Sepuluh orang, hanya sepuluh orang yang
tersisa dari sekian banyak siswa dalam kelas ini. Tiga tahun hidup berdampingan
dengan rasa rindu. Fadil dan Wahyo seolah menjadi dua orang primadona
yang dikelilingi delapan bidadari cantik. Hanya mereka yang tersisa mewakili
kaum laki-laki di kelas ku. Aku teringat bagaimana kami menjadwal
ketidakhadiran secara teratur dalam satu minggu. Bagaimana kami bertarung
melawan waktu untuk bisa hadir tepat waktu dalam kelas Ustad Syahidin. Pernah
suatu ketika, saat kami sedang asyik menyantap makanan di depan kamar ku.
Kami tak menyadari betapa waktu telah berlalu begitu cepat. Hingga membuat kami
kocar-kacir untuk segera tiba dalam kelas. Dan sayangnya pintu kelas sudah
tertutup, hanya ada Ustad Syahidin dan dua orang primadona kelas di dalam sana.
Kami hanya terdiam, memasang wajah memelas agar Ustad Syahidin mengizinkan kami
masuk. Dan benar saja, tak lama Ustad Syahidin membukakan pintu. Wajah
sangarnya menatap kami satu persatu.
“Min aina antunna?” tanyanya dengan suara
menggelegar.
“.............”
“Ba’da na-kul ustad[1]”
ucap Diana.
“Min hammam ustad[2]”
susul Fatimah.
“Min hujroh ustad[3]”
jelas Eka. Tapi Ustad Syahidin tak
percaya begitu saja, beliau masih menatap kami satu persatu.
“Aina Kia Mutaakhiroh[4]?”
tanyanya kembali menggelegar.
“Ana Ustad[5]”
jawab ku menyembul dari balik punggung Diana.
“Faslu salis at-takhosus mutaakhirots[6]”
ucapnya geram. Dan setelah itu ia memberikan ceramah yang sangat panjang dan
lebar. Intinya tentang kebiasaan buruk ku yang mulai menular dalam kelas ini.
Hingga kini kelas ini mendapat gelar “Mutaakhirots”.
Satu persatu ujian telah berlalu dan
sampai detik ini pun keacuhan Esa masih belum terpecahkan. Tapi aku tetap
semangat, saat-saat yang selalu ku nantikan sudah di depan mata. Yah, tinggal
satu atap bersama keluarga sungguh sesuatu yang begitu besar untuk menjadi
sebuah pengharapan yang panjang.
Anehnya, semakin detik-detik itu berlalu.
Semakin aku resah untuk meninggalkan penjara suci ini. Begitu banyak hal yang
telah ku lalui, begitu banyak kenangan yang telah terekam bersama teman-teman
ku di angkatan dua puluh dua. Dan sungguh semua ini pilihan yang begitu sulit.
Senang karena segera berkumpul dengan keluarga tapi sedih harus berpisah dengan
angkatan dua puluh dua. Mengapa senang
dan sedih itu selalu datang bersamaan?
Aku kembali teringat saat-saat kami
melewati ujian itu. Yah, terlebih Esa Rajawali. Entah kebetulan atau takdir
yang selalu menempatkan kami dalam kelompok yang sama. Meski masih dibalut
kebisuan tapi aku bisa melewati ujian itu dengan baik. Masih berbalut sepi,
tapi kami tetap tim yang solid. Akupun tak peduli betapa kebisuan ini menjadi
belenggu yang abadi.
*****
Tepat setelah penampilan persembahan
terkahir, angkatan ke dua puluh dua berkumpul dalam aula besar. Kami membentuk
sebuah lingkaran besar. Tak lama kemudian, Aziz mantan ketua hisada mulai
angkat bicara. Kalimat demi kalimat yang dilontarkannya memeras air mata
ku. Setelah malam ini berlalu, hanya
gurat setiap gambar dalam album photo yang mampu menghilangkan rasa rindu di
hati ku. Dunia baru sudah menantidi luar sana. Lembaran baru menunggu untuk ditorehkan tinta oleh sang pena
dan kita, manusia adalah penulisnya.
