Thursday 8 July 2021

#6. Jarak Yang Terbentang “LOVE” - Penjara Suci


            “Maaf” ucap Esa datar begitu aku tiba di ujung tangga aula. Ia tak henti menatap ku. Entah mengapa kata maaf tak berarti apapun.

“Gue minta maaf” ucapnya lagi. Ku angkat kepala ku, menatapnya sinis. Masih tak habis pikir bahwa buku harian yang menjadi pemicu bencana itu telah hilang di tangannya. Terlebih saat ku tahu buku itu terkena razia bagian keamanan pusat santri putra. Masih teringat jelas wajah menyebalkan tak bersalahnya ketika ia mengatakan buku harian ku itu sudah tak lagi di tangannya. Masih ku rasakan pula betapa aku takut bila buku itu sampai jatuh ke tangan orang lain. Dan benar saja, buku itu sudah menghilang.

“Asal lo tau, gue lebih ikhlas buku itu lo bakar dari pada lo jaga dan sekarang hilang” ucap ku masih menatapnya sinis. Wajahnya masih terlihat datar dan menatap ku lembut. Oh, Esa Rajawali. Aku sempat bertanya-tanya apa yang tersimpan dalam diri laki-laki itu. Selalu saja emosi ku yang kian membara itu redam ketika aku menatap matanya.

“Gue bakal ambil buku lo  sama Ustad Dasep” ucapnya lagi.

“Tapi itu tak akan merubah apapun” ucap ku. Sudah pasti, nama ku sudah termasuk dalam daftar hitam cacatan bagian keamanan pusat. Tak bisa dielakan lagi semua akan mempengaruhi nilai kelulusan ku nanti. Aku memang tak berharap mendapat nilai sempurna, tapi aku tak mau bila mendapat nilai buruk hanya karena kekonyolan ku sendiri.

“Kita coba ajah dulu, nanti setelah ashar kita ketemu di tangga kamar para ustaducapnya dan berlalu.

*****

Azan ashar telah berkumandang, aku bergegas untuk sholat di masjid. Seperti yang dijanjikan Esa. Ia telah menunggu ku tepat di anak tangga pertama kamar para ustad. Wajahnya muram, memandang sesuatu yang tak terlihat oleh pandangan ku. Ia sama sekali tak bereaksi begitu aku tiba di dekatnya. Ia sedang memikirkan sesuatu pikir ku. Hingga beberapa detik kemudian ku putuskan untuk menghentakan kaki agar ia menyadari kehadiran ku. Ia terkesiap, tampak begitu jelas rona keterkejutan di sana. Aku memandangnya lekat, pria misterius. Entah  mengapa otak ku sibuk mencari semua tumpukan dokumen tentang pria itu. Pria misterius yang membuat ku gerah, kini ada di hadapan ku dengan wajah yang sangat sulit ku artikan.

“Ayo..” ucapnya, memudarkan lamunan ku. Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Suaranya berat, sudah jelas ia sedang memikirkan jalan keluar dari sesuatu. Mungkin masalah ini, iya buku harian ku.

Tak lama, anak tangga ini sudah mengantar kami pada sebuah kamar. Esa mengetuk daun pintu beberapa kali dan mengucapkan salam. Namun, hingga salam yang ketiga kali tak pula ada jawaban. Ia memalingkan pandangannya pada ku, kali ini aku yang terkesiap. Matanya mengisyaratkan sesuatu yang begitu pilu.

“Yaudah, mungkin..”

“Gak dikunci, ayo masuk...” Esa memotong ucapan ku dan menarik tangan ku begitu saja.

“Esa...Jangan!!” aku tak kuasa. Ia menarik ku begitu kuat, hingga dengan mudahnya membuat ku terhuyung mengikuti langkahnya.

“Kita gak boleh masuk kesini” ucap ku, menatapnya nanar. Esa tak menghiraukan ku, dan mulai meluaskan pandangannya mencari sesuatu.

