Wednesday 18 November 2020

#5. Patah hati - Penjara Suci


            Aku memang tak pernah mengenal yang namanya patah hati. Bagaimana rasa, bentuk dan efeknya aku tak pernah tahu. Bahkan cinta pun masih dalam masa penjajakan yang telah gagal total di tengah jalan. Ironisnya aku pernah berpikir hubungan ku dengan David itu akan menjadi moment yang mengenalkan ku dengan  yang namanya cinta senjati. Tapi, ah laki-laki memang sama saja. Semua laki-laki yang identik dengan makhluk keras kepala itu memang sama. Perlahan aku mulai termakan doktrin Jey tempo hari. Bahwa tak ada kata serius yang terkandung dalam aktivitas pacaran. Bahwa laki-laki tak pernah benar-benar menginginkan wanita dalam hidupnya kecuali untuk hal yang berhubungan dengan alat palampiasan nafsu belaka.

Kampret!

            Bodohnya aku telah terjerat dalam permainan kata laki-laki itu. Aku tak heran mengapa lebih banyak laki-laki yang menjadi guru sastra sepanjang perjalanan ku dalam dunia pendidikan. Karena mereka sudah diberi bakat sejak lahir untuk memanipulasi kata yang meluluhkan hati wanita. Tapi begitulah bahkan akupun sempat terbuai dengan permainan kata-kata itu. Huh, dasar laki!

            Pikiran ku semakin menggila,  jangan-jangan kata cinta itu memang sebuah mantra? Yah mantra untuk membodohi wanita. Arhggg... kembali ku dongakan wajah ku. Tak ada siapapun di kelas ini, hanya aku seorang diri.

            Entah mengapa, sejak aku dicampakan oleh laki-laki bernama David. Bukan luka atau apapun yang mereka katakan sakit itu yang ku rasakan. Hanya benci, kebencian ku terhadap laki-laki semakin mengakar dan berdiri kokoh.

            Begitu matahari semakin terik, segera ku langkahkan kaki ku keluar. Hari pertama di penjara suci setelah liburan panjang. Tak ada yang istimewa, bahkan semangat para pejuang perang badar dalam dada sudah ludes terbakar api kebencian.

            Ku luaskan pandangan ku pada setiap penjuru penjara suci ini. Sepi, banyak para santri yang belum kembali. Desau angin pun terdengar begitu jelas. Dari kejauhan terlihat beberapa santri yang tengah  mengantri untuk mengambil makan siang. Ku palingkan pandangan ku pada gumpalan awan. Awan putih yang menggumpal dan bergerak perlahan.

            “Essaaaa..” desah ku. Melihat gumpalan awan itu beriring membentuk lengkungan yang begitu lekat dalam benak ku. Iyah Bener-bener gak ada obat., senyuman Esa Rajawali.

            “Kia..........!!!!”

Gumpalan awan itu terlihat begitu nyata. Apakah semua ini hanya halusinasi ku saja?

            “Kieeeeeee...!”

            “Hey,” seseorang menepuk punggung ku, sontak ku palingkan pandangangan ku pada orang itu.

            “Esa? Hah Esa????” aku terkejut melihat sosok yang tengah menyita perhatian ku kini berdiri tepat di samping ku. Aku tercekat,  memastikan semua ini bukanlah imajinasi dalam pikiran ku sendiri.

            “Dipanggilin dari tadi bukannya nyaut” ucapnya sambil menggoyang-goyangkan tapak tangannya.

            “Gu..gue...”

            “Gini, gue mau ngomong soal telpon lo tempo hari”

            “....................” ku picingkan alis ku, mencoba mendobrak kegugupan yang kini membelenggu ku. Tempo hari?

            “Jangan nyesel kalo gue jadi apa yang lo minta” ucapnya lagi. Dengan tatapan kosong meninggalkan ku.

            “Mak, maksudnya?” aku tercekat. Ia pergi, begitu saja tanpa kalimat penjelasan. Bahkan tanpa menoleh sedikit pun, membiarkan aku diserbu oleh ribuan tanda tanya.

*****

            “Woy...bantuin Gue dong!!” teriak Khamed dengan bahasa arab begitu tiba di ujung tangga sambil membawa beberapa tumpukan kardus. Aku terkesiap, tersenyum kecil yang masih ku kulum sendiri. Dina bergegas menghampirinya sementara aku hanya terdiam memandangnya.

            “Ki...!!!” kini ia memanggil ku. Matanya melirik pada sebuah tas besar disampingnya yang tergeletak begitu saja. Kode! Karena itu segera ku langkahkan kaki ku mengambil tas besar itu. Andai laki-laki itu makhluk peka yang menyadari semua kode yang terpancar dari pandangan wanita. Aku dan semua wanita di dunia ini tak harus menjadi ahli pembuat kode sekaligus seorang penerjemah. Aneh rasanya bila harus mengungkap segala yang kita inginkan pada laki-laki dalam sebuah barisan kata.

            “Banyak banget buku lo” gerutu ku mengangkat tas yang beratnya setengah dari berat badan ku.

            “Kita ini kelas akhir sayang, ujian sudah ngantri di depan mata” jelasnya sambil terus berjalan menuju kamarnya. Benar!

            “Gak lama lagi kita sudah ujian Taftisy- pemerikasaan buku” ucap Khamed.

            “Terus fathul kutub- membaca kitab kuning” sambungnya.

            “Imamah¬- mejadi imam sholat, Khitobah- berpidato, Ta’lim- Mengajar dalam kelas, Hipzu suar- Hapalan Ayat-ayat Al-Qur;an, Paper- Karya Ilmiyah...” ucap Khamed lagi. Ia tampak begitu antusias, sementara aku mulai merasa muak. Sepertinya virus malas itu kembali merajai hati ku.

            “Yaudah enjoy aja lagi, nikmati prosesnya” ucap ku. Aku yakin mereka menangkap nada menyepelekan dalam ucapan ku. Seketika tatapan menyelidik mereka membanjir ku.

