Tempat ini memang sebuah penjara tanpa
kunci, siapa pun yang ingin pergi tak akan ada yang akan menahannya. Itulah
perbedaan penjara ini dari penjara yang lainnya. Ayah ku selalu mengatakan “hanya orang-orang luar biasa yang dapat
tinggal dan menghabiskan tiap detiknya di tempat ini”. Karenanya aku terus
berusaha untuk menekan hasrat itu tiap kali ia mulai meracuni hati ku.
Siang ini, tak hanya sepi yang melanda
hati ku tapi virus malestozoid pun
sudah mulai mengakar di sana. Membuat ku enggan untuk melakukan apapun,
termasuk kegiatan munaqosah[1] yang
rutin dilakukan setiap hari senin. Dan Aku tak menyukai kegiatan itu, meski
dalam forum diskusi diberi kebebasan untuk berpendapat. Tapi bagiku, forum itu
justru membentuk diri menjadi egois. Di mana setiap golongan pro atau kontra
berlomba mencari alasan yang dianggap sebuah fakta untuk membenarkan pilihan
mereka. Padahal orang yang berwawasan luas selalu bisa melihat satu hal dari
berbagai sudut pandang. Dan bisa menghargai semua alasan dibalik sudut pandang
tersebut.
Setelah memakai seragam munaqosah, ku langkahkan kaki ku menuju
aula besar. Tak memakan waktu lama untuk
tiba di sana. Ada beberapa petugas dari anggota pengurus yang menunggu di sana. Menunggu dan menghukum mereka yang datang
terlambat. Yeah lucky me, aku tak
harus merasakan panasnya sinar mentari. Tapi bukan berarti aku lolos begitu
saja, ada godaan yang jauh lebih sulit untuk dihindari. Yaitu rasa kantuk
dengan berbagai macam pesonanya yang menggoda kelopak mata untuk terpejam.
Benar saja belum lama diskusi dimulai,
kantuk telah merajai mata ku. Susah payah aku berusaha menegakan kelopaknya.
Meski perdebatan kian sengit tapi aku tetap tak bisa berontak dari jeratan
kantuk itu. Bosan pun tak ingin ketinggalan. Setelah malas dan kantuk menyerang
ku, kini bosan pun mulai mengambil bagian. Bosan dengan perdebatan yang selalu
didominasi oleh orang yang sama. Intonasi yang sama dan kalimat pembelaan yang
sama. Huffttt..
Ku luaskan pandangan ku, berusaha
mencari apapun yang bisa mengalihkan ku dari pertempuran dengan malas, kantuk
dan bosan. Setelah menjelajahi seluruh sudut ruangan ini, mata ku tertuju pada Kino. Salah satu teman sekelas ku yang berasal dari Karawang ini
memang sangat unik. Saat pertama kali aku bertemu dengannya langsung terlintas
di benak ku sosok seorang vampire. Bukan
karena dia mirip dengan si vampire ganteng
Edward Cullen. Aku sendiri tak tau
mengapa aku ingat dengan sosok makhluk haus darah itu. Tapi, kali ini bukan
soal tampang vampirenya yang menarik
perhatian ku. Kepalanya yang terangguk-angguk menahan kantuk itu membuat ku
tergelitik.
“Intrupsi !!!” teriak seseorang sambil
mengangkat tangan kanannya. Seketika moderator pun mempersilakan orang itu
untuk bicara.
“Okey, terima kasih untuk moderator.
Sebelumnya saya mohon maaf. Buat saya, udah basi banget topik ini. Poligami
lagi poligami lagi, jadi yang didebatin itu-itu ajah. Dan udah pasti para
laki-laki pro poligami sementara perempuan kontra terhadap poligami. Jadi,
kalau menurut saya buat kaka pembimbingnya tolong lebih selektif lagi dalam
memilih tema untuk pemakalah.” Ucap orang itu berapi-api.
Aku terjaga. Kembali ku luaskan
pandangan kesegala arah. Dan lagi-lagi pria itu, wajahnya datar tanpa gurat
apapun yang menunjukan bahwa ia tengah dikuasai amarah. Tapi nada bicara dan
kalimat yang diucapkannya menggambarkannya dengan jelas. Cari muka. Suasana yang awalnya ricuh oleh para audiens yang berebut berpendapat, kini
sepi. Dan selang beberapa detik suasana ricuh kembali. Tapi kali ini bukan
ricuh karena topik yang diangkat oleh pemakalah. Tapi justru pada para
pembimbing.
Begitu mudahnya pria itu mempermainkan
suasana. Padahal hanya dengan beberapa baris kalimat. Tapi kalimat itu seolah
menghipnotis para peserta diskusi untuk ikut andil dari tiap huruf dalam
kalimat tersebut. Kampret! aku
tersenyum. Ternyata dalam diskusi ilmiyah tak hanya sebatas hal yang ku
pikirkan selama ini. Diskusi ilmiyah memacu setiap individu untuk berpikir
kritis terhadap sekitar dan meningkatkan keberanian dalam mengungkapkan pendapat.
