah
ruangan yang sepi. Suara sayup-sayup televisi
masih terdengar dengan jelas. Ku lihat Esa sama sekali tak merubah posisi
duduknya. Ia masih asik melihat tayangan dalam televisi. Tak ada siapapun dalam ruangan ini, mungkin ini saat yang
tepat untuk mencari tahu drama macam apa yang telah berlangsung saat ini. Ku
pandang wajahnya lekat. Menarik nafas sekuat-kuatnya untuk menetralisir detak
jantung ku yang mulai tak karuan. “Satu
dua tiga ..” bisik ku dalam hati.
“Sssaaaa...” ucap ku gemetar. Tapi ia sama sekali tak
bereaksi apa ia tak mendengar? Gak
mungkin ! ruangan ini terlalu sepi untuk tidak bisa mendengar suara yang
susah payah ku keluarkan itu.
“Essss..Esa!!!!” panggil ku lagi. Kali ini ia menoleh
ke arah ku. Lagi dan lagi tatapan dinginnya menyudutkan ku. Aku tercekat, semua
pertanyaan yang mengantri keluar dalam kerongkongan ku lari begitu saja.
“Lo kenapa
sih?” tanya ku setelah mengobrak-abrik tumpukan kosa kata cadangan dalam otak
ku. Ia masih menatap ku aneh. Seperti
melihat seorang pantonim yang make up-nya
luntur karena keringat di tengah pertunjukan. Atau menyaksikan stand up comedy yang isinya cuma sampah.
“Kenapa lo diemin gue?” tanya ku lagi. Meski jantung
ku masih berdetak kian kencang. Tapi kegugupan ku itu kalah dengan semua rasa
ingin tahu ku.
“Emang gue pikirin!!!!” jawabnya seketika. Wajahnya
mengeras, pandangannya terpaku pada bayang-bayang dalam televisi. Sial !!! laki-laki ini benar-benar mengibarkan bendera
perang. Bahkan aku sudah berbesar hati untuk bertanya duluan akan kekakuan ini.
Tapi dia?
“Heuhhh..” ku tinggalkan ruangan itu. Penuh dengan
emosi, Kampret !!!!
*****
Aku lelah menjadi malam. Malam kelam yang terkoyak
oleh luka lebam. Aku hanya ingin menjadi awan yang membawa kantung kehidupan. Tapi
kenyataannya bukan malam atau awan tapi aku hanyalah aku. Yah, hidup selalu
menuntut untuk lebih banyak berbuat dari pada menghayal dan berharap. Dan
sungguh kali ini aku merasakan dua sudut yang berlawan arah semakin meruncing. Logika
ku menuntut untuk menghapus semua kenangan tentangnya. Dia hanya seorang laki-laki angkuh yang bersembunyi di balik kenyataan,
dan harus dilupakan! Bersamaan dengan itu aku semakin tak mengerti. Kala ku
palingkan pandangan ku pada langit, awan-awan itu bergerak beriringan membentuk
seulas senyumnya. Bahkan desis angin yang membelai tubuh ku pun membisikan
namanya. Ada apa ini?
Aku terdiam di antara tiang penyangga jalan penghubung
masjid dan kelas. Bermandikan cahaya senja yang mulai memudar dalam kegelapan. Perlahan
bayang-bayang mulai muncul. Semakin lama semakin jelas membentuk bayangan hitam
seseorang yang tengah berjalan dari kejauhan. Ku picingkan mata ku, aku yakin
ada seseorang yang tengah berusaha melewati jembatan tepat di atas anak kali
ciliwung. Bayang-bayang itu terhenti
tepat di tengah jembatan, menatap ku yang pula tengah memperhatikan
tingkahnya. Siapa itu? tanda tanya
mulai memenuhi benak ku. Apa yang ia kerjakan, apa yang ia tunggu dan cari di
tengah jembatan itu.
Hingga cahaya senja tenggelam, bayang itu masih
terdiam. Ku langkahkan kaki ku, ku putuskan untuk kembali ke kamar dan bersiap
untuk sholat magrib berjamaah. Tak lama, ku hentikan langkah ku. Bayangan itu
mulai bergerak. Semakin dekat. Aku persembunyi di balik tembok kelas. Sementara
santri yang lain mulai berdatangan untuk sholat. Bayangan itu, sudah tak ada di
sana. Hanya seorang pria yang tengah berjalan. Membuat ku terjebak dalam satu
kenyataan yang beku dalam tanya.
*****
Malam ini, pikiran ku masih di gelayuti tanda tanya
besar. Tentang seseorang dalam bayang-bayang senja yang timbul tenggelam.
Menatap ku, seolah memberi jawaban atas tanda tanya yang kini bertengger di
dalam benak ku.
Hingga tak ku sadari aula pertemuan sudah dipenuhi
oleh para santri kelas akhir. Malam ini Ustad Hamdi akan memberi pengarahan
tentang ujian yang tiga hari lagi akan kami hadapi. Yaitu teaching practice, ujian mengajar atau menjadi guru dalam kelas.