*****

 

 

 

#4. Di antara cinta dan persahabatan - Penjara Suci

Prev :

#1. Mr. Mata itu - Penjara Suci https://senjadimusimsemi.blogspot.com/2020/08/penjara-suci.html

#2. Mr. Misterius - Penjara Suci  https://senjadimusimsemi.blogspot.com/2020/11/2-mr-misterius.html

#3. Persahabatan - Penjara Suci https://senjadimusimsemi.blogspot.com/2020/11/3-persahabatan-penjara-suci.html


            Kini segalanya memang telah berubah. Terutama setelah kedekatan ku dengan pria yang menjabat sebagai ketua bagian bahasa itu menjadi buah bibir. Aku yakin semua perubahan ini bukan tentang diri ku. Tapi tentang pria itu. Dunia ku memang semakin bewarna setelah pria itu hadir dalam hidup ku. Banyak di antara mereka yang mendadak dekat. Tapi tak sedikit pula yang sinis. Terlebih dia, Lilis dan teman-teman dekatnya. Lilis yang semula dekat kini berbalik sinis pada ku.

            Apa istimewanya laki-laki itu? aku masih belum mengerti. Pernah suatu ketika, aku memutuskan untuk menjauhinya. Aku memilih mereka ketimbang pria itu. Aku tak pernah terpikir harus meninggalkan teman demi seorang laki-laki. Laki-laki yang sangat bangga akan donor tulang rusuk mereka untuk para perempuan.

            Aku menghindari segala sesuatu yang mengharuskan ku bertemu dengan pria itu. Aku tak berbicara atau bahkan sekedar melirik ke arahnya saat ia berpapasan dengan ku. Aku hanya ingin semuanya kembali normal.  Dan ku tunjukan pada mereka, tak ada yang istimewa antara aku dan pria itu. Aku hanyalah diriku. Meski dunia ku mulai kelabu.

            Hingga suatu malam, usai belajar. Ku putuskan untuk melihat nilai ujian matematika di mading. Aku begitu antusias, dan tak peduli dengan sejumlah orang yang tengah antri di belakang ku.

            “Kia........”

            Suara itu? aku terdiam. Tak ingin memalingkan wajah ku. Suara itu bagai sebuah mantra yang memaksa aliran darah ku terhenti seketika.

            “Kia, lo kenapa? lagi ada masalah?” kembali ku dengar suara itu. Tepat di belakang ku. Aku masih tak bergeming, berpura-pura tak menghiraukan kehadirannya. Meski jantung ku berdetak tak menentu.

            “Kia...maaf” ucap suara itu lagi. Suaranya terdengar begitu lembut. Aku tak kuasa, mengapa aku bisa berlaku seperti ini pada orang yang justru membawa pelangi ke dalam hidup ku? Hingga akhirnya ku palingkan wajah ku. Masih tak menatapnya, aku hanya melihat sarung tenun yang dikenakannya.

            “Lo kenapa? Apa Gue punya salah sampe lo kaya gitu?”

            “Gak apa-apa” ucap ku datar, menahan air mata yang kini sudah siap untuk terjatuh.

            “Terus kenapa lo jauhin gue?”

            “...............”

            “Ki?”

            “Gak apa-apa Esa !!!” ucap ku setengah berteriak dan pergi meninggalkannya. Tapi langkahku tertahan, ku angkat kepala ku. Dia meraih lengan ku, dan kini aku menatapnya.

            “Ehhh...Ehhh jangan pacaran di sini,” ucap Jey seolah menyadarkan waktu yang baru saja terhenti.

            “Lepasin” ucap ku. Dan air mata pun tak dapat terbendung lagi.

*****

            Keesokan harinya ibu datang menjenguk ku. Haru biru memenuhi ruang hati ku. Berbagai macam siasat mulai bermunculan dalam benak ku. Saat ibu ku tengah beristirahat. Ku raih ponselnya dan segera ku kirim pesan singkat pada pria bernama David itu.

            “Dav” hanya satu kalimat itu yang ku kirimkan. Dan tak lama menunggu, pesan balasan sudah membuat ponsel ibu ku berdering.

            “Kia?”

            “Iya...”

            “Kia gue kangen banget sama lu”

            “Makasih”

            “Lu gak kangen sama gue?”

            “Enggak”

            “....................”

            “Gue takut ada yang sakit hati kalau gue kangen sama lu” jawab ku mengingat beberapa terror yang dilakukan mantanya pada ku. Wanita yang belum lama menjadi mantannya itu memaksa ku untuk menjauhinya. Meski aku tahu, ia memutuskan hubungan mereka demi aku. Aku tak merasa menang. Ruang dalam hati ku tetap kosong.

            “Gue udah putus Kia, inget?”

            “Tapi dia masih sayang sama lu, dan gue gak mau nyakiti dia”

            “Kalau lu kaya gini terus justru gue yang sakit”

            “Tapi..”

            “Gue serius cinta sama lu”

            “......” aku terdiam. Tak membalas apapun, masih dikelilingi asap keabu-abuan.

            “Lu arah yang gue tuju, Please..kasih gue kesempatan”

            “Yaudah kita jalanin ajah dulu” jawab ku setelah sekian lama pertimbangan. Aku tak ingin menyakiti dia yang juga sahabat ku. Tak pula menyakiti teman-teman ku dan Esa yang begitu baik pada ku.

            “Terima kasih”

*****

            Dalam penjara suci ini ada satu hari yang dikeramatkan, yaitu hari Jum’at. Bukan karena mitos yang katanya setan dan jin selalu party di malam jum’at. Tapi karena hari jum’at adalah hari libur nasional bagi penjara suci ini. Berbeda dengan sekolah lain di Indonesia yang berlibur di hari minggu.

            Bagi ku, hari jum’at lebih dari sekedar hari kemerdekaan dan kebesaran para santri. Tapi juga obat yang ampuh untuk menghilangkan rindu. Sejak aku menjalin hubungan yang disebut dengan long distance relationship. Aku punya kebiasaan unik yang sangat aneh. Aku selalu menyempatkan diri ku untuk kabur ke warnet terdekat untuk bisa bertemu dengannya dalam chatting di hari jum’at. Meskipun hanya lewat layar komputer yang berisikan kata-kata tapi itu semua sudah cukup untuk menghilangkan rasa rindu ku. Terlibat dalam perbincangan dengannya adalah candu. Entah mengapa aku selalu menantikan saat-saat itu.