*****
Ada banyak hal yang ku temui dalam
pondok pesantren ini. Mulai dari cara bicara yang diwajibkan menggunakan bahasa
arab dan inggris, munaqosah, muhadatsah[2], sampai
muhadharoh[3]
yang pula harus menggunakan kedua bahasa itu. Ada banyak istilah yang tidak
pernah ku temui sebelumnya. Walau sempat merasa tersiksa dengan berbagai
kegiatan yang bertubi-tubi. Tapi aku pun tak bisa berdusta bahwa aku menikmati
setiap adrenalin yang tercipka saat aku memaksakan diri ku melakukan sesuatu
yang belum pernah aku lalukan sebelumnya. Seperti pada suatu malam, tepat pada
malam jum’at. Di mana pada malam tersebut ada sebuah jadwal rutin yang wajib
dilaksanakan, yakni muhadharoh.
Sebagai anak baru, aku tak perlu cemas.
Karena aku yakin para pembimbing hanya memilih mereka yang sudah berpengalaman
untuk berpidato. Karena itu, setelah selesai mengenakan seragam. Aku dan
teman-teman ku segera menuju aula besar untuk melihat penampilan para senior. Diiringi
dengan genderang marawis dan berbagai yel-yel yang sangat unik untuk menambah
semangat. Tentu saja aku memilih tempat yang sangat strategis. Yakni tepat
dibelakang senior ku dekat dengan dinding. Aku memilih tempat itu karena aku
dikelilingi para peserta muhadharoh
lainnya sehingga saat aku tertidur, para pembimbing tak akan menyadarinya.
Sangat mudah, peraturan ada untuk
dilanggar bukan?
Setelah semua peserta dan pembimbing
berkumpul, muhadharah segera dimulai.
Bising mulai mengisi ruang aula. Tak lama kemudian, berdiri lah dua orang
pembawa acara di depan para peserta. Berbicara dengan menggunakan bahasa arab
dan inggris yang fasih. Kini aku mulai memahami tiap kalimat yang diucapkan
pembawa acara tersebut. And ya, iam happy.
Bagi ku, mahir dalam menggunakan bahasa asing tidak di tentukan berapa mahal
dan berkualitas tempat kursus tapi seberapa sering kita mempraktekannya.
Tapi sungguh, aku tak mengerti mengapa
aku sangat lemah dan mudah diperdayai oleh kantuk. Setiap acara, entah itu
siang dan malam. Kantuk selalu merajai kedua mata ku. Dan kali ini pun begitu,
aku tak sanggup untuk melawan dan mulai tertidur. Walau demikian, aku masih
bisa mendengar suara gaduh itu. Seperti mendengarkan musik saat berenang di
dasar kolam. Hanya sayup-sayup yang bergemuruh.
“Al-khitobatu ya’liha hiya ja’ats min faslu awal
attakhosusiyah. Sa nad’u ukhtana Kia Mustopa[4]”
“Pe...pe...Qumie[5]..!”
seseorang mengguncang tubuhku. Aku kembali terjaga, setelah beberapa detik. Ku
sadari semua mata tengah tertuju pada ku.
“Hayya
Kia Tasaro’i[6]...!”
pembawa acara kembali memanggil ku. Ada apa ini? semua orang bersorak
meneriakan nama ku.
“Cepetan Pe, kalau gak maju dihukum
nanti” Bisik Jane.
“Ngapain?” tanya ku hampir tak
terdengar, tertelan oleh bisingnya ruangan.
“Pidato lah, pake bahasa. Udah sana
cepet”
“Haahh? Gue gak bisa...” aku panik.
Detak jantung ku semakin menderu, para pembimbing menghampiri ku dan menyeret
ku ke depan. Aku tak tahu apa yang akan ku sampaikan.
“Ya!!!!!
Li ukhtina Kia Attasyfieekk....[7]”
teriak seseorang dibalik kerumunan diikuti gemuruh tepuk tangan.
“Assalamu a’laikum warrohmatullahi wabarokatuh..”ucap ku begitu tiba di atas mimbar. Seketika suasana menjadi
sepi. Mereka menatap ku, ku tarik nafas sekuat mungkin dan menghembuskannya
perlahan. Semua itu ku lakukan untuk menetralisir detak jantung ku yang tak
karuan. Hingga tak berapa lama aku teringat akan pengganlan kalimat pembuka
dalam lomba pidato bahasa inggris yang pernah ku juarai saat duduk di bangku stanawiyah dulu.
“On the name of Allah, The most gracias, the most mercifull.
All pracies be to Allah, the lord of the world, the master of the day after the
creator of every things in this univers. He has no partner. And dont forget
praying and greeting we send to our prophet Muhammad SAW. Who has brought us
from the darkness to the lightness like now. Iam standing here, i want speech
by english language. Little by little with the tittle...”
“Love” kampret! Pidato macam apa kiaaaaa. Aku semakin gugup.
Sorak sorai beriring tepuk tangan
kembali membahana. Aku tak mengerti mengapa kata itu keluar begitu saja dari
mulut ku, dan memilihnya sebagai judul dari pidato ku. Mungkin karena otak ku
masih penuh jutaan pertanyaan tentang cinta.
*****
Hari telah berganti bulan, dan bulan
pun berganti tahun. Tak terasa sudah jutaan detik ku lalui dalam penjara suci
ini. Satu persatu teman ku berguguran. Aku bagai daun muda yang tertinggal pada
sebuah ranting tua yang mengering. Begitu sepi, sendiri dan sunyi. Hati ku
diliputi rasa gamang, hanya butuh sedikit hembusan angin untuk menjatuhkan ku.
