Sunday 15 November 2020

#2. Mr. Misterius - PENJARA SUCI

Prev :
#1. Mr. Mata itu - Penjara Suci https://senjadimusimsemi.blogspot.com/2020/08/penjara-suci.html


Tempat ini memang sebuah penjara tanpa kunci, siapa pun yang ingin pergi tak akan ada yang akan menahannya. Itulah perbedaan penjara ini dari penjara yang lainnya. Ayah ku selalu mengatakan “hanya orang-orang luar biasa yang dapat tinggal dan menghabiskan tiap detiknya di tempat ini”. Karenanya aku terus berusaha untuk menekan hasrat itu tiap kali ia mulai meracuni hati ku.

Siang ini, tak hanya sepi yang melanda hati ku tapi virus malestozoid pun sudah mulai mengakar di sana. Membuat ku enggan untuk melakukan apapun, termasuk kegiatan munaqosah[1] yang rutin dilakukan setiap hari senin. Dan Aku tak menyukai kegiatan itu, meski dalam forum diskusi diberi kebebasan untuk berpendapat. Tapi bagiku, forum itu justru membentuk diri menjadi egois. Di mana setiap golongan pro atau kontra berlomba mencari alasan yang dianggap sebuah fakta untuk membenarkan pilihan mereka. Padahal orang yang berwawasan luas selalu bisa melihat satu hal dari berbagai sudut pandang. Dan bisa menghargai semua alasan dibalik sudut pandang tersebut.

Setelah memakai seragam munaqosah, ku langkahkan kaki ku menuju aula besar.  Tak memakan waktu lama untuk tiba di sana. Ada beberapa petugas dari anggota pengurus yang menunggu di sana. Menunggu dan menghukum mereka yang datang terlambat. Yeah lucky me, aku tak harus merasakan panasnya sinar mentari. Tapi bukan berarti aku lolos begitu saja, ada godaan yang jauh lebih sulit untuk dihindari. Yaitu rasa kantuk dengan berbagai macam pesonanya yang menggoda kelopak mata untuk terpejam.

Benar saja belum lama diskusi dimulai, kantuk telah merajai mata ku. Susah payah aku berusaha menegakan kelopaknya. Meski perdebatan kian sengit tapi aku tetap tak bisa berontak dari jeratan kantuk itu. Bosan pun tak ingin ketinggalan. Setelah malas dan kantuk menyerang ku, kini bosan pun mulai mengambil bagian. Bosan dengan perdebatan yang selalu didominasi oleh orang yang sama. Intonasi yang sama dan kalimat pembelaan yang sama. Huffttt..

Ku luaskan pandangan ku, berusaha mencari apapun yang bisa mengalihkan ku dari pertempuran dengan malas, kantuk dan bosan. Setelah menjelajahi seluruh sudut ruangan ini,  mata ku tertuju pada Kino. Salah satu teman sekelas ku yang berasal dari Karawang ini memang sangat unik. Saat pertama kali aku bertemu dengannya langsung terlintas di benak ku sosok seorang vampire. Bukan karena dia mirip dengan si vampire ganteng Edward Cullen. Aku sendiri tak tau mengapa aku ingat dengan sosok makhluk haus darah itu. Tapi, kali ini bukan soal tampang vampirenya yang menarik perhatian ku. Kepalanya yang terangguk-angguk menahan kantuk itu membuat ku tergelitik.

“Intrupsi !!!” teriak seseorang sambil mengangkat tangan kanannya. Seketika moderator pun mempersilakan orang itu untuk bicara.

“Okey, terima kasih untuk moderator. Sebelumnya saya mohon maaf. Buat saya, udah basi banget topik ini. Poligami lagi poligami lagi, jadi yang didebatin itu-itu ajah. Dan udah pasti para laki-laki pro poligami sementara perempuan kontra terhadap poligami. Jadi, kalau menurut saya buat kaka pembimbingnya tolong lebih selektif lagi dalam memilih tema untuk pemakalah.” Ucap orang itu berapi-api.

Aku terjaga. Kembali ku luaskan pandangan kesegala arah. Dan lagi-lagi pria itu, wajahnya datar tanpa gurat apapun yang menunjukan bahwa ia tengah dikuasai amarah. Tapi nada bicara dan kalimat yang diucapkannya menggambarkannya dengan jelas. Cari muka. Suasana yang awalnya ricuh oleh para audiens yang berebut berpendapat, kini sepi. Dan selang beberapa detik suasana ricuh kembali. Tapi kali ini bukan ricuh karena topik yang diangkat oleh pemakalah. Tapi justru pada para pembimbing.

Begitu mudahnya pria itu mempermainkan suasana. Padahal hanya dengan beberapa baris kalimat. Tapi kalimat itu seolah menghipnotis para peserta diskusi untuk ikut andil dari tiap huruf dalam kalimat tersebut. Kampret! aku tersenyum. Ternyata dalam diskusi ilmiyah tak hanya sebatas hal yang ku pikirkan selama ini. Diskusi ilmiyah memacu setiap individu untuk berpikir kritis terhadap sekitar dan meningkatkan keberanian dalam mengungkapkan pendapat.