            Hubungan ku dengan pria bernama David itu sama sekali tak berubah. Bila ia merayu, aku malah geli mendengarnya. Aku tak pernah memanggilnya dengan kata yang mesra. Yang berbeda adalah perlahan dan sangat ku sadari aku mulai merindukannya. Dia menarik ku keluar dari keruhnya dunia. Lilis dan teman-temannya pun tak lagi sinis pada ku meski aku tetap dekat dengan Esa. Bahkan aku kerap kali pamer kemesraan ku dengan David yang sebenarnya tak pernah terjadi. Hanya untuk meyakinkan, bahwa aku sudah mempunyai kekasih dan itu bukan Esa Rajawali.

            Seperti hari ini, saat semua santri wati tertidur pulas dan santriwan menunaikan sholat jum’at. Aku kembali mengajak Dina untuk kabur ke warnet. Beruntung kali ini dia kembali menjadi tugas jaga. Makanya dengan tenang ku langkahkan kaki ku melewati pintu gerbang belakang penjara suci ini.

            Tak beruntung, kali ini tak ku temukan dia dalam kolom chat di facebook. Jadilah aku sendiri dalam dunia maya ini. Dina masih asik dengan aktivitasnya tapi aku sudah mulai bosan. Satu-satunya alasan ku ke tempat ini hanya untuk bertemu dengannya.

            “Udah Ki?” tanya Dina begitu menyadari kehadiran ku di sampingnya.

            “Iya, David enggak ada di sana. Kayanya dia masih di sekolah” jawab ku.

            “Udah jangan murung begitu, yuk kita pulang”

            “Pulang?”

            “Iya,”

            “Din gue pulangnya lewat sini ajah ya, ada pirasat buruk nih” ucap ku begitu kami hendak pulang.

            “yaudah, hati-hati ya” ucap Dina. Aku berpisah di persimpangan jalan, Dina melalui jalan biasa yang ramai oleh kendaraan. Sementara aku melewati jalan sepi yang teduh. Tak memakan banyak waktu aku sudah tiba di rumah Ustad Senior. Ustad Senior adalah salah satu pengasuh penjara suci ini. Hanya sekali menyebrangi jalan aku sudah tiba di penjara suci. Tapi seketika ku hentikan langkah ku. Ustad Pul sudah menantiku di sebrang jalan. Matanya menyelidik, menatap dalam ke arah ku. Aku gugup, tak mampu mengusai sendi-sendi ku yang tak henti bergetar. Demi apapun aku harus tenang dan berpura-pura tak ada yang terjadi, meski kini aku tengah di tertawakan sang waktu.

            “Dari mana kamu?” tanya Ustad Pul dengan bahasa arab yang sangat fasih, begitu aku tiba di sisi lain jalan. Ia mendelik hingga kedua bola matanya nyaris keluar. Membuat ku semakin bergidik.

            “Dari rumah Ustad Senior” jawab ku bohong. Aku masih menundukan wajah ku. Berharap ia tak menemukan kebohongan yang ku sembunyikan di balik rangkaian kata.

            “Sudah ijin?” tanyanya lagi menatap ku bagai seekor elang yang tengah memburu mangsanya. Sambil menggertakan pentungan yang kini tengah dibawanya.

            “Belum Ustad” jawab ku.

            “Apa????” ia semakin garang. Mengobrak-abrik nyali ku yang kian menciut.

            “Jangan diulangi lagi, cepet masuk !!!!” ucapnya. Masih tak berkedip mendelik pada ku. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari menjauh darinya.

            “Selamat..selamat”

*****

            Aku terbangun dengan penuh keterkejutan pagi ini. Mendadak Lilis memberitahu ku kalau aku termasuk ke dalam bagian dari para pengurus yang datang lebih awal untuk acara pelantikan pengurus baru. Padahal aku tak ada persiapan sama sekali. Aku pikir, aku akan datang terakhir mengingat tugas ku sebagai bagian bahasa begitu banyak. Tapi kenyataan berkata lain. Dengan persiapan seadanya aku segera bergegas.

            Setelah berkemas, aku segera turun dan menghampiri mereka yang tengah menunggu ku. Tak lama setelah kedatangan ku perjalanan pun dimulai. Dalam perjalanan begitu banyak canda dan keceriaan. Tak harus khawatir tidak menggunakan bahasa resmi, tidak harus takut dikatakan dengan tanda kutip saat berbicara dengan ikhwan . Ada beberapa asatidz  dan asatidzah  yang menyertai kepergian kami. Mereka pun bersikap lebih lunak dari biasanya. Andai setiap saat seperti itu, mungkin pondok pesantren ini tidak akan disebut dengan penjara suci.

            Tanpa sadar mobil yang mengantar kami telah terhenti di depan sebuah bangunan. Villa kecil dengan kolam ikan besar di depannya. Udaranya begitu sejuk, awan-awan berterbangan di atas langit yang membiru. Indah, aku tak kuasa mengedipkan mata ku. pelantikan kali ini sangat berbeda dengan pelantikan ku dulu. Dulu aku dilantik di tengah hutan dalam sebuah gunung. Tiap kali ingin mengambil air, kami harus menuruni medan yang begitu curam. Tapi kali ini ada satu kamar mandi yang disiapkan tak jauh dari villa kecil itu. Sayangnya villa itu hanya untuk para astidz dan asatidzah jadi kami sebagai pengurus tetap harus bermalam di dalam tenda. Perkemahan tak jauh dari villa, tepat beberapa meter dari belakangnya. Meski tidak terjal, tapi jalan yang dipenuhi rumput liar yang rimbun itu berbentuk turunan. Jadi tetap saja harus ekstra hati-hati.

            Tak ada banyak waktu untuk berleha-leha. Begitu tiba, kami segera bergegas mendirikan tenda dan mempersiapkan keperluan lainnya. Mengangkat semua bahan makanan, minuman dan obat-obatan. Tak hanya itu kami pun membawa beberapa peralatan masak. Kemah itu bukan perkara yang mudah.

            Ada empat tenda yang sudah berdiri, tenda untuk santri putra dan putri serta untuk pembimbing putra dan putri. Setelah persiapan selesai kami segera melakukan agenda pertama yang yaitu upacara pembukaan dan pembacaan do’a. Dipimpin oleh pembina pramuka.