“Kalau ketauan bisa bahaya!!!!” ucapku lagi. Esa tetap tak menghiraukan ku, ia hanya mengangkat tangan kirinya ke arah ku. Apa itu isyarat untuk tenang? Ah, menyusup ke kamar ustad yang menjabat sebagai bagian keamanan pusat adalah cara bunuh diri yang paling konyol. Bagaimana aku bisa tenang?

“Gak ada” ucapnya.

“Kita harus cari di tempat lain” ucapnya lagi, sambil mengatur deru nafasnya yang mulai tak karuan.

“Yaudah, sebelum semua tambah buruk kita harus keluar sekarang” ucap ku kemudian, tak berapa lama ia mulai melangkahkan kakinya menuju daun pintu. Tiba-tiba terdengar suara derap langkah dari luar ruangan. Aku gugup, tanpa sadar ku genggam lengan Esa kuat-kuat.

Esa masih terdiam, derap langkah itu semakin mendekat. Tak dapat membayangkan, hukuman apa yang menunggu bila kami tertangkap basah berada dalam ruangan ini.

“Keluar kalau keadaan sudah aman” ucapnya, melepaskan genggaman ku. Ia mulai membuka daun pintu. Begitu bayang-bayang seseorang mulai terlihat dari jendela kaca. Ia mulai melangkahkan kakinya. Aku hanya membisu dalam ketakutan ku. Terlihat oleh ku, ia berbicara dengan seseorang yang masih tak terlihat jelas. Tak lama, mereka mulai berjalan menuruni tangga. Meski aku tak yakin, tapi ku rasa inilah saat yang tepat untuk keluar. 

*****

Esa telah sukses berat membuat ku jengkel. Bagaimana mungkin setelah kejadian  itu ia sama sekali tak menganggap kehadiran ku. Tak menyapa saat berpapasan, tak saling bicara meski kami terlibat dalam kasus penting sekalipun. Buku harian yang telah ia hilangkan pun turut tenggelam bersama sikap acuhnya. Ia adalah satu-satunya laki-laki yang berhasil membuat ku gamang. Awalnya ku pikir ia hanya butuh waktu untuk tak ku ganggu. Atau ia depresi karena tak bisa memenuhi janjinya mengembalikan buku harian ku. Tapi kini? Hari-hari telah berganti menjadi bulan, bulan pertama, kedua dan seterusnya ia telah mengacuhkan ku. Begitukah laki-laki? Memutarbalikan keadaan hingga dengan mudahnya membuat ku merasa bersalah.

Seperti kali ini, ia duduk di depan televisi kantor bagian pengajaran bersama para santri kelas akhir lainnya. Dan tentu saja aku pun berada di sana. Entah mengapa meski aku kesal, hati ku tetap bertanya-tanya mengapa ia mengacuhkan ku sekian lama.

“Biasa aja kali liatnya” ucap Diana mengejutkan ku.

“Apaan sih Dian?” jawab ku malu.  Iya malu, karena aku tertangkap basah tengah melirik Esa. Sungguh jarak yang terbentang saat ini membuatku merasa ada banyak perubahan dalam diri ku. Aku bahkan telah lupa rasanya kesal karena kecerobohannya menghilangkan buku harian ku. Yang ada, kian waktu berlalu semakin aku khawatir. Takut, ia mengacuhkan ku untuk selamanya.

“Esa kan?” hardik Diana menyelidik, ia menatap ku dengan senyuman tersungging yang penuh arti. Sial! Batin ku kesal “Sssst Dian” ucap ku sambil membungkam mulutnya.

“Emang ada apa? Ko kalian gak seakrab dulu?” tanya Diana lagi.

“Emang harus ada alasan?” ku palingkan wajah ku. Menatap kaus kaki hitam yang membungkus kedua kaki ku.

“Ya” jawabnya. Aku tak menjawab masih melihat kedua kaki ku yang terbingkai sandal jepit warna biru. “Heummm...”

“Apa karena Esa jadian lagi sama Listy?” What? Are you serious? Aku tercekat, semua kata yang ingin ku ucapkan tersangkut ditengah kerongkongan ku. Apa karena hal itu?

