Thursday 8 July 2021

#8. Dia - Penjara Suci

Sebulan kemudian..

Kosong, hanya itu kata yang tepat menggambarkan keadaan ku saat ini. Aku berjalan tanpa tak tau apa yang ku tuju. Aku berlari tanpa tau apa yang harus ku kejar. Aku bersembunyi tanpa tau apa yang ku takuti. Dunia berputar tapi hidup ku tetap datar. Aku terjebak di antara bayang-bayang kegelapan sang malam. Tanpa bulan dan bintang, hanya malam.

Wajah itu, kembali terngiang dalam benak ku. Gerimis yang mulai menyembul di balik jendela tak mampu memudarkan bayangnya. Ku alihkan pandangan ku pada awan mendung yang menggumpal. Pria itu, iya Esa Rajawali. Mengapa aku tak bisa membuang semua ingatan ku tentangnya. Apakah masih kurang rasa sakit yang ku dapat selama setahun di acuhkannya?

Drrtttt...drrrttt.....drrrttttt...

Ponsel ku bergetar, dan entah mengapa jantung ku berdegup kian kencang seiring dengan getarannya. Ku raih ponsel yang berada di saku depan rok ku. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Kening ku berkerut, menerka siapa orang yang memiliki nomor misterius ini.

“Kie, gue minta maaf. Meski gue tau semua yang gue lakuin itu nyakitin lu. Tapi, gue yakin lu bakal ngerti dan ngelakuin hal yang sama kalau lu ada di posisi gue. Sekali lagi gue minta maaf”

Deg...Deg...Deg... “dia..” desah hati ku. Betapa aku mengenal gaya ketikannya, betapa aku hapal setiap hurup yang ia pilih untuk menuliskan setiap kata. Apakah dia? tapi apakah mungkin? Pikiran ku semakin menggila. Perlahan ku balas pesan itu, ku gerakan jari jemari ku.

“Esa?” hanya itu kata yang ada dalam benak ku. Tak lama aku sudah mendapat balasan dari pesan yang baru saja ku kirim.

“Iya, sebenarnya ada banyak hal yang ingin gue jelasin. Ada banyak hal yang ingin gue ceritain. Tapi apa daya, gue gak tau keberadaan lu. Please Pe maafin gue”

Deg...Deg...Deg... “Benar, dia..” bukan marah. Tapi aku justru diserang haru karena bahagia, seketika air mata ku terjatuh. Apakah harus selama ini? apakah harus sejauh ini? apakah harus sesakit ini dulu? Tapi mengapa? Apakah benar ia ingin pergi hingga akhirnya memutuskan untuk berdamai dengan ku.

“Lo lagi di Bandara?” tanya ku kemudian. Panik, yah aku panik. Entah hati mengatakan ia akan pergi jauh. Semua itu berkaitan dengan rencananya untuk melanjutkan studi di sebuah universitas ternama di negara dengan gurun pasir terbesar itu. Dia pergi..

“Enggak, sotoynya gak ilang-ilang nih” balasnya dengan memberi emotion tertawa di akhir kalimat. Ku elus dada ku, tenang. Aliran darah yang sempat terhenti, kini mulai mengalir kembali.

“Besok Gue mau ambil ijazah” balas ku.

*****

Saat mentari masih malu-malu memancarkan sinarnya hingga membuat sang langit merona. Aku telah bergegas mengerahkan segenap tenaga untuk menuju kota hujan, Bogor. Masih tebayang kicau burung-burung di halaman rumah ku yang begitu merdu. Hari ini adalah awal dari jutaan hari dengan tantangan baru yang akan ku lalui. Aku tak pernah terbayang akan menjadi seorang mahasiswi. Tanpa seragam, penuh ekspresi dan identik dengan kebebasan. Dulu aku selalu membayangkan seorang mahasiswi itu adalah seorang yang keren dengan tingkat kedewasaan di atas rata-rata. Tapi aku? Rasanya kadar kelabilan ku tak pula minggat hingga saat ini. Saat di mana aku kembali menginjakan kedua kaki ku dalam penjara suci yang selama tiga tahun menjadi rumah bagi ku.

Sunyi menyambut kedatangan ku. Hanya burung pipit yang sesekali melintasi pandangan ku. Tak lama aku menyusuri jalan yang mulai tertumpuk oleh dedaunan yang gugur.  Ina sudah datang dan menghampiri ku.

“Ukhti..” panggil ku sambil berlari kecil. Dua orang ini memang istimewa, tak salah bila penjara suci ini memilih mereka untuk mengabdi dan mengamalkan ilmu yang mereka miliki. Tak terbayang bila aku, apa yang akan ku ajarkan? Cara terbaik untuk kabur kah? Atau seribu satu alasan untuk membolos sekolah? Yang pasti penjara suci ini memang cukup cerdas dengan tidak memilih orang seperti ku.

“Jadi lo mau kuliyah di mana?” Tanya Ina kemudian.

“Entahlah..” Jawab ku lemas. Aku memang tak mempunyai rencana apapun. Setelah kegagalan pertama dan terbesar yang pernah ku alami dalam hidup. Yah, gagal dalam ujian SNMPTN. Aku sama sekali tak mempunyai rencana bagaimana akan ku ukir sejarah ku. Aku sudah terlanjur over bergairah untuk kuliyah di universitas negeri. Walau ku tahu, kualitas lembaga pendidikan itu tidak di tentukan dari status swasta atau negerinya. Melainkan dari tingkatan akreditasinya. Ku pikir yang membedakan antara universitas negeri dan universitas swasta hanyalah subsidi. Jadi untuk mereka yang kuliyah di universitas swasta harus bersiap-siap merogoh kocek lebih dalam.