*****

Ada banyak hal yang ku temui dalam pondok pesantren ini. Mulai dari cara bicara yang diwajibkan menggunakan bahasa arab dan inggris, munaqosah, muhadatsah[2], sampai muhadharoh[3] yang pula harus menggunakan kedua bahasa itu. Ada banyak istilah yang tidak pernah ku temui sebelumnya. Walau sempat merasa tersiksa dengan berbagai kegiatan yang bertubi-tubi. Tapi aku pun tak bisa berdusta bahwa aku menikmati setiap adrenalin yang tercipka saat aku memaksakan diri ku melakukan sesuatu yang belum pernah aku lalukan sebelumnya. Seperti pada suatu malam, tepat pada malam jum’at. Di mana pada malam tersebut ada sebuah jadwal rutin yang wajib dilaksanakan, yakni muhadharoh.

Sebagai anak baru, aku tak perlu cemas. Karena aku yakin para pembimbing hanya memilih mereka yang sudah berpengalaman untuk berpidato. Karena itu, setelah selesai mengenakan seragam. Aku dan teman-teman ku segera menuju aula besar untuk melihat penampilan para senior. Diiringi dengan genderang marawis dan berbagai yel-yel yang sangat unik untuk menambah semangat. Tentu saja aku memilih tempat yang sangat strategis. Yakni tepat dibelakang senior ku dekat dengan dinding. Aku memilih tempat itu karena aku dikelilingi para peserta muhadharoh lainnya sehingga saat aku tertidur, para pembimbing tak akan menyadarinya. Sangat mudah, peraturan ada untuk dilanggar bukan?

Setelah semua peserta dan pembimbing berkumpul, muhadharah segera dimulai. Bising mulai mengisi ruang aula. Tak lama kemudian, berdiri lah dua orang pembawa acara di depan para peserta. Berbicara dengan menggunakan bahasa arab dan inggris yang fasih. Kini aku mulai memahami tiap kalimat yang diucapkan pembawa acara tersebut. And ya, iam happy. Bagi ku, mahir dalam menggunakan bahasa asing tidak di tentukan berapa mahal dan berkualitas tempat kursus tapi seberapa sering kita mempraktekannya.

Tapi sungguh, aku tak mengerti mengapa aku sangat lemah dan mudah diperdayai oleh kantuk. Setiap acara, entah itu siang dan malam. Kantuk selalu merajai kedua mata ku. Dan kali ini pun begitu, aku tak sanggup untuk melawan dan mulai tertidur. Walau demikian, aku masih bisa mendengar suara gaduh itu. Seperti mendengarkan musik saat berenang di dasar kolam. Hanya sayup-sayup yang bergemuruh.

“Al-khitobatu ya’liha hiya ja’ats min faslu awal attakhosusiyah. Sa nad’u ukhtana Kia Mustopa[4]

­“Pe...pe...Qumie[5]..!” seseorang mengguncang tubuhku. Aku kembali terjaga, setelah beberapa detik. Ku sadari semua mata tengah tertuju pada ku.

Hayya Kia Tasaro’i[6]...!” pembawa acara kembali memanggil ku. Ada apa ini? semua orang bersorak meneriakan nama ku.

“Cepetan Pe, kalau gak maju dihukum nanti” Bisik Jane.

“Ngapain?” tanya ku hampir tak terdengar, tertelan oleh bisingnya ruangan.

“Pidato lah, pake bahasa. Udah sana cepet”

“Haahh? Gue gak bisa...” aku panik. Detak jantung ku semakin menderu, para pembimbing menghampiri ku dan menyeret ku ke depan. Aku tak tahu apa yang akan ku sampaikan.

Ya!!!!! Li ukhtina Kia Attasyfieekk....[7] teriak seseorang dibalik kerumunan diikuti gemuruh tepuk tangan.

“Assalamu a’laikum warrohmatullahi wabarokatuh..”ucap ku begitu tiba di atas mimbar. Seketika suasana menjadi sepi. Mereka menatap ku, ku tarik nafas sekuat mungkin dan menghembuskannya perlahan. Semua itu ku lakukan untuk menetralisir detak jantung ku yang tak karuan. Hingga tak berapa lama aku teringat akan pengganlan kalimat pembuka dalam lomba pidato bahasa inggris yang pernah ku juarai saat duduk di bangku stanawiyah dulu.

“On the name of Allah, The most gracias, the most mercifull. All pracies be to Allah, the lord of the world, the master of the day after the creator of every things in this univers. He has no partner. And dont forget praying and greeting we send to our prophet Muhammad SAW. Who has brought us from the darkness to the lightness like now. Iam standing here, i want speech by english language. Little by little with the tittle...”

“Love” kampret! Pidato macam apa kiaaaaa. Aku semakin gugup.

Sorak sorai beriring tepuk tangan kembali membahana. Aku tak mengerti mengapa kata itu keluar begitu saja dari mulut ku, dan memilihnya sebagai judul dari pidato ku. Mungkin karena otak ku masih penuh jutaan pertanyaan tentang cinta.

*****

Hari telah berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun. Tak terasa sudah jutaan detik ku lalui dalam penjara suci ini. Satu persatu teman ku berguguran. Aku bagai daun muda yang tertinggal pada sebuah ranting tua yang mengering. Begitu sepi, sendiri dan sunyi. Hati ku diliputi rasa gamang, hanya butuh sedikit hembusan angin untuk menjatuhkan ku.

