Thursday 8 July 2021

#7. Perpisahan - Penjara Suci

Sepuluh orang, hanya sepuluh orang yang tersisa dari sekian banyak siswa dalam kelas ini. Tiga tahun hidup berdampingan dengan rasa rindu. Fadil dan Wahyo seolah menjadi dua orang primadona yang dikelilingi delapan bidadari cantik. Hanya mereka yang tersisa mewakili kaum laki-laki di kelas ku. Aku teringat bagaimana kami menjadwal ketidakhadiran secara teratur dalam satu minggu. Bagaimana kami bertarung melawan waktu untuk bisa hadir tepat waktu dalam kelas Ustad Syahidin. Pernah suatu ketika, saat kami sedang asyik menyantap makanan di depan kamar ku. Kami tak menyadari betapa waktu telah berlalu begitu cepat. Hingga membuat kami kocar-kacir untuk segera tiba dalam kelas. Dan sayangnya pintu kelas sudah tertutup, hanya ada Ustad Syahidin dan dua orang primadona kelas di dalam sana. Kami hanya terdiam, memasang wajah memelas agar Ustad Syahidin mengizinkan kami masuk. Dan benar saja, tak lama Ustad Syahidin membukakan pintu. Wajah sangarnya menatap kami satu persatu.

“Min aina antunna?” tanyanya dengan suara menggelegar.

“.............”

“Ba’da na-kul ustad[1]” ucap Diana.

“Min hammam ustad[2]” susul Fatimah.

“Min hujroh ustad[3]” jelas Eka. Tapi Ustad  Syahidin tak percaya begitu saja, beliau masih menatap kami satu persatu.

“Aina Kia Mutaakhiroh[4]?” tanyanya kembali menggelegar.

“Ana Ustad[5]” jawab ku menyembul dari balik punggung Diana. 

“Faslu salis at-takhosus mutaakhirots[6]” ucapnya geram. Dan setelah itu ia memberikan ceramah yang sangat panjang dan lebar. Intinya tentang kebiasaan buruk ku yang mulai menular dalam kelas ini. Hingga kini kelas ini mendapat gelar “Mutaakhirots”.

Satu persatu ujian telah berlalu dan sampai detik ini pun keacuhan Esa masih belum terpecahkan. Tapi aku tetap semangat, saat-saat yang selalu ku nantikan sudah di depan mata. Yah, tinggal satu atap bersama keluarga sungguh sesuatu yang begitu besar untuk menjadi sebuah pengharapan yang panjang.

Anehnya, semakin detik-detik itu berlalu. Semakin aku resah untuk meninggalkan penjara suci ini. Begitu banyak hal yang telah ku lalui, begitu banyak kenangan yang telah terekam bersama teman-teman ku di angkatan dua puluh dua. Dan sungguh semua ini pilihan yang begitu sulit. Senang karena segera berkumpul dengan keluarga tapi sedih harus berpisah dengan angkatan dua puluh dua. Mengapa senang dan sedih itu selalu datang bersamaan?

Aku kembali teringat saat-saat kami melewati ujian itu. Yah, terlebih Esa Rajawali. Entah kebetulan atau takdir yang selalu menempatkan kami dalam kelompok yang sama. Meski masih dibalut kebisuan tapi aku bisa melewati ujian itu dengan baik. Masih berbalut sepi, tapi kami tetap tim yang solid. Akupun tak peduli betapa kebisuan ini menjadi belenggu yang abadi.

*****

Tepat setelah penampilan persembahan terkahir, angkatan ke dua puluh dua berkumpul dalam aula besar. Kami membentuk sebuah lingkaran besar. Tak lama kemudian, Aziz mantan ketua hisada mulai angkat bicara. Kalimat demi kalimat yang dilontarkannya memeras air mata ku.  Setelah malam ini berlalu, hanya gurat setiap gambar dalam album photo yang mampu menghilangkan rasa rindu di hati ku. Dunia baru sudah menantidi luar sana. Lembaran baru  menunggu untuk ditorehkan tinta oleh sang pena dan kita, manusia adalah penulisnya.