Setelah terlibat dalam perbincangan yang cukup berlibat dan panjang. Kami memutuskan untuk menuju bagian pengajaran dan menuntaskan misi ku. Mengambil ijazah negeri agar dapat melanjutkan studi.

Diam-diam hati ku mulai gelisah. Kembali teringat pesan terakhir yang ku kirim. aku sendiri tak mengerti mengapa aku membalasnya dengan kalimat seperti ini. Seolah memberi tahu keberadaan ku esok hari, dan berharap ia akan datang menemui ku. Ah, tapi pria itu adalah laki-laki sejati dengan ketidakpekaannya. Segala hal yang ku harapkan dari sebaris kalimat itu, mempunyai potensi sangat besar untuk tidak terjadi.

Perlahan kecewa mulai merajai hati ku. Dan aku berusaha membunuh virus kecewa itu. Bagaimana pun kecewa adalah pintu gerbang kesedihan yang menyakitkan. Dan aku tak mau terkurung di dalamnya. Sebelum virus itu menyebar dan menularkan dampak negatif, aku harus sudah membunuhnya.

“Lo kenapa Ki?” Tanya Ina menyadari gurat wajah ku yang mulai murung. Dan aku hanya membalasnya dengan senyuman yang masih terkurung sepi. Tak ingin merusak suasana lebih dalam lagi. Ku putuskan untuk pulang. Setelah berpamitan dengan semua para petinggi penjara suci ini. Kembali ku langkahkan kaki ku melewati pintu gerbang yang menjulang tinggi ini sekali lagi.

*****

Dedaunan kembali berjatuhan seiring dengan hembusan angin. Bagai gerimis, daun yang berguguran ini menghipnotis ku. Berirama dengan segala asa yang pula tenggelam. Aku meringis, tak pernah merasa sakit seperti ini. Meski pria itu sudah mencairkan kebekuan di antara kami. Tapi, aku masih merasa kehilangan. Kehilangan yang begitu dalam. persahabatan.

Tiba-tiba langkah ku terhenti, mengembalikan kesadaran ku akan nyata. Sejenak aku terdiam, menghapus butiran air mata yang membasahi pipi ku. Siapa pun yang menarik lengan ku saat ini. Tidak boleh melihat ku dalam keadaan lemah. Karena aku adalah seorang wanita pejuang yang tangguh.

“Ukhti..” panggil orang itu. Aku tercekat, memaku dengan darah yang berdesir kian deras. Suara itu, masih berusaha setenang mungkin.

“Ya...Esa..” aku tak percaya, pria itu tengah berdiri di belakang ku. Angin kembali berhembus memecah kesunyian di antara kami.

“Mau kemana?” tanyanya lagi. Aku masih terdiam, tak percaya. Semua ini bagaikan mimpi. “Ukhti?” tegurnya menuntut sebuah jawaban.

“Pu...pulang” jawab ku terbata.

“Bisa ngomong sebentar?” belum sempat aku menjawab. Ia sudah menarik ku menuju teras masjid penjara suci ini. Aku merasa ia memperhatikan sikap aneh ku yang masih berusaha menetralisir kegugupan ku.

“Ukhti..”

“...”

“Lo tau gak kenapa Gue jadian sama Listy?” tanyanya kemudian. What? Listy? Jadi ia menyeret ku hanya untuk membicarakan gadis itu. “oh em ji !!!”

“Enggak” jawab ku singkat.

“Lo tau gak kenapa Gue putus sama dia?” tanyanya lagi.

“Putus?”

“Iya, Gue udah putus”

“Kenapa?”

“Jangan jawab pertanyaan dengan pertanyaan”

“Heuhh.. enggak tau juga” jawab ku kesal. Sama sekali tak berubah. Dia tetap pria yang egois.

“Itu semua karena ukhti...”

“Apa? ane?” aku terkejut. Bagaimana mungkin rasa sakit ku dijadikan alasan.

“Iya, inget tempo hari pernah minta Gue jadian lagi sama dia?”

“Ya,” jawab ku setelah beberapa saat mendobrak memori ku tentang hari itu.

“Gue jadian karena Gue pikir lebih baik dicuekin sama Gue dari pada dicuekin sama Listy yang setiap hari ketemu sama ukhti. Dan Gue putus karena Gue sadar sahabat lebih penting dari segala-galanya. Terlebih kita udah lulus, jadi ukhti gak akan dijutekin sama dia lagi” jelasnya. Pandangannya tertunduk, menatap tanah di antara kedua kakinya.

“Sahabat” desah ku. Haru kembali menyelubungi hati ku. Akrabnya persahabatan tidak diukur dengan lamanya perkenalan. Iya menatap ku, dan aku membalasnya dengan seulas senyum termanis yang ku miliki.

 

THE END

 

 

 

           



[1] Kami habis makan pak

[2] Dari toilet pak

[3] Dari kamar pak

[4] Mana Kia Mutaakhiroh (Mutaakhiroh = paling akhir/telat)

[5] Saya Pak

[6] Kelas dua MAPK paling akhir (jamak = lebih dari dua”

1 comment:

Anonymous said...

Casino Site - KMC Holdings API
Welcome to KMC Holdings API, one of the largest API developers. Visit our portal 온 카지노 가입쿠폰 and 더킹 카지노 가입 play your 실시간 카지노 사이트 favourite casino games 안전 바카라 사이트 such 우리 계열 더킹 카지노 as roulette, blackjack,

Rangkuman Debat Pertama Capres 2024

Anies Baswedan Visi dan Misi 1.        Menempatakan hukum sebagai rujukan utama untuk memastikan hadirnya rasa keadilan memberikan keber...