“Lo gak tau? Oh my God!!  kudet banget sih” Pekik Diana melihat ekspresi bodoh ku. Ia mengambil selembar kertas  di hadapannya dan membentuknya menjadi sebuah pesawat. Tak lama setelah itu ia mengayunkan tangannya seraya melepas pesawat itu ke udara. Pandangan ku tersita oleh pesawat kertas itu. Sampai terjatuh tepat di hadapan Esa. Deg deg deg ... pandangannya bertemu dengan pandangan ku. Tapi ia hanya mengernyitkan alisnya dan kembali berpaling.

“See?” Diana tergelak menyaksikan sikap ku yang kaku. Aku mendengus, melipat kedua tangan ku. Baru ku sadari, dibalik bayang-bayang kursi antara Esa dan Listy ada sebuah kekuatan tersembunyi dalam genggaman tangan mereka. Is it true?

 *****

“Oke sayang, Gue ngawas dulu. Good luck for your guy” goda Diana sambil mengedipkan matanya. Sial! Aku hanya terdiam menyaksikan kepergian mereka. Tinggal lah aku bersama sebuah ruangan yang sepi. Suara sayup-sayup televisi masih terdengar dengan jelas. Ku lihat Esa sama sekali tak merubah posisi duduknya. Ia masih asik melihat tayangan dalam televisi. Tak ada siapapun dalam ruangan ini, mungkin ini saat yang tepat untuk mencari tahu drama macam apa yang telah berlangsung saat ini. Ku pandang wajahnya lekat. Menarik nafas sekuat-kuatnya untuk menetralisir detak jantung ku yang mulai tak karuan. “Satu dua tiga ..” bisik ku dalam hati.

“Sssaaaa...” ucap ku gemetar. Tapi ia sama sekali tak bereaksi apa ia tak mendengar? Gak mungkin ! ruangan ini terlalu sepi untuk tidak bisa mendengar suara yang susah payah ku keluarkan itu.

“Essss..Esa!!!!” panggil ku lagi. Kali ini ia menoleh ke arah ku. Lagi dan lagi tatapan dinginnya menyudutkan ku. Aku tercekat, semua pertanyaan yang mengantri keluar dalam kerongkongan ku lari begitu saja.

 “Lo kenapa sih?” tanya ku setelah mengobrak-abrik tumpukan kosa kata cadangan dalam otak ku. Ia masih menatap ku aneh. Seperti melihat seorang pantonim yang make up-nya luntur karena keringat di tengah pertunjukan. Atau menyaksikan stand up comedy yang isinya cuma sampah.

“Kenapa lo diemin gue?” tanya ku lagi. Meski jantung ku masih berdetak kian kencang. Tapi kegugupan ku itu kalah dengan semua rasa ingin tahu ku.

“Emang gue pikirin!!!!” jawabnya seketika. Wajahnya mengeras, pandangannya terpaku pada bayang-bayang dalam televisi. Sial !!! laki-laki ini benar-benar mengibarkan bendera perang. Bahkan aku sudah berbesar hati untuk bertanya duluan akan kekakuan ini. Tapi dia?

“Heuhhh..” ku tinggalkan ruangan itu. Penuh dengan emosi, Kampret !!!!

*****

Aku lelah menjadi malam. Malam kelam yang terkoyak oleh luka lebam. Aku hanya ingin menjadi awan yang membawa kantung kehidupan. Tapi kenyataannya bukan malam atau awan tapi aku hanyalah aku. Yah, hidup selalu menuntut untuk lebih banyak berbuat dari pada menghayal dan berharap. Dan sungguh kali ini aku merasakan dua sudut yang berlawan arah semakin meruncing. Logika ku menuntut untuk menghapus semua kenangan tentangnya. Dia hanya seorang laki-laki angkuh yang bersembunyi di balik kenyataan, dan harus dilupakan! Bersamaan dengan itu aku semakin tak mengerti. Kala ku palingkan pandangan ku pada langit, awan-awan itu bergerak beriringan membentuk seulas senyumnya. Bahkan desis angin yang membelai tubuh ku pun membisikan namanya. Ada apa ini?