Perpisahan demi perpisahan tak dapat
dielakan. Puluhan temen sekelas ku kini hanya tersisa belasan. Begitupun Jane
dan Loviy mereka pergi meninggalkan ku. Tandus, kebun harapan ku mengering. Aku
tak tahu harus berbuat apa. Betapa kecewanya orang tuaku, jika ku langkahkan
kaki ku keluar dari penjara suci ini. Tapi bagaimana jadinya aku jika terus dilanda
rasa rindu.
Bagai diamuk badai pasir, hancur tak
berserakannya hati ku. Hari-hari ku begitu kelabu. Aku berjalan tapi aku tak
tahu apa yang ku tuju. Aku mencari tanpa tahu apa sudah hilang. Aku tenggelam
tanpa tahu apa yang telah karam. Aku gamang, bertahan di tengah badai dalam
perjuangan.
Sampai
akhirnya tiba di mana aku akan dilantik menjadi seorang anggota Pengurus Organisasi.
setelah melewati berbagai seleksi yang rumit dan panjang. Di sini lah aku, di
antara santri angkatan ke dua puluh. Aku
hanya terdiam mendengar pidato sambutan yang disampaikan oleh Mudirul Ma’had[8].
Hingga
akhirnya hal yang ditunggu-tunggu pun telah tiba, yakni pengumuman yang akan
menjadi tanggung jawab ku. Aku semakin larut dalam sepi ku, berharap semua ini dapat mengalihkan ku dari
rasa rindu yang kian menggunung di hati ku. Nama berganti nama disebutkan
beriring dengan tanggung jawab mereka. Aku terus berdo’a berharap mendapat
rekan yang bisa menjadi sahabat bagi ku. Siapa pun, asal jangan pria dengan
tatapan sedalam samudra itu.
“Language Departement, they are Esa Rajawali..”
“Bagian itu?”
aku tercekat. Kampret! Bagian bahasa,
bagian yang ku inginkan. Tapi mendengar nama pria itu membuat ku harus membuang
jauh harapan untuk menjadi salah satu dari Language
Departement.
“Ied, Mina ..”
“Okey..semua
akan baik-baik ajah” bisik ku pada diri ku sendiri. Untuk menetralisir jantung
ku yang berdetak kian cepat.
“Kia..”
“What?” aku terkejut. Oh shit!
“And the last Kamed..”
Aku semakin
membisu, ketika yang lainnya bersorak akan tanggung jawab baru mereka. Aku tak
tau bagaimana harus ku ekspresikan rasa ku. Sebagian hati ku merasa senang
mendapat bagian yang selama ini ku idamkan tapi sebagian lagi merasa ngilu
karena terdapat kumpulan huruf yang membentuk dua kata menjadi satu nama. Nama
dari seorang pria. Iya dia, pria misterius spikopat yang membawa awan hitam
dalam hari-hari ku.
*****
Keesokan
harinya masing-masing bagian mengadakan rapat tertutup dengan bagian pusat untuk
merencanakan program kerja. Aku bersama Mina dan Kamed pergi menuju ruangan asatidz[9].
Terlihat Ied dan satu orang pria yang tak ingin ku sebut namanya. Mereka tengah
duduk di antara dua buah bangku yang berjauhan. Ku hentikan langkah ku, di
tempat ini. Yah, tepat di tempat ini. Dan lagi-lagi ia menatap ku “heran”. Aku
tak menghiraukan tatapan itu, hanya berlalu dan menunggu kehadiran Ustad Em
sebagai ketua bagian bahasa pusat.
Dalam Pondok
Pesantren ini terdapat dua jenis kelas yang disetarakan. Kelas khusus (Extention) dan kelas reguler. Kelas
reguler adalah santri yang sudah menuntut ilmu mulai dari kelas I stanawiyah[10].
Sementara kelas khusus (Extention) santri
yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren mulai kelas I Aliyah[11].
Aku dan Ied termasuk dalam kelas khusus, sementara yang lainnya berasal dari
kelas reguler. Kami memanggil kelas mereka dengan sebutan faslu khomis[12]
sementara kelas ku di beri nama faslu
tsListy at-takhosusiyah[13].
Di antara
kami berlima hanya Ied lah yang mendapat predikat diam-diam menghanyutkan.
Aku sudah satu tahun lebih berada dalam satu kelas yang sama dengannya, tapi
tak pula akrab atau sekedar bicara basa-basi alakadarnya. Walaupun sangat
pendiam, tapi kehadirannya tak dapat di remehkan begitu saja. Ada banyak
rahasia yang tersimpan di balik senyumnya.
Sementara Mina
dan Kamed tak jauh berbeda dengan ku. Kurang teliti dan cuek. Mina luar biasa
dengan kecerdasannya, cantik dan memukau. Gadis yang tinggal di Jakarta utara
itu tak pernah mengenal kata lelah untuk belajar. Terbukti dengan prestasinya
yang sangat mudah menyesuaikan diri dalam faslu
khomis. Dan Kamed gadis manis yang selalu ceria. Kebanyakan orang yang baru
mengenalnya akan berpikir bahwa dia adalah gadis manja yang kekanak-kanakan.
Cara bicaranya, sifat manjanya dan tutur katanya. Tapi mereka yang berhasil
melihat jauh lebih dekat, akan tahu bahwa Kamed seorang gadis yang luar biasa.
Dia selalu menutupi apapun yang meneduhkan hatinya dengan keceriaan.