Perpisahan demi perpisahan tak dapat dielakan. Puluhan temen sekelas ku kini hanya tersisa belasan. Begitupun Jane dan Loviy mereka pergi meninggalkan ku. Tandus, kebun harapan ku mengering. Aku tak tahu harus berbuat apa. Betapa kecewanya orang tuaku, jika ku langkahkan kaki ku keluar dari penjara suci ini. Tapi bagaimana jadinya aku jika terus dilanda rasa rindu.

Bagai diamuk badai pasir, hancur tak berserakannya hati ku. Hari-hari ku begitu kelabu. Aku berjalan tapi aku tak tahu apa yang ku tuju. Aku mencari tanpa tahu apa sudah hilang. Aku tenggelam tanpa tahu apa yang telah karam. Aku gamang, bertahan di tengah badai dalam perjuangan.

Sampai akhirnya tiba di mana aku akan dilantik menjadi seorang anggota Pengurus Organisasi. setelah melewati berbagai seleksi yang rumit dan panjang. Di sini lah aku, di antara santri  angkatan ke dua puluh. Aku hanya terdiam mendengar pidato sambutan yang disampaikan oleh Mudirul Ma’had[8].

Hingga akhirnya hal yang ditunggu-tunggu pun telah tiba, yakni pengumuman yang akan menjadi tanggung jawab ku. Aku semakin larut dalam sepi ku,  berharap semua ini dapat mengalihkan ku dari rasa rindu yang kian menggunung di hati ku. Nama berganti nama disebutkan beriring dengan tanggung jawab mereka. Aku terus berdo’a berharap mendapat rekan yang bisa menjadi sahabat bagi ku. Siapa pun, asal jangan pria dengan tatapan sedalam samudra itu.

“Language Departement, they are Esa Rajawali..”

“Bagian itu?” aku tercekat. Kampret! Bagian bahasa, bagian yang ku inginkan. Tapi mendengar nama pria itu membuat ku harus membuang jauh harapan untuk menjadi salah satu dari Language Departement.

“Ied, Mina ..”

“Okey..semua akan baik-baik ajah” bisik ku pada diri ku sendiri. Untuk menetralisir jantung ku yang berdetak kian cepat.

“Kia..”

What?” aku terkejut. Oh shit!

And the last Kamed..”

Aku semakin membisu, ketika yang lainnya bersorak akan tanggung jawab baru mereka. Aku tak tau bagaimana harus ku ekspresikan rasa ku. Sebagian hati ku merasa senang mendapat bagian yang selama ini ku idamkan tapi sebagian lagi merasa ngilu karena terdapat kumpulan huruf yang membentuk dua kata menjadi satu nama. Nama dari seorang pria. Iya dia, pria misterius spikopat yang membawa awan hitam dalam hari-hari ku.  

*****

Keesokan harinya masing-masing bagian mengadakan rapat tertutup dengan bagian pusat untuk merencanakan program kerja. Aku bersama Mina dan Kamed pergi menuju ruangan asatidz[9]. Terlihat Ied dan satu orang pria yang tak ingin ku sebut namanya. Mereka tengah duduk di antara dua buah bangku yang berjauhan. Ku hentikan langkah ku, di tempat ini. Yah, tepat di tempat ini. Dan lagi-lagi ia menatap ku “heran”. Aku tak menghiraukan tatapan itu, hanya berlalu dan menunggu kehadiran Ustad Em sebagai ketua bagian bahasa pusat.

Dalam Pondok Pesantren ini terdapat dua jenis kelas yang disetarakan. Kelas khusus (Extention) dan kelas reguler. Kelas reguler adalah santri yang sudah menuntut ilmu mulai dari kelas I stanawiyah[10]. Sementara kelas khusus (Extention) santri yang menuntut  ilmu di Pondok  Pesantren mulai kelas I Aliyah[11]. Aku dan Ied termasuk dalam kelas khusus, sementara yang lainnya berasal dari kelas reguler. Kami memanggil kelas mereka dengan sebutan faslu khomis[12] sementara kelas ku di beri nama faslu tsListy at-takhosusiyah[13].

Di antara kami berlima hanya Ied lah yang mendapat predikat diam-diam menghanyutkan. Aku sudah satu tahun lebih berada dalam satu kelas yang sama dengannya, tapi tak pula akrab atau sekedar bicara basa-basi alakadarnya. Walaupun sangat pendiam, tapi kehadirannya tak dapat di remehkan begitu saja. Ada banyak rahasia yang tersimpan di balik senyumnya.

Sementara Mina dan Kamed tak jauh berbeda dengan ku. Kurang teliti dan cuek. Mina luar biasa dengan kecerdasannya, cantik dan memukau. Gadis yang tinggal di Jakarta utara itu tak pernah mengenal kata lelah untuk belajar. Terbukti dengan prestasinya yang sangat mudah menyesuaikan diri dalam faslu khomis. Dan Kamed gadis manis yang selalu ceria. Kebanyakan orang yang baru mengenalnya akan berpikir bahwa dia adalah gadis manja yang kekanak-kanakan. Cara bicaranya, sifat manjanya dan tutur katanya. Tapi mereka yang berhasil melihat jauh lebih dekat, akan tahu bahwa Kamed seorang gadis yang luar biasa. Dia selalu menutupi apapun yang meneduhkan hatinya dengan keceriaan.