Penuh haru, kami saling berpamitan meminta maaf dan segala hal yang akan membuat hati kami tenang.  Ku tatap wajah mereka satu persatu. Wajah yang mulai basah oleh derasnya linangan air mata. Pertemuan ini diakhiri dengan sungkeman dan saling meminta maaf satu sama lain. Kami santri kelas akhir putri berdiri memanjang sementara santri kelas akhir putra mulai berjalan menghampiri kami untuk halal bi halal. Satu persatu kecuali satu, yah lagi dan lagi Esa Rajawali mengacuhkan ku. Ia melewati ku begitu saja tanpa menoleh sedikit pun.

“Kie..” Ku palingkan wajah ku pada sumber suara yang memanggil nama ku.  Ku dapati Listy  tengah mematung di hadapan ku, matanya sembab. Setelah beberapa detik berlalu, Ia memeluk ku. Haru. Sejenak aku terhipnotis oleh erat pelukannya, ku tenggelamkan kesadaran ku padanya.

“Maafin Gue Kie..” ucapnya lirih. Tapi aku tak menjawab, aku tak mampu menjawab dengan rangkaian kata sementara hati dan pikiran ku terpaut pada perpisahan ini.

“Gue udah hajat sama anti, jutek dan suka marah gak jelas sama anti” ucapnya lagi.

“.........”

“Kita sama-sama terlalu sibuk sama perasaan sendiri” ucap ku kemudian masih dalam pelukannya. Perlahan ku sadari punggung ku mulai basah. Dan begitupun dengan ku yang tak berhasil membendung air mata ini.

“Andai waktu bisa diulang”

“Yang penting itu sekarang dan kedepannya Lis, yang lama lupain ajah. Oke?” ucap ku sembari melepas pelukannya. Sungguh aku tak pernah merasa takut kehilangan sedalam ini. Meski semua ini bukanlah akhir, tapi untuk memulai sesuatu yang baru sendirian itu bukan hal yang mudah.

*****

            Tepat pukul lima pagi, seusai sholat subuh bersama. Kami, santri putri kelas akhir sudah disibukan dengan berbagai rutinitas. Mempersiapkan diri untuk acara wisuda yang hanya terpaut dalam ratusan menit. Aku sendiri masih terpaku di depan lemari sambil mencermati apakah ada hal yang terlewat untuk hal besar yang tengah menunggu ku. Mulai dari kebaya, sepatu, kerudung, make up dan semuanya. Sampai hal-hal kecil seperti bross dan kaus kaki.

Tak ada banyak kata yang keluar dari mulut ku. Aku hanya terdiam dan tersenyum bahagia. Menikmati tiap detik kebersamaan ini. Meski bukan akhir, tapi rasa takut tak dapat berjumpa lagi tak pula minggat dari hati ku. Aku tercekat, dia.  Iya dia Esa Rajawali tiba dengan setelan jasnya. Ia menatap ku, membuat ku gugup. Perlahan ia berjalan menghampiri ku. Aku semakin tak karuan, setelah satu tahun dalam kebisuan.  Kini ia menghampiri ku dengan seulas senyum manis di wajahnya. Jantung ku berdetak semakin cepat. “Tenang...relax...satu, dua, tiga...” batin ku lirih. “Empat, lima ..”

“Hai...” sapanya. Aku tak menjawab, masih terhipnotis dengan rasa di hati ku. Sibuk menetralisir detak jantung yang tak menentu.

“Hai...” ucap seseorang. Suara itu tepat di belakang ku. Aku tercekat, ia melewati ku begitu saja. Hancur sudah dinding yang ku bangun susah payah untuk menahan linangan air mata ku. Mungkin memang benar pria itu tak pernah menganggap ku teman atau orang terdekatnya. Banyak sekali desas-desus yang mengatakan pria itu pandai mencari keuntungan. Ia akan mendekati setiap hal yang menguntungkan dan menjauhinya bila tak memberinya apa-apa. Tapi siapa peduli, yang aku tahu hanyalah fakta bahwa dia seorang sahabat.

*****

Tak lama acara di mulai. Musik pun mulai mengalun. Semakin melarutkan ku dalam haru.  Sampai aku tersandung sesuatu yang membuat sandal dengan hak tinggi ini terputus. Aku panik, menoleh ke kanan dan kiri. Mencari apapun yang menggambarkan apa yang harus ku lakukan saat ini.