            Ini bukanlah kali pertama aku mengikuti perkemah. Dulu aku sangat aktif dengan kegiatan pramuka. Bahkan saat aku baru duduk di kelas empat sekolah dasar. Aku sudah merasakan berkemah di bumi perkemahan Rawa Gatong yang terkenal sangat angker, di perkemahan Rawa Semut dan bumi perkemahan Cibubur. Jadi aku sudah tak asing dengan semua yang ada di sini. Mulai dari rasa lelah, kantuk dan dingin yang tak pernah ingin ketinggalan. Tapi kali ini aku sama sekali tak bergairah. Menurut ku, perkemahan ini begitu membosankan. Sangat berbeda dengan kegiatan perkemahan ku dulu. Makanya aku tak terlalu banyak ikut campur, aku hanya melakukan apa yang sudah menjadi tugas ku.

            “Melamun ajah” Eca mengejutkan ku. Membuat ku tersengat arus keterkejutan yang dibuatnya. Ku lirik tajam ia yang kini berbaring di samping ku.

            “Mikirin siapa sih?” tanya nya lagi.

            “Gak mikirin apa-apa, capek. Dan gak tau kenapa gak semangat banget dari tadi” jelas ku sambil memandang atap tenda yang bergelayut.

            “Yaelah, bentar lagi juga Esa dateng”

            “Lah ko Esa?”

            “Iya Gue tau lo gak semangat karena gak ada dia kan? Ayo ngaku..” ledek Eca. Pandangannya menusuk, seolah mencari apapun yang membuktikan sebuah kebenaran dari bola mata ku.

            “Haduhh..lo kecapean kayanya, jadi ngawur begitu”

            “ Jujur ajah sama gue, lo suka sama Esa kan?”

            “Ih Eccaaaaa...” aku mulai kesal. Walau sejak tadi aku memang memikir kan pria itu tapi bukan berarti aku menyukainya. Aku memikirkannya karena ia ketua bagian bahasa, dan aku khawatir program kerja hari ini tak dilaksanakan. Walau ia orang yang sangat tekun, tapi menurut ku terkadang ia bisa sangat ceroboh.

            “Gue bisa liat mata Lo”

            “Gini ya Eca, emang belakangan ini Gue sering khawatir sama dia tapi itu bukan pertanda kalau gue suka. Rasa khawatir itu kan wajar, sebagai teman yang baik” jelas ku tak mau kalah. Lagi pula, dekat dengan pria itu saja sudah diserbu dengan begitu banyak intimidasi dari orang-orang yang tak pernah ku duga. Bagaimana bila aku benar-benar menyukainya?

            “Oke, semua itu semakin bikin gue yakin kalau lo emang ada sesuatu sama dia. Belum waktunya ajah buat diakuin” ucapnya menyeringai.

            “Ih Eca...!!!”

            “Khawatir itu ciri yang paling jelas dari cinta” ledeknya.

            “Terserah ah” jawab ku kesal.

            “Tapi awas ya, jangan ngelanggar kaya yang lain. Kalau sampe pacaran berarti pertemanan kita putus”

            “Ahahahaaaaa...lebay. Selama lo berbahasa juga Gue gak akan ngelanggar peraturan lo”

            “Oke..”

            “Deal” dan kemudian gelak tawa kami pun tak dapat terbendung lagi. Aku dan Eca memang tak dapat menikmati perkemahan ini. Makanya setiap ada kegiatan yang memungkinkan untuk absen. Kami selalu mengambil kesempatan itu. Seperti sore ini, kami merebahkan tubuh kami sambil menunggu jurit malam tiba.

*****

            Begitu magrib tiba, aku, Yul dan Eca pergi ke villa untuk sholat. Sementara Lilis dan yang lainnya tetap berada di perkemahan mengawasi peserta pelantikan. Tak perlu waktu lama untuk mencapai villa. Jalan yang menurun membuat kami berjalan sambil setengah berlari.

            Usai sholat magrib aku tak segera kembali ke perkemahan. Biasan sinar rembulan dari percikan air kolam memukau ku. Iramanya begitu indah, di antara biasan dari cahaya itu terdapat warna seperti pelangi. Tiba-tiba seseorang dalam bayang-bayang menyembul dari kejauhan. Aku tercekat, semakin ku fokuskan pandangan ku pada bayangan itu. Semakin lama semakin mendekat hingga ku sadari orang itu adalah Esa yang tengah berjalan. Tak lama setelah kedatangan Esa yang mengenakan sweater hitam itu datang lah para pengurus lainnya. Ku hampiri mereka, wajah-wajah penuh semangat itu menyambut ku.

            “Berubah..” bisik ku parau. Esa yang baru saja tiba itu sama sekali tak menyapa ku. Ia justru menghampiri Khamed yang tak ku sadari kehadirannya di belakang ku. Entah mengapa pandangan ku tak beralih darinya. Mulai dari gelak tawa mereka sampai akhirnya Esa menyerahkan sweater hitam yang dipakainya pada Khamed. Ku sadari bahwa hubungan mereka yang dulu renggang kini telah membaik. Tanpa sadar aku tersenyum melihatnya. Walau sempat terasa getir di hati ku karena diabaikan.

            “Eh Ki lo gak pakai jaket?” lagi-lagi seseorang mengejutkan ku. Ku palingkan pandangan ku pada sumber suara. Dan ku temukan Ran tengah berdiri di sana. Seorang laki-laki bertubuh jangkung itu terlihat dengan seulas senyum melengkung di wajahnya.

            “Apa Ran?” tanya ku.

            “Lo gak pakai jaket?” tanyanya lagi.

            “Enggak”

            “Emang gak dingin?”

            “Dingin lah”

            “Kenapa gak pake jaket?”

            “Gak bawa”

            “Kena..”

            “Udah ah Ran, lo nyebelin banget sih?”

            “Yaudah nih pake jaket gue ajah”

            “Apa? Jaket lo? Enggak deh  makasih”

            “Dari pada..”

            “Udah ah Ran” ku tinggalkan Ran sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Ran adalah seorang laki-laki yang sangat sabar. Karena terlalu sabarnya, ia selalu diam meski dibuli sekalipun. Sama halnya kali ini, ia tetap sabar meski aku sudah bersikap sangat kasar padanya.

*****

            Begitu tengah malam tiba, para pengurus berkumpul di perapian. Lilis  selaku bagian pramuka mempimpin pertemuan itu. Membahas tugas dan berbagai macam pos-pos yang harus dijaga dalam jurit malam. 