Berbeda dengan Esa Rajawali. Banyak yang mengatakan dia adalah pria misterius. Yang dengan berbagai misteri itu membuat banyak gadis jatuh cinta padanya. Tapi menurut ku, ia tak lebih dari seorang pria angkuh sok exclusive dan membangun tembok beton untuk mengelilingi dirinya. Itulah yang membuat ia tampak begitu berbeda.

*****

            Menjadi pengurus tak seberat kelihatannya. Memang begitu banyak tugas yang harus dilakukan. Tapi semua itu terasa menyenangkan saat melakukannya dengan penuh keikhlasan. Mulai dari muhadatsah[14], mutarodifat[15] dan masih banyak lagi. Peraturan kini ada dalam genggaman ku. Aku bisa memberi hukuman kepada mereka yang berbicara tidak menggunakan bahasa resmi. Aku juga bisa meminta mereka melakukan banyak hal. Namun di balik semua itu aku harus menyontohkan bagaimana caranya berbahasa dengan baik. Bila tidak, aku pun akan mendapat hukuman. Seperti suatu malam ketika aku bergegas untuk tidur, tiba-tiba..

I’lan!!! hadzal i’lan ya-tikum min qismul lugoh al markazi, li Ukhtina Kia Mustopo ilaiha antaahduroh ila amama qismi ta’lim. Halan wa fauron![16]

Betapa terkejutnya aku, seketika aku kembali memakai baju belajar malam ku dan datang ke depan bagian pengajaran. Ku dapati Ustad Em sudah menunggu di sana. Aku menghampirinya, perlahan. Sangat perlahan, aku yakin semua ini bukan pertanda baik.

“Apa kabar?” tanya Ustad Em dengan bahasa arab yang fasih begitu aku tiba.

What? Apa kabar? Aku menundukan wajah sambil memutar bola mata ku kesal. Apakah jilbab ku yang amburadul dengan mengenakan rok setelan baju tidur tidak dapat menggambarkan keadaan ku?

“Ngantuk banget ustad” jawab ku sekenanya, berusaha untuk tetap santai.

“Kalau kamu mentaati peraturan sudah pasti saat ini sudah ada di pulau mimpi” ucapnya kemudian. Matanya mengerling, membuat ku semakin merinding. Peraturan? Dosa apa yang ku lakukan hingga membuat ketua bagian bahasa pusat ini menyandingkan ku dengan kata tidak “taat”.

“Sudah tau kesalahan mu sampai di panggil oleh bagian bahasa pusat?” tanya Ustad Em kemudian.

“Eng, enggak ustad” Jawab ku masih menunduk, berusaha menjaga kesadaran ku. Meski sebagian jiwa ku sudah tak sabar untuk tiba di pulau kapuk.

“Tugas seorang bagian bahasa itu menyontohkan bagaimana caranya berbahasa arab dan inggris dengan baik kepada yang lain. Bagaimana bahasanya mau maju kalau bagian bahasanya seperti kamu”

Don’t jugde me! Ku angkat wajah ku. Ku lihat pria yang hampir berkepala tiga itu berdiri di hadapan ku.

“Maaf ustad, tapi saya benar-benar tak tau apa kesalahan saya” ucap ku membela diri. Ia menarik nafas panjang sambil membolak-balik selembar kertas yang di genggamnya.

“Kamu teriak  jatoh, pukul enam pagi di depan kamar mandi” jelas Ustad Em sambil mengeja tulisan di atas kertas itu. Jatoh? Aku tergelak. Itu adalah kata keramat yang kerap kali ku ucapkan saat aku terkejut. Bagai mantra yang menyihir rasa ketakutan ku. Mantra latahadabra,..

Kampret! Mata-mata sialan!!!! Maki ku dalam hati, sudah ku duga. Ada mata-mata yang melaporkan ku. Siapapun itu, sangat tidak patut.

“Tapi ustad, saya latah dan gak maksud buat enggak berbahasa resmi”

“Apa? gak akan ada hukuman kalau setiap orang langsung tahu apa dan di mana kesalahannya” Ustad Em memojokan ku. Dan aku hanya bisa terdiam dirundung kesal akan kebiasaan ku itu. Terutama dengan mata-mata sialan itu. Bagaimana aku bisa membuang rasa sesal ku, bila aku harus menahan malu sebesar ini.

“Sudah, buat seratus kosa kata, hafalkan dan setorkan”

“Fahimti?[17]

“Fahimtu ustad..[18]

Dan mulai malam itu aku bertekad untuk segera menghilangkan kebiasaan latah ku. Setidaknya latah tapi tetap berbahasa resmi ala penjara suci ini.

*****

Keesokan harinya,

“Dipanggil bagian bahasa pusat?” tanya seseorang yang baru tiba ketika aku tengah sibuk menulis seratus kosa kata di kantor Pengurus.

“Iyah..” jawab ku, tak menoleh pada orang itu.

“Lagi buat hukuman?” tanyanya lagi. Kepo banget sih ini orang !!gerutu ku sambil mengangkat wajah ku kesal. Dia, si ketua bagian bahasa telah berdiri di samping ku. Aku dirundung rasa bersalah, sudah tentu perkara ini tak hanya membuat ku malu tapi juga bagian bahasa. Aku tak menjawab dan kembali menolehkan pandangan ku pada kertas di hadapan ku.