Berbeda
dengan Esa Rajawali. Banyak yang mengatakan dia adalah pria misterius. Yang
dengan berbagai misteri itu membuat banyak gadis jatuh cinta padanya. Tapi
menurut ku, ia tak lebih dari seorang pria angkuh sok exclusive dan membangun tembok beton untuk mengelilingi dirinya.
Itulah yang membuat ia tampak begitu berbeda.
*****
Menjadi
pengurus tak seberat kelihatannya. Memang begitu banyak tugas yang harus
dilakukan. Tapi semua itu terasa menyenangkan saat melakukannya dengan penuh
keikhlasan. Mulai dari muhadatsah[14],
mutarodifat[15]
dan masih banyak lagi. Peraturan kini ada dalam genggaman ku. Aku bisa
memberi hukuman kepada mereka yang berbicara tidak menggunakan bahasa resmi.
Aku juga bisa meminta mereka melakukan banyak hal. Namun di balik semua itu aku
harus menyontohkan bagaimana caranya berbahasa dengan baik. Bila tidak, aku pun
akan mendapat hukuman. Seperti suatu malam ketika aku bergegas untuk tidur,
tiba-tiba..
“I’lan!!! hadzal i’lan ya-tikum min qismul
lugoh al markazi, li Ukhtina Kia Mustopo ilaiha antaahduroh ila amama qismi
ta’lim. Halan wa fauron![16]”
Betapa
terkejutnya aku, seketika aku kembali memakai baju belajar malam ku dan datang
ke depan bagian pengajaran. Ku dapati Ustad Em sudah menunggu di sana. Aku
menghampirinya, perlahan. Sangat perlahan, aku yakin semua ini bukan pertanda
baik.
“Apa kabar?”
tanya Ustad Em dengan bahasa arab yang fasih begitu aku tiba.
What? Apa kabar? Aku
menundukan wajah sambil memutar bola mata ku kesal. Apakah jilbab ku yang
amburadul dengan mengenakan rok setelan baju tidur tidak dapat menggambarkan
keadaan ku?
“Ngantuk
banget ustad” jawab ku sekenanya, berusaha untuk tetap santai.
“Kalau kamu
mentaati peraturan sudah pasti saat ini sudah ada di pulau mimpi” ucapnya
kemudian. Matanya mengerling, membuat ku semakin merinding. Peraturan? Dosa apa yang ku lakukan
hingga membuat ketua bagian bahasa pusat ini menyandingkan ku dengan kata tidak
“taat”.
“Sudah tau
kesalahan mu sampai di panggil oleh bagian bahasa pusat?” tanya Ustad Em
kemudian.
“Eng, enggak
ustad” Jawab ku masih menunduk, berusaha menjaga kesadaran ku. Meski sebagian
jiwa ku sudah tak sabar untuk tiba di pulau kapuk.
“Tugas
seorang bagian bahasa itu menyontohkan bagaimana caranya berbahasa arab dan
inggris dengan baik kepada yang lain. Bagaimana bahasanya mau maju kalau bagian
bahasanya seperti kamu”
Don’t jugde me! Ku
angkat wajah ku. Ku lihat pria yang hampir berkepala tiga itu berdiri di
hadapan ku.
“Maaf ustad,
tapi saya benar-benar tak tau apa kesalahan saya” ucap ku membela diri. Ia
menarik nafas panjang sambil membolak-balik selembar kertas yang di genggamnya.
“Kamu
teriak jatoh, pukul enam pagi di depan kamar mandi” jelas Ustad Em sambil
mengeja tulisan di atas kertas itu. Jatoh?
Aku tergelak. Itu adalah kata keramat yang kerap kali ku ucapkan saat aku
terkejut. Bagai mantra yang menyihir rasa ketakutan ku. Mantra latahadabra,..
Kampret! Mata-mata sialan!!!! Maki ku dalam hati, sudah ku duga. Ada mata-mata yang
melaporkan ku. Siapapun itu, sangat tidak patut.
“Tapi ustad,
saya latah dan gak maksud buat enggak berbahasa resmi”
“Apa? gak
akan ada hukuman kalau setiap orang langsung tahu apa dan di mana kesalahannya”
Ustad Em memojokan ku. Dan aku hanya bisa terdiam dirundung kesal akan
kebiasaan ku itu. Terutama dengan mata-mata sialan itu. Bagaimana aku bisa
membuang rasa sesal ku, bila aku harus menahan malu sebesar ini.
“Sudah, buat
seratus kosa kata, hafalkan dan setorkan”
“Fahimti?[17]”
“Fahimtu
ustad..[18]”
Dan mulai
malam itu aku bertekad untuk segera menghilangkan kebiasaan latah ku.
Setidaknya latah tapi tetap berbahasa resmi ala penjara suci ini.
*****
Keesokan harinya,
“Dipanggil
bagian bahasa pusat?” tanya seseorang yang baru tiba ketika aku tengah sibuk
menulis seratus kosa kata di kantor Pengurus.
“Iyah..”
jawab ku, tak menoleh pada orang itu.
“Lagi buat
hukuman?” tanyanya lagi. Kepo banget sih
ini orang !!gerutu ku sambil mengangkat wajah ku kesal. Dia, si ketua bagian bahasa telah
berdiri di samping ku. Aku dirundung rasa bersalah, sudah tentu perkara ini tak
hanya membuat ku malu tapi juga bagian bahasa. Aku tak menjawab dan kembali
menolehkan pandangan ku pada kertas di hadapan ku.