Penuh haru, kami saling berpamitan meminta
maaf dan segala hal yang akan membuat hati kami tenang. Ku tatap wajah mereka
satu persatu. Wajah yang mulai basah oleh derasnya linangan air mata. Pertemuan
ini diakhiri dengan sungkeman dan saling meminta maaf satu sama lain. Kami
santri kelas akhir putri berdiri memanjang sementara santri kelas akhir putra
mulai berjalan menghampiri kami untuk halal
bi halal. Satu persatu kecuali satu, yah lagi dan lagi Esa Rajawali
mengacuhkan ku. Ia melewati ku begitu saja tanpa menoleh sedikit pun.
“Kie..” Ku palingkan wajah ku pada sumber
suara yang memanggil nama ku. Ku dapati Listy tengah mematung di hadapan ku, matanya sembab. Setelah beberapa
detik berlalu, Ia memeluk ku. Haru. Sejenak aku terhipnotis oleh erat
pelukannya, ku tenggelamkan kesadaran ku padanya.
“Maafin Gue Kie..” ucapnya lirih. Tapi aku
tak menjawab, aku tak mampu menjawab dengan rangkaian kata sementara hati dan
pikiran ku terpaut pada perpisahan ini.
“Gue udah hajat sama anti, jutek dan suka
marah gak jelas sama anti” ucapnya lagi.
“.........”
“Kita sama-sama terlalu sibuk sama
perasaan sendiri” ucap ku kemudian masih dalam pelukannya. Perlahan ku
sadari punggung ku mulai basah. Dan begitupun dengan ku yang tak berhasil
membendung air mata ini.
“Andai waktu bisa diulang”
“Yang penting itu sekarang dan kedepannya Lis, yang lama lupain ajah. Oke?” ucap ku sembari melepas pelukannya. Sungguh
aku tak pernah merasa takut kehilangan sedalam ini. Meski semua ini bukanlah
akhir, tapi untuk memulai sesuatu yang baru sendirian itu bukan hal yang mudah.
*****
Tepat pukul lima pagi, seusai sholat
subuh bersama. Kami, santri putri kelas akhir sudah disibukan dengan berbagai
rutinitas. Mempersiapkan diri untuk acara wisuda yang hanya terpaut dalam
ratusan menit. Aku sendiri masih terpaku di depan lemari sambil mencermati
apakah ada hal yang terlewat untuk hal besar yang tengah menunggu ku. Mulai
dari kebaya, sepatu, kerudung, make up dan semuanya. Sampai hal-hal kecil
seperti bross dan kaus kaki.
Tak ada banyak kata yang keluar dari mulut
ku. Aku hanya terdiam dan tersenyum bahagia. Menikmati tiap detik kebersamaan
ini. Meski bukan akhir, tapi rasa takut tak dapat berjumpa lagi tak pula
minggat dari hati ku. Aku tercekat, dia.
Iya dia Esa Rajawali tiba dengan setelan jasnya. Ia menatap ku, membuat
ku gugup. Perlahan ia berjalan menghampiri ku. Aku semakin tak karuan, setelah
satu tahun dalam kebisuan. Kini ia
menghampiri ku dengan seulas senyum manis di wajahnya. Jantung ku berdetak
semakin cepat. “Tenang...relax...satu,
dua, tiga...” batin ku lirih. “Empat,
lima ..”
“Hai...” sapanya. Aku tak menjawab, masih
terhipnotis dengan rasa di hati ku. Sibuk menetralisir detak jantung yang tak
menentu.
“Hai...” ucap seseorang. Suara itu tepat
di belakang ku. Aku tercekat, ia melewati ku begitu saja. Hancur sudah dinding
yang ku bangun susah payah untuk menahan linangan air mata ku. Mungkin memang
benar pria itu tak pernah menganggap ku teman atau orang terdekatnya. Banyak
sekali desas-desus yang mengatakan pria itu pandai mencari keuntungan. Ia akan
mendekati setiap hal yang menguntungkan dan menjauhinya bila tak memberinya
apa-apa. Tapi siapa peduli, yang aku tahu hanyalah fakta bahwa dia seorang
sahabat.
*****
Tak lama acara di mulai. Musik pun mulai
mengalun. Semakin melarutkan ku dalam haru. Sampai aku tersandung sesuatu yang membuat
sandal dengan hak tinggi ini terputus. Aku panik, menoleh ke kanan dan kiri.
Mencari apapun yang menggambarkan apa yang harus ku lakukan saat ini.