“Santai ajah, semua orang bisa berbuat salah ko termasuk kita. Kita pun ada di posisi ini bukan untuk menggurui kan? Tapi memberi contoh sambil belajar.” Ucapnya kemudian. Aku terdiam, dia gak marah. Padahal sudah ku bayangkan betapa ia kesal terhadap ku. Kesambet setan apa si kamret sok eksclusive ini?

“Syukron[19]” ucap ku. Setidaknya sikapnya meringankan rasa bersalah ku.

*****

Meski sudah masuk tahun kedua, belum terlihat sedikit pun tanda-tanda, aku bisa berhubungan baik dengan pria yang menjabat sebagai ketua bagian bahasa itu. Meski kini tak lagi kesal dengan sosoknya yang sering kali ada di sekitar ku. Tapi tak pula membuat ku bisa akrab dan berkomunikasi sebanyak aku berkomunikasi dengan yang lainnya. Dia tetap buram bagi ku.

Selasa, 20 April 2009. Sama seperti hari selasa lainnya. Hari selasa kesekian yang telah berhasil aku lewati di pondok pesantren ini. Tak ada yang baru, aku masih disibukan dengan ketikan novel pertama ku dalam kantor Pengurus. Aku tak tahu sejak kapan mulai tertarik dengan sastra. Karena seingat ku, aku tak pernah betah berlama-lama menghabiskan waktu dengan sebaris essay pun. Apalagi dengan sebuah buku yang penuh dengan kata tanpa angka dan gambar. Aku lebih senang berseteru dengan kumpulan angka, memecahkannya adalah sebuah kebanggaan. Sementara kata, selalu menjebak. Tidak pasti dan mengandung banyak makna. Tapi kini aku telah terhipnotis. Dikelilingi teman penghobi baca dan berbagai buku-buku luar biasa ini telah menyulapku menjadi seorang yang menyukai kata. Dan tentu aku tak begitu saja membenci angka. Angka tetap misteri yang harus dipecahkan dengan kepastiannya. Sementara kata obat bius dengan berbagai makna yang tersirat disetiap kalimatnya.

Seperti selasa ini, tatkala Hiran dari bagian kebersihan menghampiri ku dan bercerita berbagai kejadian naas yang menimpanya hari ini. Aku tengah sibuk menggoyangkan jari ku di atas keyboard. Segumpal awan putih yang melayang-layang di udara menyita perhatian ku. Terlihat begitu lembut, seketika aku teringat akan sesuatu.

“Ran..mau kemana?” tanya ku begitu Randi beranjak dari tempat duduknya.

“Balik ah, ngantuk gue” jawabnya, sambil menggaruk kepala.

“Eh, salam ya buat Esa. Happy birthday” ucap ku kemudian.

“Emang Esa ultah?” tanyanya, sedikit terkejut.

“Emm..” jawab ku, dan melanjutkan ketikan ku. Entah sejak kapan, tapi rasa kesal ku terhadap pria itu sudah mulai memudar. Tanggung jawab dan profesionalitas kerja memaksa ku untuk selalu bersinggungan dengannya. Dan hari ini adalah hari kelahirannya.

“Serius? Tanggal berapa emang?”

“Iya Rannnn, udah sana cepetan sampein” seloroh ku sok sibuk dengan ketikan.

Dan benar saja, tak lama randi berlalu. Pria itu datang menghampiri ku. Mengenakan baju koko bewarna emas dan sarung tenunnya, sepertinya ia baru saja melaksanakan sholat ashar. Aku sempat tak berkedip memandangnya, bukan masalah siapa orangnya. Tapi entah mengapa bagi ku laki-laki meningkat katampanannya ketika mengenakan baju koko.

“Thanks ya..” ucapnya sambil tersenyum.

“Untuk?” tanya ku seolah tak mengerti sambil terus menatap layar komputer.

“Tadi, yang disampein Hiran” imbuhnya.

“Oh, iya sama-sama”

“Lagi ngapain?”

“Ngetik.”

“Iya, ngetik apa maksudnya?”

“Emmm..”

“Novel?”

“Bisa dibilang begitu, hehe” Aku cengengesan. Masih sok sibuk dengan jari ku yang menari-nari di atas tuts.

“Owh.. lucu ya ngetiknya pake sebelas jari begitu hahahaaa”

Aku terdiam menghentikan ketikan ku. Bukan hanya malu, tapi kalimat itu bagai sebuah ejekan  yang merendahkan ku. Tapi mau gimana lagi? aku memang hanya bisa menggunakan kedua telunjuk ku untuk mengetik di atas tuts keyboard. Karena itu untuk ngetik satu halaman saja bisa memakan waktu lebih dari satu jam. Tiap detiknya habis ku pakai untuk mencari letak tiap huruf di atas keyboard yang terlampau banyak dengan letak yang tak berurutan. Hufftttt…

“Sialan, emangnya lo bisa ngetik pake sepuluh jari?” tantang ku untuk menutupi rasa malu.

“Bisa lah, cuma ngetik doang” jawabnya. Sombong kali si kampret ini!

“Gak percaya!”

“Sini gue buktiin, coba lo bacain kalimat yang ada di buku lo itu”

Seketika ia meraih keybord di hadapan ku dan mulai mengetik sebaris kalimat yang ku baca. Benar saja, jari jemarinya begitu lincah menggerayangi tuts hingga membentuk sebaris kalimat.