Dalam ujian kali ini kelas akhir dibagi menjadi dua
kelompok. Yaitu kelompok bahasa arab dan bahasa inggris. Setiap orang
diwajibkan mengajar dengan menggunakan bahasa sesuai kelompok mereka. Aku
termasuk kedalam kelompok bahasa inggris. Entah mengapa aku selalu dimasukan
dalam kelompok bahasa inggris, padahal kemampuan ku berbahasa inggris masih
jauh dari kata baik. Tapi tak mengapa setidaknya aku tak harus bersusah payah,
mengingat bahasa arab adalah bahasa tersulit di dunia. Namun, ada kebimbangan
dalam hati ku. Esa Rajawali, nama itu terselip di antara daftar nama-nama yang
termasuk dalam kelompok bahasa inggris.
“Selamat malam anak-anak” sapa Ustad hamdi dalam
bahasa inggris dengan logatnya yang khas. Yah, Ustad Hamdi adalah satu-satunya
Ustad berdarah Betawi di penjara suci ini. Sama seperti ku, betawi mengalir kental dalam darah ku. Jadi,
bisa dibilang Ustad Hamdi itu memiliki logat yang “Bengis” atau Betawi - Inggris.
“Selamat malam” jawab seluruh santri kelas akhir
serempak dalam Bahasa Inggris dengan logat sunda yang sangat kental. Meski
keseharian kami berbicara dengan menggunakan bahasa resmi. Tapi sunda dan
logatnya itu seperti mendarah daging yang sulit untuk dihilangkan.
“Apa kalian sudah tau kelompok kalian masing-masing?”
tanya ustad hamdi kemudian. Entah mengapa logat bicaranya selalu membuat ku tergelitik.
“Sudah Ustad” jawab kami serempak.
“Kalau begitu, silahkan duduk sesuai kelompok kalian.
Untuk Bahasa Arab dengan Ustad Syahidin dan Bahasa Inggris dengan saya di sini”
jelasnya lagi. Tak banyak yang mengubah duduknya. Begitupun yang tetap pada posisinya,
wajah-wajah yang sudah tak asing lagi dalam kelompok bahasa inggris.
Hening mendominasi begitu sebagian santri kelas akhir
pergi menghampiri Ustad pembimbing di kelompok bahasa arab. Tak ada seorang pun
yang berani bermain api dengan Ustad Hamdi. Selain karena kekuasaannya yang
menjabat sebagai bagian pengajaran pusat, pun karena Ustad Hamdi adalah seorang
yang kejam. Tak akan segan-segan menghukum siapapun yang bersalah.
“Saya yakin kalian sudah tau bagaimana peraturan dalam
ujian kali ini” ucapnya membubarkan hening. Pandangan ku teralih padanya. Agar
aku tak ketinggalan setiap kosa kata yang ia ucapkan. Mengerti ucapan “bengis”
nya adalah pekerjaan yang tidak mudah.
“Sekarang buka buku kalian, saya bagikan bab yang akan
menjadi materi kalian” jelasnya. Segera ku buka buku yang sudah lama ku
genggam. Buku bahasa inggris dengan sampul biru yang bertuliskan “Go Ahead” di depannya.
“Simak baik-baik,”
“Fifi Rizky Awaliyah..” ucap Ustad Hamdi lagi. Aku
tercekat, merapihkan posisi duduk ku seketika. Ustad Hamdi tampak bingung,
membolak-balik helai demi helai kertas dalam buku yang di genggamnya.
“Kamu bab 4” katanya lagi. Ku hempaskan nafas ku,
lega.
“Dan kamu Esa Rajawali juga bab 4”
Apa? aku? Dan Esa?
“Maaf Ustad”
aku spontan. Bagaimana mungkin dalam satu bab terdapat dua orang.
Terlebih dengan pria angkuh bernama Esa Rawajali.
“Ya, jadi untuk kali ini kalian dapat mengerjakan satu
bab itu bersama. Tapi ingat, saat praktek tetap sendiri dengan cara kalian
masing-masing”
Aku terdiam. Enggak!
Ini bagai musibah terburuk yang ku alami setelah buku harian ku. Semua orang
bersorak sorai karena mereka dapat membagi tugas dalam membuat rencana belajar.
Itu artinya meringankan beban mereka. Sementara aku? Ku lirik pria itu. Ia sama
sekali tak bergeming, hanya menatap buku di hadapannya. Oke! Itu artinya aku bekerja sendirian.
*****
Hari pertama menjelang ujian, semua santri kelas sibuk
mencari bahan di perpustakaan atau terpaku di depan komputer untuk mengetik
bahan mereka. Kecuali satu, aku. Yah aku, hanya terdiam di jalan penghubung
antara kelas dan majid, sambil memikirkan bagaimana ujian dua hari mendatang. Buku
panduan dan pelajaran ku biarkan tergeletak begitu saja.