“Ayah..” bisik ku parau. Melihat ayah ku
duduk di antara para tamu undangan. Mimpi, iya semua ini bagaikan mimpi. Ayah
ku datang ke penjara suci ini untuk menemui ku. Dan ini adalah kali ketiga ayah
ku menginjakan kakinya di penjara suci selama tiga tahun perjuangan ku. Wajah
sendunya menyejukan hati ku. Betapa aku mencintai ayah ku. Tanpa pikir panjang
ku lemparkan sandal hak tinggi ku yang rusak ini ke arahnya. Jadilah aku tak
mengenakan alas hanya ditutupi untaian benang putih yang membentuk kaus kaki.
Musik hantaran pun terhenti, kami
duduk pada tempat yang sudah ditentukan. Aku mendapat tempat duduk di barisan
paling depan, tepat ke tiga dari kiri. Di hadapan ku terdapat paduan suara yang
tengah menyanyikan mars penjara suci ini. Ku luaskan padangan ku, sesak.
Ruangan yang dinaungi tenda berukuran besar ini tetap terasa menyesakan bagi
ku. Para santri dan tamu undangan semakin menyudutkan ku. Aku gemetar, aku
harus mencari lapang. Aku selalu menemukan ketenangan dalam ruang lapang yang
penuh dengan udara. Tapi dari sudut aku berdiam tak ada ruang lapang, yang ku
lihat hanya ruangan yang dijubali ratusan orang. Mungkin ini lah salah satu
derita seorang introfert. Iya, aku adalah seorang introfert sejati. Aku lebih memilih
berhadapan dengan sunyi yang dikelilingi banyak udara ketimbang harus
berhadapan dengan orang banyak. Dan itu menjadi pekerjaan rumah yang sangat
besar sampai saat ini. Aku berusaha mengurangi kejanggalan ku saat berhubungan
dengan orang. Setidaknya tidak harus menyendiri untuk mendapat ketenangan.
Sambutan
demi sambutan telah terlewati. Terlihat biasan cahaya mentari yang menyembul
dari celah tenda. Satu persatu nama santri kelas akhir di panggil. Aku semakin
gemetar, takut. Entah takut akan apa dan siapa. Yang pasti rasa itu sukses
berat memenjarakan keberanian ku di sudut terdalam hati ku.
“Kia Mustopo binti Mastan Muhammad Nur asal Bekasi, dengan yudisium hasan”
“Hasan?” aku tercekat. Menatap kedua kaki
ku yang hanya berbalut kaus kaki. “Hasan?”
batin ku lirih. Dari tingkatan yudisium yang menggambarkan prestasi itu aku
mendapat peringkat ke-4. Atau kedua sebelum peringkat yang paling rendah.
“Kie....” Panggil Habib.
“Kie, cepet maju” Diana mengguncang tubuh
ku. Kembali ku angkat wajah ku, semua mata tengah tertuju pada ku. Aku masih
terdiam, kenyataan menyudutkan ku. Aku yang begitu lelah menahan rasa sakit
dalam penjara suci ini, hanya “hasan?” yang
ku dapat. Hasan memang bukan yang
terburuk tapi tak pula bisa dikatakan baik. Seketika semua pelanggaran dan
kenakalan yang telah ku lakukan berputar-putar dalam benak ku. Dan penyesalah
memenuhi rongga hati ku. Dengan mata yang terus berderai, ku langkahkan kaki ku.
Menuju podium untuk prosesi wisuda. Masih ku tundukan wajah ku, malu. Terdengar
dengar jelas do’a yang dipanjatkan para petinggi penjara suci ini sambil
mengusap kepala ku. Hingga akhirnya aku tiba di ujung sisi lain dari podium. Ku
tatap para tamu yang juga tengah menatap ku. Ku palingkan mata ku pada sosok
Ayah dan Ibu ku yang tengah menantiku. Wajahnya yang letih berbalut rona
kebahagiaan itu menyita perhatian ku. Sosok yang teramat banyak berkorban demi
hidup ku. Ayah menatap ku, matanya berkaca-kaca. Bahkan ibu ku sudah sibuk
dengan tissu untuk mengelap butir air matanya. Lagi dan lagi dada ku terasa
sesak. Tapi kali ini bukan karena merindukan ruang lapang. Tapi gejolak dalam
hati ku yang ingin segera mencapai ayah dan ibu ku. Segera ku langkahkan kaki
ku. Setiap detik yang berlalu tak mampu mengalihkan pandangan ku dari ayah dan
ibu. Semakin waktu itu berlalu semakin aku haru. Tak sepatah katapun yang
keluar dari mulut ku. Begitu tiba di hadapan ayah dan ibu. Aku segera mencium
kedua kaki mereka. Hingga berakhir dalam pelukan hangat ayah dan ibu ku. Awan lihatlah aku, kini aku telah berdiri di
atas podium yang dulu sangat mustahil bagi ku. Ini lah bukti bahwa aku bisa.