            Tiap-tiap pos memiliki tantangan tersendiri sesuai dengan namanya. Mulai dari pos agama di mana setiap peserta di wajibkan menjawab semua pertanyaan tetang agama, sampai pos uji nyali yang menyeramkan. Dan aku mendapat bagian sebagai pos bayangan yang mengawasi para santri agar tidak tersesat. Perjalanan pun dimulai, aku berjalan berdampingan dengan yang lainnya. Ku perhatikan sekeliling ku, tak ada cahaya sama sekali. Rembulan, bintang gemintang dan kunang-kunanglah sumber pencahayaan kami. Semak belukar menjadi bayang-bayang menyeramkan dalam kegelapan. Aku bergidik, betapa aku takut akan kegelapan itu. Aku tak pernah mampu bertahan lebih lama dalam kegelapan.

            “Hey,” seseorang menyapa ku. Aku sudah tau suara milik siapa  itu. Dan benar saja ketika ku palingkan wajah ku, Esa tengah berjalan sejajar dengan ku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman hambar. Entah mengapa aku merasa enggan padanya. Ia telah mengacuhkan ku. Lagi.

            “Gue punya lagu loh buat lo” ucapnya lagi. lagu? Lagi-lagi aku menoleh ke arahnya. Wajah itu, iyah wajah yang tak pernah bisa ditebak apa yang ada di dalam otaknya.

            “Inget gak, puisi yang lo tulis di buku gue?” tanyanya. Kali ini ia menolehkan pandangannya pada ku. Membuat ku gugup, malu karena saat itu aku tengah memandangnya  berusaha menebak apa yang sedang ia pikirkan. Puisi? Ku kerutkan keningku, pertanyaannya memaksa otak ku kembali mengumpulkan puing-puing memori tentang puisi yang dikatakannya. Ia mulai bersenandung. Tanpa sadar aku terseyum mendengarnya.

            “Aduhh gue lupa lagi liriknya” ia menggaruk-garuk kepalanya.

            “Tapi bener ko begitu nadanya, nanti deh gue nyanyiin lagi sambil baca liriknya hehe” ucapnya lagi.

            “Sambil pake gitar biar lebih keren, lagu itu cuma buat lo Ki” tambahnya, pandangannya menembus jauh ke dasar hati ku. Dan tiba-tiba gugup itu kembali datang, meracuni pikiran ku. Ada apa ini?

            “Thanks” imbuh ku. Masih terpaku pada gurat di wajah itu. Apapun itu telah memaksa otak ku untuk bekerja lebih keras tiap kali aku teringat padanya. Laki-laki angkuh itu.

*****

            Akhirnya tiba saatnya di mana aku memisahkan diri. Perjalanan panjang dan lembab ini segera ku akhiri. Aku bersama Jey menunggu pos bayangan di tepi sawah. Meski sempat hujan, tapi pesawahan yang dipenuhi padi ini tetap tak kehilangan pesona. Aku terpaku memandangnya.

            “Kia jangan jauh-jauh dari gue lo” ucap Jey menghampiri ku. Tak lama semua orang kembali melanjutkan perjalanan mereka. Tinggalah aku dan Jey di tepi sawah ini. Kami duduk di bawah pohon sambil menunggu kedatangan para santri.

            Rintik hujan mulai turun. Gerimis, aku menyukai gerimis sama seperti aku menyukai senja. Mereka adalah aspek paling penting dalam setiap adegan romantis dalam film drama. Beruntung hanya gerimis hingga kami masih bisa menghidari basah hanya dengan berteduh di balik daun pepohonan.

            “Pernah jatuh cinta?” tanya Jey mengusir kebisuan di antara kami.

            “Nngg..belum, ada apa? pertanyaannya aneh” tanya ku padanya. Ia tak bergeming, seolah memandang sesuatu di antara rimbun padi yang mulai menguning.

            “Sama” jawabnya.

            “Loh?”

            “Emang cinta itu apa sih?” tanyanya lagi.

            “Lo yang sering gonta-ganti pacar, malah nanya gue yang belum pernah punya pacar” ucap ku. Keningnya berkerut, seolah memikirkan sebuah pertanyaan yang tak pula tau apa dan di mana jawabannya.

            “Pacar pertama itu bukan berarti cinta pertama, jadi pacaran itu bukan berarti cinta” jawabnya, masih tak bergeming. Kini ia mengambil sehelai batang padi di depannya.

            “Jadi lo mau bilang, kalau lo itu gak pernah cinta sama mantan-matan lo itu?” tanya ku bingung.

            “Ngggg.....yang jelas ketika gue sayang sama seseorang gue bakal berusaha untuk ngejaga dia. Kalau liat dari apa yang udah gue lakuin. Rasanya itu bukan sayang apalagi cinta” jelasnya. Aku tercekat, pernyataannya itu membuat ku bingung. Lagi-lagi dan lagi otak ku di landa stunami pertanyaan tentang cinta. Jadi ketika seorang laki-laki menyatakan cinta dan meminta untuk jadi pacarnya itu bukan berarti cinta? Lalu apa?

            “Kalau gak cinta kenapa lo pacarin, terus kenapa lo perjuangin dia?” tanya ku kesal. Bagaimana tidak? Perkataannya itu sama seperti pengakuan akan sebuah permainan yang tak mungkin bisa dimenangkan oleh lawan mainnya. Iyah, hanya dia seorang lah pemenangnya.

            “Perlu lo tau, laki-laki itu suka tantangan. Semakin menantang akan semakin menarik,” jelasnya lagi.

            “Jadi?”

            “Ya gitu, gue sendiri belum pernah jatuh cinta” jawabnya. Teman ku yang satu ini memang sedikit berbeda. Ia lebih ekstrim, ia tak pernah segan atau malu untuk mengakui hal buruk yang pernah dilakukannya. Ia tak pernah menjadi orang lain. Makanya aku tak heran bila ia berkata begitu. Repotasinya sebagai play boy sudah menjadi paradigma.

            “Emang gimana sih rasanya jatuh cinta?” tanya ku. Aku terkesiap, menyadari pertanyaan yang begitu saja ku ucapkan. Hanya sunyi, aku menyadari air muja Joe yang berubah seketika. Ia memandang sesuatu yang jauh di sebrang sawah.

            “Kan gue udah bilang, gue belum pernah jatuh cinta”

            “Heumm...”

            “Tapi, kalau lo mulai ngerasa hidup jadi lebih berarti dengan hadirnya seseorang. Berarti lo jatuh cinta”

            “Esa..” desah ku pelan.

            “Apa?”