“Ayah..” bisik ku parau. Melihat ayah ku duduk di antara para tamu undangan. Mimpi, iya semua ini bagaikan mimpi. Ayah ku datang ke penjara suci ini untuk menemui ku. Dan ini adalah kali ketiga ayah ku menginjakan kakinya di penjara suci selama tiga tahun perjuangan ku. Wajah sendunya menyejukan hati ku. Betapa aku mencintai ayah ku. Tanpa pikir panjang ku lemparkan sandal hak tinggi ku yang rusak ini ke arahnya. Jadilah aku tak mengenakan alas hanya ditutupi untaian benang putih yang membentuk kaus kaki.

            Musik hantaran pun terhenti, kami duduk pada tempat yang sudah ditentukan. Aku mendapat tempat duduk di barisan paling depan, tepat ke tiga dari kiri. Di hadapan ku terdapat paduan suara yang tengah menyanyikan mars penjara suci ini. Ku luaskan padangan ku, sesak. Ruangan yang dinaungi tenda berukuran besar ini tetap terasa menyesakan bagi ku. Para santri dan tamu undangan semakin menyudutkan ku. Aku gemetar, aku harus mencari lapang. Aku selalu menemukan ketenangan dalam ruang lapang yang penuh dengan udara. Tapi dari sudut aku berdiam tak ada ruang lapang, yang ku lihat hanya ruangan yang dijubali ratusan orang. Mungkin ini lah salah satu derita seorang introfert. Iya, aku adalah seorang introfert sejati. Aku lebih memilih berhadapan dengan sunyi yang dikelilingi banyak udara ketimbang harus berhadapan dengan orang banyak. Dan itu menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar sampai saat ini. Aku berusaha mengurangi kejanggalan ku saat berhubungan dengan orang. Setidaknya tidak harus menyendiri untuk mendapat ketenangan.

 Sambutan demi sambutan telah terlewati. Terlihat biasan cahaya mentari yang menyembul dari celah tenda. Satu persatu nama santri kelas akhir di panggil. Aku semakin gemetar, takut. Entah takut akan apa dan siapa. Yang pasti rasa itu sukses berat memenjarakan keberanian ku di sudut terdalam hati ku.

“Kia Mustopo binti Mastan Muhammad Nur asal Bekasi, dengan yudisium hasan”

“Hasan?” aku tercekat. Menatap kedua kaki ku yang hanya berbalut kaus kaki. “Hasan?” batin ku lirih. Dari tingkatan yudisium yang menggambarkan prestasi itu aku mendapat peringkat ke-4. Atau kedua sebelum peringkat yang paling rendah.

“Kie....” Panggil Habib.

“Kie, cepet maju” Diana mengguncang tubuh ku. Kembali ku angkat wajah ku, semua mata tengah tertuju pada ku. Aku masih terdiam, kenyataan menyudutkan ku. Aku yang begitu lelah menahan rasa sakit dalam penjara suci ini, hanya “hasan?” yang ku dapat. Hasan memang bukan yang terburuk tapi tak pula bisa dikatakan baik. Seketika semua pelanggaran dan kenakalan yang telah ku lakukan berputar-putar dalam benak ku. Dan penyesalah memenuhi rongga hati ku. Dengan mata yang terus berderai, ku langkahkan kaki ku. Menuju podium untuk prosesi wisuda. Masih ku tundukan wajah ku, malu. Terdengar dengar jelas do’a yang dipanjatkan para petinggi penjara suci ini sambil mengusap kepala ku. Hingga akhirnya aku tiba di ujung sisi lain dari podium. Ku tatap para tamu yang juga tengah menatap ku. Ku palingkan mata ku pada sosok Ayah dan Ibu ku yang tengah menantiku. Wajahnya yang letih berbalut rona kebahagiaan itu menyita perhatian ku. Sosok yang teramat banyak berkorban demi hidup ku. Ayah menatap ku, matanya berkaca-kaca. Bahkan ibu ku sudah sibuk dengan tissu untuk mengelap butir air matanya. Lagi dan lagi dada ku terasa sesak. Tapi kali ini bukan karena merindukan ruang lapang. Tapi gejolak dalam hati ku yang ingin segera mencapai ayah dan ibu ku. Segera ku langkahkan kaki ku. Setiap detik yang berlalu tak mampu mengalihkan pandangan ku dari ayah dan ibu. Semakin waktu itu berlalu semakin aku haru. Tak sepatah katapun yang keluar dari mulut ku. Begitu tiba di hadapan ayah dan ibu. Aku segera mencium kedua kaki mereka. Hingga berakhir dalam pelukan hangat ayah dan ibu ku. Awan lihatlah aku, kini aku telah berdiri di atas podium yang dulu sangat mustahil bagi ku. Ini lah bukti bahwa aku bisa. Dia bisa, kau bisa, mereka bisa karena itu aku pun bisa.