Dia bisa, kau bisa, mereka bisa karena itu aku pun bisa.
*****
Usai wisuda aku masih tak beranjak dari
ujung lorong kelas. Semua orang berhilir mudik tak beraturan. Mereka terlihat
seperti kumpulan warna yang campur aduk. Sangat jauh dari kata tenang, entah
mengapa aku segan melihatnya. Angin kembali menghempaskan selendang yang kini
terpaut di antara kedua lengan ku. Masih
di bawah langit yang sama dan gedung yang sama. Tapi, rasa yang bergejolak
dalam jiwa ku tak sama seperti saat pertama kali ku injakan tapak kaki ku di
penjara suci ini. Hati ku seolah tak rela untuk pergi. Raga ku seolah berteriak
agar tak memisahkan ku dengan penjara suci ini. Rasanya air mata pun tak cukup
untuk menggambarkan betapa aku tak ingin pergi. Andai setiap kata itu adalah
rasa. Mungkin tinta sebanyak air di laut pun masih kurang untuk menuliskannya.
“Kie...!!!” Teriak Diana sambil berlari
kecil menghampiri ku. Tak lama Fatimah dan Habibah pun menyembul dari kejauhan.
Segera ku hapus air mata ku.
Kami hanya terdiam, saling menundukan
pandangan. Aku sendiri tak kuasa mengangkat kepala ku. Karena aku yakin, bila
ku tatap wajah mereka bukan hanya air mata yang tak bisa ku kendalikan.
“Dian...Bib.....Timeh...” Ucap ku gemetar.
Ku rasakan Diana merangkul punggung ku, begitupun dengan Habibah.
“Kie..” Timeh mulai tergagap. Butir air
mata mulai terjatuh dari wajahnya yang masih menunduk. “Gue gak bisa tanpa
kalian” ucap ku lagi. Dan benar saja, air mata sudah menari-nari di atas pipi
ku.
“Kita gak pisah selamanya ko Ki, kita bisa
saling ketemuan” Bibah angkat bicara. “Jangan lupain Dian yah...” Ucap Diana kemudian.
“Iya, jangan lupa untuk saling komunikasi.
Kita ini saudara, Selamanya !” Jelas ku. Seketika suasana menjadi hening dalam
pelukan hangat. Erat. Kenyataan yang memaksa kami untuk pergi. Hingga akhirnya
satu persatu meninggalkan tempat ini. Begitupun dengan ku, ayah dan ibu sudah
menantiku untuk pulang.
*****
Waktu seakan berhenti ketika aku
berpapasan dengan pria itu tepat di anak tangga terakhir. Lagi dan lagi aku
membeku dalam kegugupan ku. Pria itu tengah berjalan berlawanan dengan arah
yang ku tuju. Apakah harus berakhir
seperti ini? Sepertinya dinding keangkuhan yang mengelilingi hatinya
semakin kokoh dan menjulang tinggi. Hingga dengan mudahnya pria itu melewati ku
begitu saja. Tapi tidak dengan ku, aku tak bisa pergi dengan luka hati seperti
ini. Aku tak bisa menyudahi sesuatu yang belum pernah berakhir. Kali ini aku
membiarkan emosi dan kegugupan ku menjadi satu. Aku tak punya cukup waktu untuk
melakukannya satu persatu.
Ia menghentikan langkahnya tanpa menoleh.
Sunyi tak mau tinggal diam, ia langsung mengambil bagian dalam kebisuan ku dan
pria itu. Sementara aku hanya terdiam. Kedua bibir ku seakan terkunci rapat,
memenjarakan semua kata yang telah ku rangkai dengan baik. Hingga akhirnya ia
kembali melangkahkan kakinya meninggalkan ku. Kali ini baru ku sadari, aku
memang tak pernah mengenal pria itu.
Aku yakin waktu tengah tertawa menyaksikan
persahabatan telah pergi meninggalkan ku. Kini tak ada lagi yang menghalangi
kesedihan untuk tinggal dalam ruang kosong di hati ku.
*****
No comments:
Post a Comment