            “Nothing!!” aku tekejut. Apa aku baru saja menyebut nama Esa?  Lalu apa aku sudah jatuh cinta? Pria angkuh itu memang selalu sukses membuat ku mengeluarkan tenaga ekstra tiap kali berpapasan dengannya. Ah, bukan! Apapun yang terjadi pada ku itu bukan menandakan aku jatuh cinta. Bukan !!!!

            “Makanya jangan mau diajakin pacaran.”

            “Terus lo apa dong?” heran, apa semua yang Jey katakan itu benar? Lalu mengapa begitu banyak laki-laki yang menjadikan cinta sebagai pondasi atas ikatan yang mereka sebut dengan pacaran.

            “Gue bilang, kalau dia cinta pasti ngejaga, kan tau sendiri anak-anak jaman sekarang pacaran ngapain ajah?”

            “halahhhh” aku semakin bingung. Mengapa harus ada cinta? Mengapa manusia butuh cinta? Bukankah untuk mempertahankan keturunan hanya butuh berhubungan badan? Bukan cinta dan bla bla bla yang membuatnya semakin rumit untuk dimengerti.

            Tak lama kemudian anak-anak mulai berdatangan. Berkelompok, saling menjaga satu sama lain. Aku menghampiri dan memastikan tak ada yang sakit. Lalu memberi tahu arah yang benar untuk menuju pos selanjutnya. Dan seperti biasa, Jey kembali melancarkan aksinya. Tebar pesona sana-sini.

*****

            Tak terasa waktu sudah menujukan waktu dini hari. Itu artinya aku harus segera kembali ke penjara suci untuk melakukan tugas ku sebagai bagian bahasa. Aku dan Jey segera bergegas menuju pos terakhir. Dalam perjalanan ada banyak orang yang pula ingin menuju pos akhir. Hingga perjalanan ini tak terasa sulit. Dan kami sudah tiba di pos akhir, pos uji nyali. Di mana kami dapat dengan sesuka hati menakut-nakuti para peserta. Lucu sekali melihat ekspresi ketakutan mereka.

            Tiba-tiba langkah ku terhenti di ujung jalan. Ku lihat Esa dan Lilis di sisi lain jalan ini. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang salah dan harus ku perbaiki. Meski aku tak tahu apa yang salah dan di mana letaknya. Perlahan kembali ku langkahkan kaki ku. Wajah itu, aku belum pernah melihat gurat itu di wajahnya.

            “Ngg..sorry” ucap ku begitu aku berada tak jauh dari mereka. Ada banyak asatidz di sana, tapi mereka berlaku seolah tak ada siapapun dan memamerkan kemesraan itu. kemesraan? Apa hanya dengan duduk sangat berdekatan dengan seragam pramuka Esa yang kini ada di punggung Lilis itu bermesraan? Tuh kan, memang ada yang salah. Dan aku harus segera memperbaikinya.

            “Ada apa Ki?” tanya Lilis kemudian. Dan mereka masih tak berubah posisi atau apapun setelah menyadari kehadiran ku.

            “Udah jam tiga pagi, gue dan Esa harus pulang” ucap ku kemudian, dan kembali ku langkahkan kaki ku. Aku tak ingin menyaksikan hal seperti itu lebih lama lagi. Mungkin karena tak pernah melakukannya. Aku selalu memberi jarak dengan makhluk yang bernama laki-laki itu. Meski aku ingin, tapi hati ku selalu menolak. Tak lama setelah kepergian ku, kembali ku tolehkan pandangan ku pada mereka. Deg!! Ada apa ini? jantung ku berdetak kian cepat. Padahal hanya melihat mereka saling melempar pandang. Sudahlah, aku tak ingin kembali menemukan hal-hal aneh yang terjadi pada diriku. Maka, ku putuskan kembali melanjutkan perjalanan ku menuju villa.

            “Kia...!!!” kembali ku tolehkan pandangan ku, dan Esa tengah berlari menghampiri ku.

            “Ko gue ditinggalin?” tanyanya sambil mengatur nafas.

            “Bukannya lo lagi sibuk?” jawab ku dengan pertanyaan dengan sedikit penekanan pada kata sibuk.

            “Sibuk?” tanyanya heran. Dan aku hanya terdiam dan melanjutkan langkah ku. Tak lama ku dengar derap langkahnya berusaha untuk menyusul ku.

Brukhh..!!

            “Ki..!!!”

            Spontan aku berbalik dan memastikan apa yang baru saja ku dengar. ku lihat Esa tengah duduk menahan sakit. Ia terperosok ke dalam lubang yang tertutup oleh gelapnya malam.

            “Lo gak apa-apa?” tanya ku panik.

            “Sakit..” jawabnya parau.

            “Apa yang sakit?” aku semakin panik.

            “Pergelangan kaki, kayanya gue gak bisa jalan”

            “Apa?” Aku panik. Meski aku kesal, tapi tetap tak bisa menyembunyikan betapa aku mengkhawatirkannya.

            “kalau gue bantu jalannya gmn?”

            “Yaudah gue coba”

            Aku mulai membantunya untuk berdiri. Aku merasa bersalah karena meninggalkannya begitu saja. Perjalanan tinggal sebentar lagi, aku harus bertahan menopangnya. Setidaknya hanya itu yang bisa ku lakukan saat ini untuk membantunya.

            “Ko berenti?” tanyanya. Jalan setapak semakin menyempit dengan jurang yang begitu curam di sisinya. Mustahil bila dilewati dengan posisi seperti ini.

            “Jalannya” desah ku. Bukannya panik ia malah melepas rangkulannya dan mulai berjalan sendiri.

            “Apa?” aku tak percaya. Apa semua itu hanya sandiwara? Dia, seorang Esa dengan keangkuhannya itu telah mempermainkan ku?

            “Ayo cepet,” ucapnya.

            “...........................”

Kampret !

*****

            Hanya cahaya yang berkilauan yang dapat tertangkap pandangan ku. Lembut dan wangi ruangan pun mulai ku rasakan. Hanya satu yang ku tahu saat ini aku tengah berada di atas kasur yang begitu nyaman. Rasa letih yang menyerang tiap sendi membuat ku enggan untuk beranjak. Dalam keheningan aku mendengar sayup-sayup suara orang yang tengah berbincang. Bagaikan mimpi tapi terasa begitu nyata. Hingga akhirnya kembali ku angkat kelopak mataku. Tak ada siapa pun, lalu siapa yang berbincang? Karena penasaran aku mulai bangkit, menelusuri ruang kamar.