Aku terdiam di antara tiang penyangga jalan penghubung masjid dan kelas. Bermandikan cahaya senja yang mulai memudar dalam kegelapan. Perlahan bayang-bayang mulai muncul. Semakin lama semakin jelas membentuk bayangan hitam seseorang yang tengah berjalan dari kejauhan. Ku picingkan mata ku, aku yakin ada seseorang yang tengah berusaha melewati jembatan tepat di atas anak kali ciliwung. Bayang-bayang itu terhenti  tepat di tengah jembatan, menatap ku yang pula tengah memperhatikan tingkahnya. Siapa itu? tanda tanya mulai memenuhi benak ku. Apa yang ia kerjakan, apa yang ia tunggu dan cari di tengah jembatan itu.

Hingga cahaya senja tenggelam, bayang itu masih terdiam. Ku langkahkan kaki ku, ku putuskan untuk kembali ke kamar dan bersiap untuk sholat magrib berjamaah. Tak lama, ku hentikan langkah ku. Bayangan itu mulai bergerak. Semakin dekat. Aku persembunyi di balik tembok kelas. Sementara santri yang lain mulai berdatangan untuk sholat. Bayangan itu, sudah tak ada di sana. Hanya seorang pria yang tengah berjalan. Membuat ku terjebak dalam satu kenyataan yang beku dalam tanya.

*****

Malam ini, pikiran ku masih di gelayuti tanda tanya besar. Tentang seseorang dalam bayang-bayang senja yang timbul tenggelam. Menatap ku, seolah memberi jawaban atas tanda tanya yang kini bertengger di dalam benak ku.

Hingga tak ku sadari aula pertemuan sudah dipenuhi oleh para santri kelas akhir. Malam ini Ustad Hamdi akan memberi pengarahan tentang ujian yang tiga hari lagi akan kami hadapi. Yaitu teaching practice, ujian mengajar atau menjadi guru dalam kelas.

Dalam ujian kali ini kelas akhir dibagi menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok bahasa arab dan bahasa inggris. Setiap orang diwajibkan mengajar dengan menggunakan bahasa sesuai kelompok mereka. Aku termasuk kedalam kelompok bahasa inggris. Entah mengapa aku selalu dimasukan dalam kelompok bahasa inggris, padahal kemampuan ku berbahasa inggris masih jauh dari kata baik. Tapi tak mengapa setidaknya aku tak harus bersusah payah, mengingat bahasa arab adalah bahasa tersulit di dunia. Namun, ada kebimbangan dalam hati ku. Esa Rajawali, nama itu terselip di antara daftar nama-nama yang termasuk dalam kelompok bahasa inggris.

“Selamat malam anak-anak” sapa Ustad hamdi dalam bahasa inggris dengan logatnya yang khas. Yah, Ustad Hamdi adalah satu-satunya Ustad berdarah Betawi di penjara suci ini. Sama seperti ku,  betawi mengalir kental dalam darah ku. Jadi, bisa dibilang Ustad Hamdi itu memiliki logat yang “Bengis” atau Betawi -  Inggris. 

“Selamat malam” jawab seluruh santri kelas akhir serempak dalam Bahasa Inggris dengan logat sunda yang sangat kental. Meski keseharian kami berbicara dengan menggunakan bahasa resmi. Tapi sunda dan logatnya itu seperti mendarah daging yang sulit untuk dihilangkan.

“Apa kalian sudah tau kelompok kalian masing-masing?” tanya ustad hamdi kemudian. Entah mengapa logat bicaranya selalu membuat ku tergelitik.

“Sudah Ustad” jawab kami serempak.