“Wih keren, coba gue bisa secepet itu. Cepet kelar nih tulisan” celetuk ku.

“Hahaha..makanya biasain ngetik nanti juga bisa sendiri”

“Iyah..”

“Ohya, mau gue ketikin biar cepet kelar?”

“Serius lo maHu ngetikin gue?”

“Iya, mau gak?”

“Nih, dengan senang hati” ucap ku menyerahkan sebuah buku yang berisi novel dengan tulisan tangan ku.

“Thanks ya” imbuh ku.

*****

Panas, sengatan matahari menusuk ubun-ubun ku. Bahkan Bogor yang sering disebut kota hujan pun, bila sudah di rajai sang mentari tak kalah panasnya dengan jalanan kota jakarta. Ruang kelas yang berbentuk bersegi panjang sedikit menikung ini bagai sebuah pemanggang raksasa, dan kami para santri di dalamnya bagai daging ayam panggang yang kepanasan. Peluh mengalir begitu deras, jangankan belajar, tidur pun tak akan nyenyak dalam ruang kelas ini.

Tak henti ku kibaskan buku cacatan dan mengarahkannya pada wajah ku, sebagai cara untuk meminimalisir panas yang menyengat ini. Beberapa anak yang tak tahan akan panasnya pergi keluar kelas. Ada pula yang ke masjid dan perpustakaan. Tapi berbeda dengan ku, para pengajar yang tak pula datang hingga jam pelajaran kedua ini membuat ku bosan dan memutuskan untuk kembali ke kamar. Tidur, yah aku memilih untuk tidur dan mengistirahatkan tubuhku. Waktu terlalu berharga bila hanya dihabiskan untuk berleha-leha atau bergosip, lebih baik aku tidur.

“Kia..!!! are you there?”

Perlahan aku membuka mata ku, terdengar dari kejauhan seseorang berteriak memanggil nama ku. Namun rasa kantuk yang kian membelenggu membuat ku tak mampu terjaga dan kembali tertidur.

Duk..!!! duk..!! duk..!!!!!

“Kia...!!!! are you there?”

“Oh my God!!! Kia !!! what time is now? Wake up !!!”

“Apaansih..” pekik ku kesal, masih lelap tertidur.

“Kia..wake up...wake up...!!!”

“Bodo ah..”

“Wake up !!!!” suara itu kembali menggelegar sambil menarik kaki ku yang masih mengenakan sepatu. Kali ini aku benar-benar terjaga, marah. Tidur ku diusik dan aku tak menyukai hal itu.

“Sial...”

“............” aku bungkam. Kata-kata yang ingin ku ucapkan seolah lari terbirit-birit melihat sosok di hadapan ku.  Ustad Ha, tengah berdiri mematung sambil menatap ku sinis. Matanya mendelik, penuh amarah. Ustad Ha adalah guru yang mengajar grammer di kelas ku. Ustad yang terkenal dengan kesangarannya dalam menghukum itu tengah menggenggam segulung kertas. Tak sedikit para santri yang tak suka padanya. Yah, walaupun aku tahu semua ustad dan ustadzah menghukum untuk merubah kebiasaan buruk. Tapi tetap saja, sulit untuk diterima. Sial gue kebablasan pikir ku sambil merapikan hijab ku gemetar.

“Are you sleepy?”

“Not sir..”

“So, why did you sleep during my class?”

“I have a stomachache, sir” jawab ku bohong sambil merengkuh perut ku. Salah satu senjata ngeles paling ampuh adalah dengan berpura-pura sakit. Selain itu ada pula alasan “lupa” atau buat wajah sepolos mungkin yang menunjukan ketidaktahuan. Setidaknya hukuman yang didapat tidak seberat dia yang melanggar dengan sengaja.

“I dont care, wake up and come to my class now !!!”

“I really have a stomachache, sir..”

“Do you have a stomachache every day”

“But...”

“No reason !! Go!!!!”

Dengan wajah lusuh bangun tidur, aku keluar dari kamar diiringi Ustad Ha di belakang ku. Terlihat beberapa teman sekelas yang memandangi ku, iba. Sesungguhnya aku tak berniat bolos dalam pelajaran grammer. Tapi tidur ku terlalu lelap hingga tak menyadari waktu istirahat yang telah usai. Lagi pula makin hari berlalu aku merasa makin sedikit para pengajar yang masuk kelas. Entah sibuk atau apapun itu yang jelas aku merasa bosan, dan ketika ku lampiaskan kebosanan ku itu malah mendapat hukuman. Sungguh tak adil. []

*****

            Seperti biasa begitu belajar malam selesai,  kami para pengurus akan segera bergegas menuju kantor untuk melakukan pemanggilan kepada para santri yang membuat pelanggaran. Dan tentu saja bagian bahasa selalu eksis, ada saja yang melanggar hampir setiap malam. Tapi hal itu bukan sebuah kebanggaan. Karena menurut ku ada dua kemungkinan ketika terjadi begitu banyak yang tidak berbahasa resmi. Pertama karena pengurusnya yang tak bisa dan tak patut menjadi contoh, yang kedua karena para santri yang tingkat kemalasannya sudah di atas rata-rata. Tapi aku selalu mengambil jalan tengah di antara keduanya. Karena pada dasarnya sebuah program kerja dibutuhkan sebuah kerjasama. Tapi kali ini, kertas pelanggaran itu kosong.