            “Ya ampun..” aku terkesiap. Buku harian ku terbuka, sepertinya aku lupa merapihkannya saat rasa kantuk dan letih telah menguasi ku. Ku buka kembali tiap lembar dalam buku harian itu. Astagfirullah... aku tak bisa membayangkan bila ada orang yang membacanya.

            “Eh udah bangun” Khamed datang menghampiri ku.

            “Iya, yang lain udah balik ?”

            “Udah, makan yuk”

            “ Tadi gue mimpiin lo..”

            “Ohya, mimpiin apa?”

            “Gue mimpiin  lo baca buku ini”

            “Mimpi? Gue emang baca buku harian lo kali ahahaha”

            “Apa??”

            “Iya gue baca. Tapi cuma bagian yang terbuka ajah ko..” ucapnya. Benar saja kekhawatiran ku, mereka membacanya. Setidaknya itu lembar itu berisi curahan hati atas kejadian semalam. Aku yakin akan ada hal buruk yang terjadi karena semua ini. Aku harus melakukan sesuatu.

            “Ya ampun ukhti tolong jangan kasih tau siapapun tentang yang lo baca di buku  ini ya, please...” ucap ku memelas. Aku tak tau harus berbuat apa. Yang ku tau hanya melakukan apapun agar Vica chu dan Sonya bungkam soal ini.

            “Yahh...telat.”

            “Apa?” seketika aku merasa dunia ku mulai runtuh.

            “Ya udah si biasa ajah,”

            “..............”

            “Jadi lo sama Esa itu...” ia melirik dengan pandangan nakal yang menyelidik ke arah ku.

            “Ukhti..!!!”

            “Ciee..cieee...ciieee”

            “Apapun, ini cuma salah paham!!!!!!!”

*****

            Tenang menelusup ke dalam dada, ketika segala sesak di benak itu ku tumpah dalam buku harian. Kecemasan dan segala gundah di dalam hati mulai reda. Ku lemparkan pandangan ku pada indahnya senja.

            Di penjara suci ini, tepatnya jalan penghubung antara kelas dan masjid untuk wanita, senja terlihat begitu menawan. Keniscayaan yang tak layak diabaikan oleh mata. Meski senja itu tak bersanding dengan damainya lautan atau temaramnya pegunungan. Tapi senja di tepi anak kali ciliwung dari sudut jalan penghubung ini tetap tak mudah diabaikan. Ada hal yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat aku berpapasan senja. Bagai magnet dan aku adalah sebongkah besi yang tak berdaya akan daya tariknya. Dalam biasan sinar keemasan itu ku temukan hal yang hanya bisa ku rasakan. Senja, sungguh aku begitu mencintai senja bila cinta diartikan  sebagai hal penarik-perhatian-dari alam bawah sadar.

            “Fokus..fokus..fokus..” ucapku pelan, berusaha menghipnotis diri ku sendiri yang kembali tak karuan begitu senja telah pergi. Kali ini aku ingin mengungkap segala apa yang ku curahkan dalam buku harian kecil yang telah sekian lama menemani langkah ku dalam penjara suci ini. Segala hal yang tak pernah ku ungkapkan pada orang lain. Termasuk beberapa nama yang telah tertulis di dalamnya. Dan malam ini aku ingin mengakhiri semua. Ku ungkapkan, ku jelaskan lalu ku musnahkan.

            Tak begitu lama, aku melihat Lilis dari kejauhan. Ia tengah terdiam sendirian di depan kamar. Entah mengapa aku mulai merasakan hal buruk dari sorot matanya. Apakah dia sudah tau? Dan seketika keberanian ku menguap begitu saja. Ku hentikan langkah ku, ia mulai menyadari kehadiran ku.

            “Lis...” panggil ku. Ia menolehkan pandangannya ke arah ku. Segera ku percepat langkah ku, ingin segera keluar dari situasi dingin seperti ini.

            “Ini..” segera ku serahkan buku harian itu. Entah mengapa aku merasa buku harian inilah penyebab gundah di hatinya.

            “Untuk apa?”

            “Tolong dibaca, biar lo gak salah paham” jelas ku. Kini jantung ku mulai mengamuk di dalam sana. Sementara Listy mulai membaca buku harian ku.

            “Sayang?” ia menolehkan pandangannya pada ku, nanar. Membuat ku terkesiap begitu mendengar ucapannya.

            “Ap..apa? sayang?” aku tak mengerti.

            “Di sini lo bilang kalau lo sayang sama dia” jelasnya.

            “Ehmm.. iyah gue memang sayang sama dia. Sama kaya gue sayang lo dan yang lainnya. Sayang sama sahabat itu wajar kan?” jelas ku sekenanya. Aku tak tau apa yang begitu saja keluar dari mulut ku. Apapun itu aku berharap, semua itu akan mencairkan suasana yang telah membeku ini.

            “...........................” Lilis hanya terdiam memandang buku harian ku dalam. Ia tak menoleh pada ku, sama sekali. Matanya tertuju pada setiap huruf yang tertulis tiap lembar buku harian ku. Aku memandangnya lekat. Hingga akhirnya ku sadari ada bintik-bintik air membekas di atas buku harian ku. Ia menangis..

            Tanpa pikir panjang. Setelah perhelatan sengit dalam kebisuan ku bersama Lilis. Ku buang buku harian itu. Ku tusuk dengan tongkat agar ia berada jauh di dasar tempat sampah dan tak ada lagi yang melihatnya.

*****

            Tak lagi gurat bibir yang tersungging ku temui. Semuanya datar cenderung menekuk wajah mereka saat berpapasan dengan ku. Lilis dan dua orang temannya mereka memang tiga serangkai di kelas ku. Mereka pula yang paling terasa berbeda pada ku sejak buku harian ku menjadi buah bibir para santri. Sementara sisanya tetap biasa-biasa saja meski aku tau ada banyak pertanyaan yang ingin mereka layangkan pada ku. Tiga serangkai itu melihat ku sinis. Hampir tak menganggap keberadaan ku dalam kelas ini.