“Santai ajah,
semua orang bisa berbuat salah ko termasuk kita. Kita pun ada di posisi ini
bukan untuk menggurui kan? Tapi memberi contoh sambil belajar.” Ucapnya
kemudian. Aku terdiam, dia gak marah.
Padahal sudah ku bayangkan betapa ia kesal terhadap ku. Kesambet setan apa si kamret sok eksclusive ini?
“Syukron[19]”
ucap ku. Setidaknya sikapnya meringankan rasa bersalah ku.
*****
Meski sudah
masuk tahun kedua, belum terlihat sedikit pun tanda-tanda, aku bisa berhubungan
baik dengan pria yang menjabat sebagai ketua bagian bahasa itu. Meski kini tak
lagi kesal dengan sosoknya yang sering kali ada di sekitar ku. Tapi tak pula
membuat ku bisa akrab dan berkomunikasi sebanyak aku berkomunikasi dengan yang
lainnya. Dia tetap buram bagi ku.
Selasa, 20 April 2009.
Sama seperti hari selasa lainnya. Hari selasa kesekian yang telah berhasil aku
lewati di pondok pesantren ini. Tak ada yang baru, aku masih disibukan dengan
ketikan novel pertama ku dalam kantor Pengurus. Aku tak tahu sejak kapan mulai
tertarik dengan sastra. Karena seingat ku, aku tak pernah betah berlama-lama
menghabiskan waktu dengan sebaris essay
pun. Apalagi dengan sebuah buku yang penuh dengan kata tanpa angka dan gambar.
Aku lebih senang berseteru dengan kumpulan angka, memecahkannya adalah sebuah
kebanggaan. Sementara kata, selalu menjebak. Tidak pasti dan mengandung banyak
makna. Tapi kini aku telah terhipnotis. Dikelilingi teman penghobi baca dan
berbagai buku-buku luar biasa ini telah menyulapku menjadi seorang yang
menyukai kata. Dan tentu aku tak begitu saja membenci angka. Angka tetap
misteri yang harus dipecahkan dengan kepastiannya. Sementara kata obat bius
dengan berbagai makna yang tersirat disetiap kalimatnya.
Seperti
selasa ini, tatkala Hiran dari bagian kebersihan menghampiri ku dan bercerita
berbagai kejadian naas yang menimpanya hari ini. Aku tengah sibuk menggoyangkan
jari ku di atas keyboard. Segumpal
awan putih yang melayang-layang di udara menyita perhatian ku. Terlihat begitu
lembut, seketika aku teringat akan sesuatu.
“Ran..mau
kemana?” tanya ku begitu Randi beranjak dari tempat duduknya.
“Balik ah,
ngantuk gue” jawabnya, sambil menggaruk kepala.
“Eh, salam ya
buat Esa. Happy birthday” ucap ku
kemudian.
“Emang Esa
ultah?” tanyanya, sedikit terkejut.
“Emm..” jawab
ku, dan melanjutkan ketikan ku. Entah sejak kapan, tapi rasa kesal ku terhadap
pria itu sudah mulai memudar. Tanggung jawab dan profesionalitas kerja memaksa
ku untuk selalu bersinggungan dengannya. Dan hari ini adalah hari kelahirannya.
“Serius?
Tanggal berapa emang?”
“Iya Rannnn,
udah sana cepetan sampein” seloroh ku sok sibuk dengan ketikan.
Dan benar
saja, tak lama randi berlalu. Pria itu datang menghampiri ku. Mengenakan baju
koko bewarna emas dan sarung tenunnya, sepertinya ia baru saja melaksanakan
sholat ashar. Aku sempat tak berkedip memandangnya, bukan masalah siapa
orangnya. Tapi entah mengapa bagi ku laki-laki meningkat katampanannya ketika
mengenakan baju koko.
“Thanks ya..”
ucapnya sambil tersenyum.
“Untuk?”
tanya ku seolah tak mengerti sambil terus menatap layar komputer.
“Tadi, yang
disampein Hiran” imbuhnya.
“Oh, iya
sama-sama”
“Lagi
ngapain?”
“Ngetik.”
“Iya, ngetik
apa maksudnya?”
“Emmm..”
“Novel?”
“Bisa
dibilang begitu, hehe” Aku cengengesan. Masih sok sibuk dengan jari ku yang
menari-nari di atas tuts.
“Owh.. lucu
ya ngetiknya pake sebelas jari begitu hahahaaa”
Aku terdiam
menghentikan ketikan ku. Bukan hanya malu, tapi kalimat itu bagai sebuah
ejekan yang merendahkan ku. Tapi mau
gimana lagi? aku memang hanya bisa menggunakan kedua telunjuk ku untuk mengetik
di atas tuts keyboard. Karena itu
untuk ngetik satu halaman saja bisa memakan waktu lebih dari satu jam. Tiap
detiknya habis ku pakai untuk mencari letak tiap huruf di atas keyboard yang
terlampau banyak dengan letak yang tak berurutan. Hufftttt…
“Sialan,
emangnya lo bisa ngetik pake sepuluh jari?” tantang ku untuk menutupi rasa
malu.
“Bisa lah,
cuma ngetik doang” jawabnya. Sombong kali
si kampret ini!
“Gak
percaya!”
“Sini gue buktiin, coba lo bacain kalimat yang
ada di buku lo itu”
Seketika ia
meraih keybord di hadapan ku dan mulai mengetik sebaris kalimat yang ku baca.