*****

Usai wisuda aku masih tak beranjak dari ujung lorong kelas. Semua orang berhilir mudik tak beraturan. Mereka terlihat seperti kumpulan warna yang campur aduk. Sangat jauh dari kata tenang, entah mengapa aku segan melihatnya. Angin kembali menghempaskan selendang yang kini terpaut di antara kedua lengan ku.  Masih di bawah langit yang sama dan gedung yang sama. Tapi, rasa yang bergejolak dalam jiwa ku tak sama seperti saat pertama kali ku injakan tapak kaki ku di penjara suci ini. Hati ku seolah tak rela untuk pergi. Raga ku seolah berteriak agar tak memisahkan ku dengan penjara suci ini. Rasanya air mata pun tak cukup untuk menggambarkan betapa aku tak ingin pergi. Andai setiap kata itu adalah rasa. Mungkin tinta sebanyak air di laut pun masih kurang untuk menuliskannya.

“Kie...!!!” Teriak Diana sambil berlari kecil menghampiri ku. Tak lama Fatimah dan Habibah pun menyembul dari kejauhan. Segera ku hapus air mata ku.

Kami hanya terdiam, saling menundukan pandangan. Aku sendiri tak kuasa mengangkat kepala ku. Karena aku yakin, bila ku tatap wajah mereka bukan hanya air mata yang tak bisa ku kendalikan.

“Dian...Bib.....Timeh...” Ucap ku gemetar. Ku rasakan Diana merangkul punggung ku, begitupun dengan Habibah.

“Kie..” Timeh mulai tergagap. Butir air mata mulai terjatuh dari wajahnya yang masih menunduk. “Gue gak bisa tanpa kalian” ucap ku lagi. Dan benar saja, air mata sudah menari-nari di atas pipi ku.

“Kita gak pisah selamanya ko Ki, kita bisa saling ketemuan” Bibah angkat bicara. “Jangan lupain Dian yah...” Ucap Diana kemudian.

“Iya, jangan lupa untuk saling komunikasi. Kita ini saudara, Selamanya !” Jelas ku. Seketika suasana menjadi hening dalam pelukan hangat. Erat. Kenyataan yang memaksa kami untuk pergi. Hingga akhirnya satu persatu meninggalkan tempat ini. Begitupun dengan ku, ayah dan ibu sudah menantiku untuk pulang.

*****

Waktu seakan berhenti ketika aku berpapasan dengan pria itu tepat di anak tangga terakhir. Lagi dan lagi aku membeku dalam kegugupan ku. Pria itu tengah berjalan berlawanan dengan arah yang ku tuju. Apakah harus berakhir seperti ini? Sepertinya dinding keangkuhan yang mengelilingi hatinya semakin kokoh dan menjulang tinggi. Hingga dengan mudahnya pria itu melewati ku begitu saja. Tapi tidak dengan ku, aku tak bisa pergi dengan luka hati seperti ini. Aku tak bisa menyudahi sesuatu yang belum pernah berakhir. Kali ini aku membiarkan emosi dan kegugupan ku menjadi satu. Aku tak punya cukup waktu untuk melakukannya satu persatu.

Ia menghentikan langkahnya tanpa menoleh. Sunyi tak mau tinggal diam, ia langsung mengambil bagian dalam kebisuan ku dan pria itu. Sementara aku hanya terdiam. Kedua bibir ku seakan terkunci rapat, memenjarakan semua kata yang telah ku rangkai dengan baik. Hingga akhirnya ia kembali melangkahkan kakinya meninggalkan ku. Kali ini baru ku sadari, aku memang tak pernah mengenal pria itu.

Aku yakin waktu tengah tertawa menyaksikan persahabatan telah pergi meninggalkan ku. Kini tak ada lagi yang menghalangi kesedihan untuk tinggal dalam ruang kosong di hati ku.

*****


No comments:

Rangkuman Debat Pertama Capres 2024

Anies Baswedan Visi dan Misi 1.        Menempatakan hukum sebagai rujukan utama untuk memastikan hadirnya rasa keadilan memberikan keber...