Ingin sekali rasanya ku hentikan setiap detik jarum
jam. Biar ku ubah apapun yang bisa ku lakukan untuk memperbaiki keadaan. Aku
bagai disudutkan oleh ketidakadilan. Ahhh Esaaa,
lagi-lagi pria itu membayangi ku. Pergilah!
Pria itu tak pernah jera membuat ku
jengkel. Bahkan kali ini pun ia tetap bungkam. Aku memang sudah berniat untuk mengerjakan
ujian ini sendirian. Tapi aku tak bisa membohongi diri ku, bahwa jauh di sudut
kecil hati ku aku mengharapkan kehadiran pria itu untuk meminta kerjasama ku
dalam tugas ini.
“Lagi apa?” tanya Diana. Ia membawa secangkir teh
hangat dan kue kering buatan ibunya. Segera ku raih cangkir itu, dan
menyerudupnya beberapa kali.
“Nunggu” jawab ku singkat, begitu teh hangatnya sudah
mulai terkuras habis.
“Nunggu siapa?” tanya Diana lagi sambil merebut
cangkirnya dalam genggaman ku. Aku terdiam, tentu saja aku menunggu senja. Siapa lagi?
“Pangeran Senja” jawab ku tak bergeming. Menatap dalam
cahaya matahari yang mulai tenggelam di balik padatnya rumah penduduk.
“Siapa pangeran senja?” tanya Diana. Ia tampak sibuk
mengunyah kue kering dalam mulutnya. Esa..entah mengapa satu kata itu selalu
mengganggu konsentrasi ku. Bahkan indahnya senja sore ini tak bisa membuat ku
melupakan nama itu. Arrgghh..
“Esa?” tanya Diana lagi. Aku terkesiap. Ku lirik
Diana, tak ada apapun di sana. Air mukanya tetap datar.
“Cinta emang sulit dimengerti” ucap Diana lagi.
“Cinta?” aku bingung. Cinta selalu berhasil membuat ku
memaksa otak untuk bekerja lebih keras. Ada
apa dengan cinta?
“Iyah, baru akan terasa saat orang yang dicintai telah
pergi” tambah Diana. Aku masih tak mengerti, kembali ku palingkan pandangan ku
pada senja.
“Katakan!”
“Dian ngomong apasih?” aku semakin bingung, semua
ucapannya menyudutkan ku pada hal yang aku sendiri tak mengerti.
“ Esa kan?”
“Hah? Esa?”
“Ya, lo jatuh cinta dan Esa lah orang yang sukses buat
lo jatuh cinta” jelas Diana. Kali ini ia menatap ku dalam. Seketika detak
jantung ku bergerak tak menentu.
“Oke fix!” ucap Diana lagi mulai melangkahkan kakinya.
“Dian tunggu!” ia menghentikan langkahnya, tanpa
menoleh sedikit pun. Aku hanya menatapnya nanar. Ku rasa butiran air sudah
berkumpul di pelupuk mata ku.
“Gue gak ngerti, gue bingung, laki-laki angkuh itu
selalu punya cara untuk ngejebak gue dalam badai yang gue gak tau di mana jalan
keluarnya” jelas ku. Air mata sudah berlarian di atas pipi ku.
“Esa...” ucap Diana parau. Ia memeluk ku erat. Entah
apa yang ada dalam kepalanya. Tapi, aku merasa ada sedikit kekuatan yang
menguatkan dalam pelukannya. Bagi ku Esa bagaikan petir, dan Aku adalah rating
tua di puncak pohon. Jangankan sambaran petir, bahkan angin pun dapat
menjatuhkan ku.
*****
Fifi Rizky
Awaliyah..
Panggil Ustad Hamdi dari balik pintu kelas 9A,
wajahnya mengeras. Memandang keras absensi di hadapannya. Setelah berdo’a ku
langkahkan kaki ku memasuki kelas. Ruang kelas yang lumayan besar itu terasa
sangat sempit bagi ku. Sesak, tak ada
udara. Aku benci ruang tertutup yang dipenuhi banyak orang. Tak hanya Ustad
Hamdi, beberapa kelas akhir dalam kelompok bahasa inggris pun sudah berdiri di
balik bangku para santri kelas 9A. Begitupun dengan Esa, iyah Esa Rajawali tengah berdiri di sudut
kelas sambil menatap ku datar.
Sejenak, waktu bagai berlalu sangat lambat. Aku
kehilangan dokumen dalam otak ku yang menerangkan hal pertama yang harus ku
lakukan ketika tiba di kelas. Ku sadari semua mata menusuk ku, menunggu apapun
yang akan ku lakukan. Hingga akhirnya aku terjaga, aku harus segera mengakhiri
sesak ini. masih di belenggu gugup, aku berjalan menuju withboard dan memulainya dengan salam.
“Good Morning Every body” sapa ku, sontak santri kelas
9A pun rempak menjawab. Materi demi materi, kata demi kata sudah ku sampaikan.