Benar saja, jari jemarinya begitu lincah menggerayangi tuts hingga membentuk
sebaris kalimat.
“Wih keren,
coba gue bisa secepet itu. Cepet kelar nih tulisan” celetuk ku.
“Hahaha..makanya
biasain ngetik nanti juga bisa sendiri”
“Iyah..”
“Ohya, mau
gue ketikin biar cepet kelar?”
“Serius lo maHu
ngetikin gue?”
“Iya, mau
gak?”
“Nih, dengan
senang hati” ucap ku menyerahkan sebuah buku yang berisi novel dengan tulisan
tangan ku.
“Thanks ya”
imbuh ku.
*****
Panas,
sengatan matahari menusuk ubun-ubun ku. Bahkan Bogor yang sering disebut kota
hujan pun, bila sudah di rajai sang mentari tak kalah panasnya dengan jalanan
kota jakarta. Ruang kelas yang berbentuk bersegi panjang sedikit menikung ini
bagai sebuah pemanggang raksasa, dan kami para santri di dalamnya bagai daging
ayam panggang yang kepanasan. Peluh mengalir begitu deras, jangankan belajar,
tidur pun tak akan nyenyak dalam ruang kelas ini.
Tak henti ku
kibaskan buku cacatan dan mengarahkannya pada wajah ku, sebagai cara untuk
meminimalisir panas yang menyengat ini. Beberapa anak yang tak tahan akan
panasnya pergi keluar kelas. Ada pula yang ke masjid dan perpustakaan. Tapi berbeda
dengan ku, para pengajar yang tak pula datang hingga jam pelajaran kedua ini
membuat ku bosan dan memutuskan untuk kembali ke kamar. Tidur, yah aku memilih
untuk tidur dan mengistirahatkan tubuhku. Waktu terlalu berharga bila hanya
dihabiskan untuk berleha-leha atau bergosip, lebih baik aku tidur.
“Kia..!!! are
you there?”
Perlahan aku
membuka mata ku, terdengar dari kejauhan seseorang berteriak memanggil nama ku.
Namun rasa kantuk yang kian membelenggu membuat ku tak mampu terjaga dan
kembali tertidur.
Duk..!!!
duk..!! duk..!!!!!
“Kia...!!!!
are you there?”
“Oh my God!!!
Kia !!! what time is now? Wake up !!!”
“Apaansih..”
pekik ku kesal, masih lelap tertidur.
“Kia..wake
up...wake up...!!!”
“Bodo ah..”
“Wake up
!!!!” suara itu kembali menggelegar sambil menarik kaki ku yang masih
mengenakan sepatu. Kali ini aku benar-benar terjaga, marah. Tidur ku diusik dan
aku tak menyukai hal itu.
“Sial...”
“............”
aku bungkam. Kata-kata yang ingin ku ucapkan seolah lari terbirit-birit melihat
sosok di hadapan ku. Ustad Ha, tengah
berdiri mematung sambil menatap ku sinis. Matanya mendelik, penuh amarah. Ustad
Ha adalah guru yang mengajar grammer di
kelas ku. Ustad yang terkenal dengan kesangarannya dalam menghukum itu tengah
menggenggam segulung kertas. Tak sedikit para santri yang tak suka padanya.
Yah, walaupun aku tahu semua ustad dan ustadzah menghukum untuk merubah
kebiasaan buruk. Tapi tetap saja, sulit untuk diterima. Sial gue kebablasan pikir ku sambil merapikan hijab ku gemetar.
“Are you
sleepy?”
“Not sir..”
“So, why did
you sleep during my class?”
“I have a
stomachache, sir” jawab ku bohong sambil merengkuh perut ku. Salah satu senjata
ngeles paling ampuh adalah dengan berpura-pura sakit. Selain itu ada pula
alasan “lupa” atau buat wajah sepolos mungkin yang menunjukan ketidaktahuan.
Setidaknya hukuman yang didapat tidak seberat dia yang melanggar dengan
sengaja.
“I dont care,
wake up and come to my class now !!!”
“I really
have a stomachache, sir..”
“Do you have
a stomachache every day”
“But...”
“No reason !!
Go!!!!”
Dengan wajah
lusuh bangun tidur, aku keluar dari kamar diiringi Ustad Ha di belakang ku.
Terlihat beberapa teman sekelas yang memandangi ku, iba. Sesungguhnya aku tak
berniat bolos dalam pelajaran grammer.
Tapi tidur ku terlalu lelap hingga tak menyadari waktu istirahat yang telah
usai. Lagi pula makin hari berlalu aku merasa makin sedikit para pengajar yang
masuk kelas. Entah sibuk atau apapun itu yang jelas aku merasa bosan, dan
ketika ku lampiaskan kebosanan ku itu malah mendapat hukuman. Sungguh tak adil.
[]
*****
Seperti
biasa begitu belajar malam selesai, kami
para pengurus akan segera bergegas menuju kantor untuk melakukan pemanggilan
kepada para santri yang membuat pelanggaran. Dan tentu saja bagian bahasa
selalu eksis, ada saja yang melanggar hampir setiap malam. Tapi hal itu bukan
sebuah kebanggaan. Karena menurut ku ada dua kemungkinan ketika terjadi begitu
banyak yang tidak berbahasa resmi. Pertama karena pengurusnya yang tak bisa dan
tak patut menjadi contoh, yang kedua karena para santri yang tingkat
kemalasannya sudah di atas rata-rata. Tapi aku selalu mengambil jalan tengah di
antara keduanya. Karena pada dasarnya sebuah program kerja dibutuhkan sebuah
kerjasama. Tapi kali ini, kertas pelanggaran itu kosong.