“Kalau begitu, silahkan duduk sesuai kelompok kalian. Untuk Bahasa Arab dengan Ustad Syahidin dan Bahasa Inggris dengan saya di sini” jelasnya lagi. Tak banyak yang mengubah duduknya. Begitupun yang tetap pada posisinya, wajah-wajah yang sudah tak asing lagi dalam kelompok bahasa inggris.

Hening mendominasi begitu sebagian santri kelas akhir pergi menghampiri Ustad pembimbing di kelompok bahasa arab. Tak ada seorang pun yang berani bermain api dengan Ustad Hamdi. Selain karena kekuasaannya yang menjabat sebagai bagian pengajaran pusat, pun karena Ustad Hamdi adalah seorang yang kejam. Tak akan segan-segan menghukum siapapun yang bersalah.

“Saya yakin kalian sudah tau bagaimana peraturan dalam ujian kali ini” ucapnya membubarkan hening. Pandangan ku teralih padanya. Agar aku tak ketinggalan setiap kosa kata yang ia ucapkan. Mengerti ucapan “bengis” nya adalah pekerjaan yang tidak mudah.

“Sekarang buka buku kalian, saya bagikan bab yang akan menjadi materi kalian” jelasnya. Segera ku buka buku yang sudah lama ku genggam. Buku bahasa inggris dengan sampul biru yang bertuliskan “Go Ahead” di depannya.

“Simak baik-baik,”

“Fifi Rizky Awaliyah..” ucap Ustad Hamdi lagi. Aku tercekat, merapihkan posisi duduk ku seketika. Ustad Hamdi tampak bingung, membolak-balik helai demi helai kertas dalam buku yang di genggamnya.

“Kamu bab 4” katanya lagi. Ku hempaskan nafas ku, lega.

“Dan kamu Esa Rajawali juga bab 4”

Apa? aku? Dan Esa?

“Maaf Ustad”  aku spontan. Bagaimana mungkin dalam satu bab terdapat dua orang. Terlebih dengan pria angkuh bernama Esa Rawajali.

“Ya, jadi untuk kali ini kalian dapat mengerjakan satu bab itu bersama. Tapi ingat, saat praktek tetap sendiri dengan cara kalian masing-masing”

Aku terdiam. Enggak! Ini bagai musibah terburuk yang ku alami setelah buku harian ku. Semua orang bersorak sorai karena mereka dapat membagi tugas dalam membuat rencana belajar. Itu artinya meringankan beban mereka. Sementara aku? Ku lirik pria itu. Ia sama sekali tak bergeming, hanya menatap buku di hadapannya. Oke! Itu artinya aku bekerja sendirian.

*****

Hari pertama menjelang ujian, semua santri kelas sibuk mencari bahan di perpustakaan atau terpaku di depan komputer untuk mengetik bahan mereka. Kecuali satu, aku. Yah aku, hanya terdiam di jalan penghubung antara kelas dan majid, sambil memikirkan bagaimana ujian dua hari mendatang. Buku panduan dan pelajaran ku biarkan tergeletak begitu saja.

Ingin sekali rasanya ku hentikan setiap detik jarum jam. Biar ku ubah apapun yang bisa ku lakukan untuk memperbaiki keadaan. Aku bagai disudutkan oleh ketidakadilan. Ahhh Esaaa, lagi-lagi pria itu membayangi ku. Pergilah!  Pria itu tak pernah jera membuat ku jengkel. Bahkan kali ini pun ia tetap bungkam. Aku memang sudah berniat untuk mengerjakan ujian ini sendirian. Tapi aku tak bisa membohongi diri ku, bahwa jauh di sudut kecil hati ku aku mengharapkan kehadiran pria itu untuk meminta kerjasama ku dalam tugas ini.

“Lagi apa?” tanya Diana. Ia membawa secangkir teh hangat dan kue kering buatan ibunya. Segera ku raih cangkir itu, dan menyerudupnya beberapa kali.

“Nunggu” jawab ku singkat, begitu teh hangatnya sudah mulai terkuras habis.

“Nunggu siapa?” tanya Diana lagi sambil merebut cangkirnya dalam genggaman ku. Aku terdiam, tentu saja aku menunggu senja. Siapa lagi?