“Udah ada judul untuk besok?” tanya Mina. Ketika aku tengah sibuk dengan permainan ku di depan komputer.

“Belum ukhti,” jawab ku masih sibuk dalam permainan itu.

“Gimana kalau, Muhabbatul Ula La Tunsa Fieha[20]ucap Kamed kemudian yang belum ku sadari kehadirannya. Aku tercekat, judul itu begitu menarik perhatian ku. Lagi dan lagi, kata cinta memang bagai mantra yang sangat ampuh. Memaksa otak ku untuk kembali berpikir tentang cinta. Apakah benar bahwa cinta pertama tidak bisa dilupakan? Dan bagaimana dengan bentuk, bau atau rasa cinta pertama itu?

“Heh, ayo ke atas, laper..” ucap Sany. Wanita yang berkedudukan sebagai sekretaris pengurus itu, menarik kami keluar dari kantor pengurus. Tanpa banyak pertanyaan kami mengikuti langkahnya menuju kamar. Judul untuk muhadatsah besok sudah tersedia. Tak perlu ada yang kami pusingkan lagi. Hanya mencari kosa kata baru yang begitu banyak di dalam kamus.

Tepat jam sepuluh, teman baik ku Sany yang merupakan bagian keamanan pengurus mulai berkeliling ke seluruh kamar. Mencari dan memastikan tidak ada santri yang masih terjaga. Setelah yakin semua santri sudah tertidur, kini giliran kami para pembimbing yang bersiap-siap untuk tidur. Tapi tidak demikian dengan ku. Aku dan beberapa teman ku justru asik memandang bintang di langit dari bangunan kosong tepat di samping kamar ku. Di antara pakaian yang masih tergantung di atas jemuran, kami berbaring memandang langit. Inilah bagian yang paling ku sukai menjadi pembimbing. Walaupun pada dasarnya tidak diperbolehkan, tapi entah mengapa rasa takut akan hukuman karena melanggar peraturan telah berkurang. Hanya perlu sedikit seni.

 “Hey..kalian laper gak?” teriak Sany

 setengah berbisik. Sontak aku dan yang lain segera menghampirinya.

“Lumayan sih, ada makanan ukhti?” tanya ku.

“Ya enggak, kita beli nasi goreng ajah” jawab Sany sambil mengedipkan matanya. Nasi goreng, yah memang sudah menjadi sebuah kebiasaan yang sangat membudaya. Meskipun penjara suci ini dikelilingi tembok besar dan tinggi. Aku dan teman-teman punya cara unik agar bisa membeli apapun sesuka hati tanpa harus izin pada bagian keamanan pusat. Seperti malam ini, kami menunggu bunyi kelonteng tepat di bawah tangga kamar asy-syuja’iyah. Bunyi yang menandakan tukang nasi goreng keliling langganan kami.

Tuk..tuk..tuk....tuk.........

“Eh..eh..eh ukhti itu bukan?” tanya ku. Telinga ku begitu waspada, hingga bunyi kelonteng yang masih sangat jauh sudah dapat terdengar oleh ku. Sany bangkit dari tempat duduknya, segera memanggil amang nasi goreng itu. Sementara amang nasi goreng membuatkan pesanan kami, kami terus berceloteh tepat di anak tangga terakhir. Tak perlu menunggu waktu lama pesanan kami sudah siap. Aku melirik amang nasi goreng itu. Tanpa banyak tanya ia memasukan nasi goreng kedalam pelastik hitam besar dan mengikatnya erat.

“Ssssttttt....Sssssstttt...neng..” panggil amang nasi goreng sambil berbisik. Sudah mengerti bahwa kami adalah sekumpulan santriwati, dan membeli nasi gorengnya adalah sebuah pelanggaran berat.

“Ohiya mang,”

Tanpa aba-aba amang nasi goreng melempar pesanan kami melewati tembok yang menjulang tinggi. Dengan sigap aku menangkap nasi goreng itu.

“Ehhh mau kemana? Bayar dulu lah..”

“Emang belum dibayar?”

“Belum.. fulus[21]mana?”

“Ya ampun ukhti, Gue belum di mudifah[22]” jawab ku, menyadari tak sepeser pun uang ku miliki saat ini.

“Anti?” tanya Sany pada Kamed.

“Sama..” jawab Kamed lirih.

“Haduhhh gue juga sama nih, gimana dong?”

Kami panik, ternyata tak ada satupun dari kami yang memiliki uang. Akhir bulan memang hari-hari yang sangat sulit untuk dilalui. Bila aku sedang berada di rumah tentu lain soal. Tapi ini? soal gampang bila kami kabur meninggalkan amang nasi goreng di bawah. Tapi mana bisa kami seperti itu pada orang yang rela berkeliling di malam hari demi keluarganya.

“Pake ini” Sany memberikan segulung kertas nasi pada ku.

“Untuk apa?” tanya ku.

“Heuhh..” ia memutar bola matanya dan mengambil kembali gulungan kertas nasi itu. Ku lihat ia menghampiri tembok dan sedikit bercakap dengan amang nasi goreng.

“Yuk, cabut” ucap Sany tak begitu lama.