“Udah ada
judul untuk besok?” tanya Mina. Ketika aku tengah sibuk dengan permainan ku di
depan komputer.
“Belum
ukhti,” jawab ku masih sibuk dalam permainan itu.
“Gimana
kalau, Muhabbatul Ula La Tunsa Fieha[20]” ucap
Kamed kemudian yang belum ku sadari kehadirannya. Aku tercekat, judul itu
begitu menarik perhatian ku. Lagi dan lagi, kata cinta memang bagai mantra yang
sangat ampuh. Memaksa otak ku untuk kembali berpikir tentang cinta. Apakah benar bahwa cinta pertama tidak bisa
dilupakan? Dan bagaimana dengan bentuk, bau atau rasa cinta pertama itu?
“Heh, ayo ke
atas, laper..” ucap Sany. Wanita yang berkedudukan sebagai sekretaris pengurus
itu, menarik kami keluar dari kantor pengurus. Tanpa banyak pertanyaan kami
mengikuti langkahnya menuju kamar. Judul untuk muhadatsah besok sudah tersedia. Tak perlu ada yang kami pusingkan
lagi. Hanya mencari kosa kata baru yang begitu banyak di dalam kamus.
Tepat jam
sepuluh, teman baik ku Sany yang merupakan bagian keamanan pengurus mulai
berkeliling ke seluruh kamar. Mencari dan memastikan tidak ada santri yang
masih terjaga. Setelah yakin semua santri sudah tertidur, kini giliran kami
para pembimbing yang bersiap-siap untuk tidur. Tapi tidak demikian dengan ku.
Aku dan beberapa teman ku justru asik memandang bintang di langit dari bangunan
kosong tepat di samping kamar ku. Di antara pakaian yang masih tergantung di
atas jemuran, kami berbaring memandang langit. Inilah bagian yang paling ku
sukai menjadi pembimbing. Walaupun pada dasarnya tidak diperbolehkan, tapi
entah mengapa rasa takut akan hukuman karena melanggar peraturan telah
berkurang. Hanya perlu sedikit seni.
“Hey..kalian laper gak?” teriak Sany
setengah berbisik. Sontak aku dan yang lain
segera menghampirinya.
“Lumayan sih,
ada makanan ukhti?” tanya ku.
“Ya enggak,
kita beli nasi goreng ajah” jawab Sany sambil mengedipkan matanya. Nasi goreng,
yah memang sudah menjadi sebuah kebiasaan yang sangat membudaya. Meskipun
penjara suci ini dikelilingi tembok besar dan tinggi. Aku dan teman-teman punya
cara unik agar bisa membeli apapun sesuka hati tanpa harus izin pada bagian
keamanan pusat. Seperti malam ini, kami menunggu bunyi kelonteng tepat di bawah
tangga kamar asy-syuja’iyah. Bunyi
yang menandakan tukang nasi goreng keliling langganan kami.
Tuk..tuk..tuk....tuk.........
“Eh..eh..eh
ukhti itu bukan?” tanya ku. Telinga ku begitu waspada, hingga bunyi kelonteng
yang masih sangat jauh sudah dapat terdengar oleh ku. Sany bangkit dari tempat
duduknya, segera memanggil amang nasi goreng itu. Sementara amang nasi goreng
membuatkan pesanan kami, kami terus berceloteh tepat di anak tangga terakhir.
Tak perlu menunggu waktu lama pesanan kami sudah siap. Aku melirik amang nasi
goreng itu. Tanpa banyak tanya ia memasukan nasi goreng kedalam pelastik hitam
besar dan mengikatnya erat.
“Ssssttttt....Sssssstttt...neng..”
panggil amang nasi goreng sambil berbisik. Sudah mengerti bahwa kami adalah
sekumpulan santriwati, dan membeli nasi gorengnya adalah sebuah pelanggaran
berat.
“Ohiya mang,”
Tanpa aba-aba
amang nasi goreng melempar pesanan kami melewati tembok yang menjulang tinggi.
Dengan sigap aku menangkap nasi goreng itu.
“Ehhh mau
kemana? Bayar dulu lah..”
“Emang belum
dibayar?”
“Belum.. fulus[21]mana?”
“Ya ampun
ukhti, Gue belum di mudifah[22]”
jawab ku, menyadari tak sepeser pun uang ku miliki saat ini.
“Anti?” tanya
Sany pada Kamed.
“Sama..”
jawab Kamed lirih.
“Haduhhh gue
juga sama nih, gimana dong?”
Kami panik,
ternyata tak ada satupun dari kami yang memiliki uang. Akhir bulan memang
hari-hari yang sangat sulit untuk dilalui. Bila aku sedang berada di rumah
tentu lain soal. Tapi ini? soal gampang bila kami kabur meninggalkan amang nasi
goreng di bawah. Tapi mana bisa kami seperti itu pada orang yang rela
berkeliling di malam hari demi keluarganya.
“Pake ini”
Sany memberikan segulung kertas nasi pada ku.
“Untuk apa?”
tanya ku.
“Heuhh..” ia
memutar bola matanya dan mengambil kembali gulungan kertas nasi itu. Ku lihat
ia menghampiri tembok dan sedikit bercakap dengan amang nasi goreng.