“Pangeran Senja” jawab ku tak bergeming. Menatap dalam cahaya matahari yang mulai tenggelam di balik padatnya rumah penduduk.

“Siapa pangeran senja?” tanya Diana. Ia tampak sibuk mengunyah  kue kering dalam mulutnya. Esa..entah mengapa satu kata itu selalu mengganggu konsentrasi ku. Bahkan indahnya senja sore ini tak bisa membuat ku melupakan nama itu. Arrgghh..

“Esa?” tanya Diana lagi. Aku terkesiap. Ku lirik Diana, tak ada apapun di sana. Air mukanya tetap datar.

“Cinta emang sulit dimengerti” ucap Diana lagi.

“Cinta?” aku bingung. Cinta selalu berhasil membuat ku memaksa otak untuk bekerja lebih keras. Ada apa dengan cinta?

“Iyah, baru akan terasa saat orang yang dicintai telah pergi” tambah Diana. Aku masih tak mengerti, kembali ku palingkan pandangan ku pada senja.

“Katakan!”

“Dian ngomong apasih?” aku semakin bingung, semua ucapannya menyudutkan ku pada hal yang aku sendiri tak mengerti.

“ Esa kan?”

“Hah? Esa?”

“Ya, lo jatuh cinta dan Esa lah orang yang sukses buat lo jatuh cinta” jelas Diana. Kali ini ia menatap ku dalam. Seketika detak jantung ku bergerak tak menentu.

“Oke fix!” ucap Diana lagi mulai melangkahkan kakinya.

“Dian tunggu!” ia menghentikan langkahnya, tanpa menoleh sedikit pun. Aku hanya menatapnya nanar. Ku rasa butiran air sudah berkumpul di pelupuk mata ku.

“Gue gak ngerti, gue bingung, laki-laki angkuh itu selalu punya cara untuk ngejebak gue dalam badai yang gue gak tau di mana jalan keluarnya” jelas ku. Air mata sudah berlarian di atas pipi ku.

“Esa...” ucap Diana parau. Ia memeluk ku erat. Entah apa yang ada dalam kepalanya. Tapi, aku merasa ada sedikit kekuatan yang menguatkan dalam pelukannya. Bagi ku Esa bagaikan petir, dan Aku adalah rating tua di puncak pohon. Jangankan sambaran petir, bahkan angin pun dapat menjatuhkan ku.

*****

Fifi Rizky Awaliyah..

Panggil Ustad Hamdi dari balik pintu kelas 9A, wajahnya mengeras. Memandang keras absensi di hadapannya. Setelah berdo’a ku langkahkan kaki ku memasuki kelas. Ruang kelas yang lumayan besar itu terasa sangat sempit bagi ku. Sesak, tak ada udara. Aku benci ruang tertutup yang dipenuhi banyak orang. Tak hanya Ustad Hamdi, beberapa kelas akhir dalam kelompok bahasa inggris pun sudah berdiri di balik bangku para santri kelas 9A. Begitupun dengan Esa, iyah Esa Rajawali tengah berdiri di sudut kelas sambil menatap ku datar.

Sejenak, waktu bagai berlalu sangat lambat. Aku kehilangan dokumen dalam otak ku yang menerangkan hal pertama yang harus ku lakukan ketika tiba di kelas. Ku sadari semua mata menusuk ku, menunggu apapun yang akan ku lakukan. Hingga akhirnya aku terjaga, aku harus segera mengakhiri sesak ini. masih di belenggu gugup, aku berjalan menuju withboard dan memulainya dengan salam.

“Good Morning Every body” sapa ku, sontak santri kelas 9A pun rempak menjawab. Materi demi materi, kata demi kata sudah ku sampaikan.

 

 

No comments:

Rangkuman Debat Pertama Capres 2024

Anies Baswedan Visi dan Misi 1.        Menempatakan hukum sebagai rujukan utama untuk memastikan hadirnya rasa keadilan memberikan keber...