            Makin hari berlalu, suasana pun semakin membeku. Bukan lagi tatapan tapi perlakuan dan segalanya membuat ku merasa terkurung dalam bongkahan es. Semua ini memang salah ku. Aku yang ceroboh hingga semuanya terungkap begitu saja. Aku sendiri tak tau apa yang terjadi. Aku memang menyadari, tapi tak tau apa dan di mana letak kesalahan ku. Hingga akhirnya kutub ini mencuat kepermukaan.

            “Halo..” ucap ku begitu menyadari nada sambung yang telah terhubung. Tak lama begitu aku tiba di rumah saat liburan semester aku langsung menghubunginya. Iya dia, Esa Rajawali.

            “Iya? Ada apa Kia?” tanya seseorang di sebrang saluran telpon.

            “Gue mau ngomong sesuatu” jelas ku yang masih diliputi rasa gamang.

            “Iya ngomong ajah, gak kaya biasanya”

            “Gimana kalau lo jadian lagi sama Lilis?” ucap ku begitu saja. Sedikit ragu, tapi sudah ku bulatkan tekad ku. Satu-satunya cara untuk mencairkan suasana di penjara suci adalah dengan menyatukan mereka kembali. Aku tak ingin menjadi kambing hitam atas retaknya hubungan mereka. Kedekatan ku dengan pria itu sama sekali tak ada hubungannya dengan mereka.

            “Ko? Maksudnya gimana?” suara itu tampak terkejut.

            “Jadi belom lama ini buku harian gue dibaca sama anak-anak” jelas ku perlahan.

            “Terus apa hubungannya buku harian lo sama gue?” tanya suara itu masih tak mengerti.

            “Jadi, gue curhat tentang lo di buku harian itu. Dan semua orang salah paham, termasuk Lilis. Gue gak nyaman terus dicuekin sama mereka. Mungkin kalau lo jadian lagi sama Lilis semua akan baik lagi” jelas ku. Berat sekali rasanya aku berkata seperti itu. Bagai ada kilat yang menyambar jantungku dan memaksanya untuk berdenyut kian cepat. Sesak...

            “Buku harian?”

            “Iya..”

            “Bukunya itu kecil bukan? Ada gambar vampir gitu di depannya?”

            “Hah? Iya.. ko tau?”

            “Oh iyalah tau, nih lagi sama gue bukunya”

            “Apaa?????????????????????????????????????” kini giliran aku yang terkejut bukan main. Bukan kah sudah ku buang buku itu? mengapa kini ada di tangannya. Lalu, apa dia juga baca buku harian itu? oh my God...

            “Iya, terus kenapa?”

            “Tapikan buku itu udah gue buang”

            “Enggak, nih buktinya ada sama gue”

            “Ko bisa?”

            “Bisalah, apa yang gak mungkin kalau Allah yang menghendaki?”

            “Eessssaaaaa, serius!!!!!!!!”

            “Iya ini serius”

            “Apa buktinya kalau buku itu bener-bener ada di lo?” tanya ku masih tak percaya. Aku yakin betul, buku itu sudah ku buang. Bahkan tongkat yang ku gunakan untuk menusuknya lebih dalam pun masih bertengger di depan kamar.

            “Lo pernah bawa keluar buku ini gak?”

            “Enggak”

            “Terus masih kurang bukti apa kalau gue bisa tau buku yang lo sendiri gak pernah bawa keluar” jawabnya. Benar juga ! lalu mengapa buku itu ada di tangannya?

            “........................”

            “Memang kenapa dengan buku ini?”

            “Gue mau lo jadian lagi sama Lilis. Gue rasa itu akan lebih baik” ucap ku. Butir air mata ku mulai berjatuhan.

            “.....................” Esa tak menjawab. Hanya desah nafasnya yang terdengar.

            “Please...” aku semakin memelas. Dan tak lama percakapan pun terputus.

Nut..nut..nut..

*****

            Tak lama setelah perbincangan via telpon ku dengan Esa aku kembali menekan nomor lain. Yah, aku menghubungi David. Dia selalu punya cara untuk membuat ku tersenyum dan melupakan semua kegamangan yang membelenggu otak ku.

            “Halo?” ucapnya tak lama setelah aku menekan tombol hijau pada ponsel ku.

            “Iya,..”

            “Siapa?” tanya suara itu. Aku bingung, baru kali ini. Untuk pertama kalinya ia tak mengenal suara ku.

            “Gue” jawabku.

            “Siapa?” kini aku benar-benar bingung. Apa yang terjadi? Apa yang membuatnya seperti itu.

            “Kia” jawab ku datar.

            “Oh..hai, apa kabar?”

            “Dav ada apa sih?”

            “Ah? gak ada apa-apa, mungkin efek baru jadian kali”

            “Apa?”

            “Iya gue baru jadian sama Riri,”

            “Jadian?” aku lemas. Bukankah beberapa bulan lalu, baru saja ia meminta ku untuk jadi tujuan hidupnya?

            “Jadi selama ini lo anggap gue apa?” tanya ku lagi. Aku tak habis pikir, jadi selama ini cuma aku yang berusaha? Aku selalu berusaha untuk bisa menyayanginya lebih dari apapun. Meski aku tak cukup pandai untuk mengungkapkannya.

            “Gue nyerah, gue  sadar lo terlalu jauh buat gue.” Jawabnya enteng.

            “Tap..tapi gue udah mulai sayang sama lo” ucap ku begitu saja. Sungguh aku tak percaya. Apakah ini nyata? Mengapa dia yang juga teman baik ku tega berbuat seperti ini pada ku? setelah usaha ku untuk menimbulkan rasa itu kini aku dibuang begitu saja?

            “Udah  Kia cukup, lo terlalu abu-abu buat gue”

            “Tapi..”

            “Lo lebih pantes sama Esa lo itu”

            “Esa???? Dia itu cuma temen gue!!!!!”

            “Temen? Yakin? Maaf, gue gak bisa lagi. Tolong jangan ganggu gue”

            “David !!!” aku marah.

Nut...nut...nut...

            Begitu kah? Begini kah rasanya dicampakan? Seketika semua  kata-katanya beberapa bulan lalu kembali terngiang di kepala ku. Bukan sedih tapi aku marah bullshit!!! Benar apa yang Jey ucapkan. Seharusnya sejak awal aku tak berpikir untuk memberinya kesempatan.

*****

Rangkuman Debat Pertama Capres 2024

Anies Baswedan Visi dan Misi 1.        Menempatakan hukum sebagai rujukan utama untuk memastikan hadirnya rasa keadilan memberikan keber...