“Yuk, cabut”
ucap Sany tak begitu lama.
Akhirnya ku
ketahui bahwa gulungan kertas nasi yang dibawa Sany itu gunakan sebagai alat
tukar pengganti uang. Dan beruntungnya amang nasi goreng bersedia menerimanya.
Aku tertegun, semua ini tak akan ku dapatkan dalam sebuah sekolah biasa yang ku
impikan dulu.
*****
Malam
berikutnya aku kembali ke kantor pengurus untuk melakukan pemanggilan. Kali ini
hanya ada beberapa orang dengan kesibukan mereka. Kantor pengurus tampak sepi,
biasanya selalu ada Kamed dan beberapa orang lain saling melempar lelucon.
Membuat siapapun yang mendengarnya tak akan bisa melawan gejolak untuk tertawa.
Aku kembali teringat dengan perkataan teman sekelas ku yang mengatakan Esa dan Kamed
tak seakrab dulu. Ada banyak spekulasi tentang merenggangnya hubungan mereka.
Mulai dari putus cinta, di tolak cinta sampai hal lainnya. Awalnya aku mengira
semua itu hanya gosip murahan biasa tapi melihat kekosongan malam ini membuat
ku berpikir lain.
“Ki....”seseorang
memanggil ku. Terlihat oleh ku, Esa tengah duduk di depan inventoris bagian
bahasa.
“Ada apa?”
aku menghampirinya. Entah mengapa wajahnya terlihat murung. Ia tengah sibuk
dengan secarik kertas yang di genggamnya. Menggulung, melipat, dan membuat
kertas itu tak beraturan. Aku heran, tak biasanya dia seperti itu. Aku memang
tak mengenalnya, menjadi bagian dari bagian bahasa tak menjadi jaminan bisa
mengenalnya dengan baik. Tapi sungguh, aku belum pernah melihatnya segamang
itu.
“Apa apa?” ku
ulang pertanyaaan ku. Tapi ia masih terdiam, tak menatap ku. Makhluk bernama
laki-laki memang sangat sulit untuk ditebak. Apalagi laki-laki yang ada dalam
bagian bahasa ini. Esa Rajawali dan Kuya, mereka pria yang paling aneh dan
sulit ditebak menurut ku. Kuya terlalu pendiam, aku bicara panjang lebar dengan
suara lantang pun ia hanya membalasnya dengan anggukan atau bola mata yang
memutar. Sementara Esa, tak akan ada orang yang bisa menebak isi kepalanya.
Ketika semua orang dilanda rasa panik, ia hanya terdiam, terlihat cuek dan tak
peduli tapi ketika ia mulai bicara semua hal yang membuat panik itu sirna seketika.
Otak ajaib! Selalu kalimat ini yang
terlintas di benak ku saat ia mengutarakan ide-ide gilanya.
“Lo mau gak
jadi sahabat gue?”
“Hah?” aku
terjaga. Sebaris kalimat itu sangat janggal dan asing bagi kamus dalam memori
otak ku. Hingga aku membutuhkan waktu lebih lama untuk memahaminya.
“Iya mau gak
jadi sahabat gue?”
“Sa,
sahabat?”
“Iya mau atau
enggak?”
“.....”
Sahabat,
adalah sebuah kata yang menggambarkan untuk orang yang sangat dekat. Dan aku
belum pernah mendengar gelar sahabat itu diberikan dengan cara memintanya.
Setahu ku gelar itu muncul dengan sendirinya seiring dengan kedekatan hubungan
yang terjalin di antara mereka. Tapi kini? Aku bingung, bukan tentang kata dari
sahabat itu tapi efek dari permintaan itu. Apakah semudah itu meminta seseorang
menjadi sahabat, dan apakah aku bisa berlaku seperti sahabat pada orang yang
bahkan pernah aku benci, iyah pria sok eksclusive
itu.
“Heh, mau apa
enggak?” ucapnya lagi. Pria ini memang tak pernah mengenal kata tunggu. Dan
mungkin ia pun tak mengerti makna dari kata sabar.
“Woy...”
“Iya..iya,
sahabat doang kan? Selama itu gak ngerugIin gue, gak masalah” jawab ku.
“Gue punya
sahabat lagi” Bisiknya lembut.
*****
[1] Berdiskusi
[2] Berdialog
[3] Berpidato
[4] Penda’i selanjutnya berasal dari kelas 1 MAPK, mari kita panggilkan
Kia Mustofa
[5] Bangun
[6] Ayo kia cepet !
[7] Untuk Saudara kita Kia,
tepuk tangan
[8]Pimpinan Pondok Pesantren
[9]Guru laki-laki lebih dari 2
[10]Setara SMP (Sekolah Menengah Pertama)
[11]Setara SMA (Sekolah Menengah Atas)
[12]Kelas lima
[13]Kelas 2 khusus
[14]Berbincang dalam bahasa arab
[15]Pemberian kosa kata baru
[16]Penguman!! Pengumanan ini datang dari bagian bahasa pusat. Untuk
Saudari Kia Rizky Awaliyah harap untuk
datang ke depan bagian pengajaran. Secapatnya!!
[17]Kamu mengerti?
[18]Saya mengerti ustad
[19]Terima kasih
[20]Cinta Pertama tidak akan terlupakan
[21] Uang
[22] Dikunjungi keluarga
No comments:
Post a Comment