Akhirnya ku ketahui bahwa gulungan kertas nasi yang dibawa Sany itu gunakan sebagai alat tukar pengganti uang. Dan beruntungnya amang nasi goreng bersedia menerimanya. Aku tertegun, semua ini tak akan ku dapatkan dalam sebuah sekolah biasa yang ku impikan dulu.

*****

Malam berikutnya aku kembali ke kantor pengurus untuk melakukan pemanggilan. Kali ini hanya ada beberapa orang dengan kesibukan mereka. Kantor pengurus tampak sepi, biasanya selalu ada Kamed dan beberapa orang lain saling melempar lelucon. Membuat siapapun yang mendengarnya tak akan bisa melawan gejolak untuk tertawa. Aku kembali teringat dengan perkataan teman sekelas ku yang mengatakan Esa dan Kamed tak seakrab dulu. Ada banyak spekulasi tentang merenggangnya hubungan mereka. Mulai dari putus cinta, di tolak cinta sampai hal lainnya. Awalnya aku mengira semua itu hanya gosip murahan biasa tapi melihat kekosongan malam ini membuat ku berpikir lain.

“Ki....”seseorang memanggil ku. Terlihat oleh ku, Esa tengah duduk di depan inventoris bagian bahasa. 

“Ada apa?” aku menghampirinya. Entah mengapa wajahnya terlihat murung. Ia tengah sibuk dengan secarik kertas yang di genggamnya. Menggulung, melipat, dan membuat kertas itu tak beraturan. Aku heran, tak biasanya dia seperti itu. Aku memang tak mengenalnya, menjadi bagian dari bagian bahasa tak menjadi jaminan bisa mengenalnya dengan baik. Tapi sungguh, aku belum pernah melihatnya segamang itu.

“Apa apa?” ku ulang pertanyaaan ku. Tapi ia masih terdiam, tak menatap ku. Makhluk bernama laki-laki memang sangat sulit untuk ditebak. Apalagi laki-laki yang ada dalam bagian bahasa ini. Esa Rajawali dan Kuya, mereka pria yang paling aneh dan sulit ditebak menurut ku. Kuya terlalu pendiam, aku bicara panjang lebar dengan suara lantang pun ia hanya membalasnya dengan anggukan atau bola mata yang memutar. Sementara Esa, tak akan ada orang yang bisa menebak isi kepalanya. Ketika semua orang dilanda rasa panik, ia hanya terdiam, terlihat cuek dan tak peduli tapi ketika ia mulai bicara semua hal yang membuat panik itu sirna seketika. Otak ajaib! Selalu kalimat ini yang terlintas di benak ku saat ia mengutarakan ide-ide gilanya.

“Lo mau gak jadi sahabat gue?”

“Hah?” aku terjaga. Sebaris kalimat itu sangat janggal dan asing bagi kamus dalam memori otak ku. Hingga aku membutuhkan waktu lebih lama untuk memahaminya.

“Iya mau gak jadi sahabat gue?”

“Sa, sahabat?”

“Iya mau atau enggak?”

“.....”

Sahabat, adalah sebuah kata yang menggambarkan untuk orang yang sangat dekat. Dan aku belum pernah mendengar gelar sahabat itu diberikan dengan cara memintanya. Setahu ku gelar itu muncul dengan sendirinya seiring dengan kedekatan hubungan yang terjalin di antara mereka. Tapi kini? Aku bingung, bukan tentang kata dari sahabat itu tapi efek dari permintaan itu. Apakah semudah itu meminta seseorang menjadi sahabat, dan apakah aku bisa berlaku seperti sahabat pada orang yang bahkan pernah aku benci, iyah pria sok eksclusive itu.

“Heh, mau apa enggak?” ucapnya lagi. Pria ini memang tak pernah mengenal kata tunggu. Dan mungkin ia pun tak mengerti makna dari kata sabar.

“Woy...”

“Iya..iya, sahabat doang kan? Selama itu gak ngerugIin gue, gak masalah” jawab ku.

“Gue punya sahabat lagi” Bisiknya lembut.

*****



[1] Berdiskusi

[2] Berdialog

[3] Berpidato

[4] Penda’i selanjutnya berasal dari kelas 1 MAPK, mari kita panggilkan Kia Mustofa

[5] Bangun

[6] Ayo kia cepet !

[7] Untuk Saudara kita Kia, tepuk tangan

[8]Pimpinan Pondok Pesantren

[9]Guru laki-laki lebih dari 2

[10]Setara SMP (Sekolah Menengah Pertama)

[11]Setara SMA (Sekolah Menengah Atas)

[12]Kelas lima

[13]Kelas 2 khusus

[14]Berbincang dalam bahasa arab

[15]Pemberian kosa kata baru

[16]Penguman!! Pengumanan ini datang dari bagian bahasa pusat. Untuk Saudari Kia Rizky Awaliyah harap untuk    datang ke depan bagian pengajaran. Secapatnya!!

[17]Kamu mengerti?

[18]Saya mengerti ustad

[19]Terima kasih

[20]Cinta Pertama tidak akan terlupakan

[21] Uang

[22] Dikunjungi keluarga

No comments:

Rangkuman Debat Pertama Capres 2024

Anies Baswedan Visi dan Misi 1.        Menempatakan hukum sebagai rujukan utama untuk memastikan hadirnya rasa keadilan memberikan keber...