Tuesday 17 November 2020

#3. Persahabatan - Penjara Suci

Prev :
#1. Mr. Mata itu - Penjara Suci https://senjadimusimsemi.blogspot.com/2020/08/penjara-suci.html
#2. Mr. Misterius - Penjara Suci  https://senjadimusimsemi.blogspot.com/2020/11/2-mr-misterius.html


 


Hari ini angkasa dibelenggu awan mendung. Entah mengapa aku merasa semangat ku mulai surut. Sama sekali tak bergairah untuk ke sekolah. Semua mata pelajaran hanya berlalu di depan mata ku. Meski raga ku ada di kelas ini tetapi tidak dengan jiwa ku. Rindu rumah mulai meracuni ku. Aku rindu mereka dan dia. Yah, dia yang belakangan selalu menanyakan kabar ku.

            “Eh Ki, emang bener ya gosip itu?” Khamed menarik tangan ku begitu aku tiba di pelataran kelas. Banyak hal yang ku tau tentangnya, termasuk hubungannya dengan Esa beberapa tahun lalu. Walaupun ia tak pernah mengakuinya, tapi aku tahu semua itu belum pernah berakhir.

            “Gosip apa ukhti?” tanya ku sambil berbisik. Aku khawatir ada santri lain yang mendengar ku berbicara tidak dengan bahasa resmi.

            “Iya, yang katanya si Esa bantu ngetikin lo itu? emang ngetik apa sih?” tanyanya menghujani ku. Aku terdiam, tak ada seorang pun yang tahu tentang hal itu.

            “Mmm...i, iyah ukhti” jawab ku kemudian.

            “Lo yang minta ketikin?” Ia semakin menggebu. Aku semakin tak mengerti kemana arah pembicaraan ini. Apakah aku salah? Atau aku melakukan hal yang di anggap tidak benar?

            “Dia” 

            “Masa? Orang kaya Esa mau ngetikin lo” ucapnya lagi. Sekarang aku tahu bahwa, semua ini bukan tentang diri ku. Tapi justru tertuju pada pria yang menjabat sebagai ketua bagian bahasa itu. Sorot matanya semakin membuat ku yakin, tak pernah ada yang berakhir antara dia dan pria itu.

*****

            Belum hilang perhelatan sengit dalam kepala ku tentang Khamed. Ada kejutan lain yang menantiku di dalam kelas. Lilis, duduk di atas meja guru dan menatap ku penuh arti. Tak berkata sepatah kata pun tapi justru kebungkamannya membuat ku ngeri. Tapi aku hanya terdiam berusaha membiasakan diri dan berpura-pura tak menangkap apapun dari sorot matanya.

            “Hey..” Lilis menghampiri ku, ku tolehkan pandangan ku padanya.

            “Baru jadian ya?” tanyanya kemudian. Kening ku mengernyit tak mengerti, jadian? Maksudnya jadian yang dikatakan awal pacaran antara laki-laki dan wanita atas nama cinta itu?

            “Iya.. lo baru jadian sama Esa?” ia kembali mempertegas pertanyaannya.

            “What?” aku terkejut. Jadian sama Esa? Apa permintaan sahabat itu bisa dikatakan jadian? Aku tak habis pikir, belum sampai satu minggu aku menjadi sahabat yang terlihat dipaksakan itu. Tapi, berbagai gosip sudah menyerang ku. Ditambah lagi dengan tatapan sinis mereka yang dikecewakan pria itu.

            “Ya ampun...enggak” jelas ku panik, berharap tak ada lagi pertanyaan aneh yang akan dihunuskan pada ku.

            “Gak usah grogi gitu ki, gak apa-apa ko gue ikhlas asal dia bahagia sama lo” ucapnya lagi.

            “Lis percaya sama gue, gue sama dia gak ada apa-apa” jelas ku. Aku mengerti gejolak hatinya yang masih mencintai pria itu.

            “Ohya?”

            “Iya.. lo pikir ajah, mana mungkin dia suka sama orang kaya gue” tekas ku. Berharap pernyataan itu bisa menenangkan kegundahan di hatinya. Padahal aku sendiri bingung hal apa yang membuat mereka kian terlena. Pria itu tak lebih dari pria angkuh bagi ku.

            “Jadi lo sahabatnya?” matanya mulai berkaca-kaca.

            “Iya.. ” jawab ku. Ku dekap tubuhnya, aku tau betapa ia merindu. Ia membalas pelukan ku, ku rasakan cairan hangat mulai merembas di bahu ku. Ia menangis, begitukan cinta?

*****

            Aku termenung, entah semua ini halusinasi ku semata atau memang terjadi. Tapi sungguh aku merasa semua mata mulai tertuju pada ku, sejak aku akrab dengan pria itu. Meski harus ku akui sejak aku menjadi sahabat yang sekali lagi ku tekankan sangat dipaksakan itu. Pria yang selalu angkuh dan sok eksclusive itu mulai terbuka pada ku. Ia banyak bercerita, tentang keluarga, teman-teman termasuk kisah cintanya yang belum lama kandas. Tapi ada satu hal yang membuat ku heran, ia tak pernah bercerita tentang keberadaan Khamed di hatinya. Pernah sekali ku tanyakan, tapi ia hanya menjawabnya dengan kata-kata gak penting yang justru mengalihkan perhatian ku dari pertanyaan itu. Dan bertingkah seolah tak pernah ada apapun di antara mereka. Menimbulkan banyak spekulasi baru di benak ku. Dan aku hanya perlu memberi sedikit kesempatan pada waktu untuk mengungkap semua itu.

            Seiring berjalannya waktu, aku semakin mengenal pria itu. Ketua bagian bahasa yang sejak awal sudah membuatku kesal, mulai merubah pandangan ku terhadapnya. Kerja kerasnya, tanggung jawabnya dan semua keputusan yang diambilnya membuat ku terpukau. Sangat berbeda dengan sosok Esa Rajawali yang ku kenal sejak awal. Ia tak sombong hanya kurang pandai untuk memulai pembicaraan dan menyapa orang lain.  Terlebih orang itu sangat asing baginya. Ia pun tak angkuh, hanya membatasi dari tingkah yang merepotkan. Esa Rajawali yang ku kenal saat ini sangat berbeda dengan apa yang semua orang katakan. Meski ia masih duduk di bangku Aliyah tapi pemikirannya telah berada jauh di depan. Berjalan di atas visi dan misi. Dan aku mulai membuka diriku untuk dekat dengannya sebagai teman dalam satu bagian, yakni language departement of HISADA.

            “Ki, nanti raker di kantor yah. Tentang program kerja kita muhadatsah antar pondok membuyarkan lamunan ku.

            “Serius Ukhti? Jadi kemana kita muhadatsahnya?” tanya ku menggebu. Aku tak sabar dengan acara itu. Setidaknya dengan adanya acara itu aku bisa menyegarkan kembali otak ku. Tak lagi tembok menjulang tinggi yang membatasi.

            “Bandung, Minggu lalu Esa udah observasi kesana” jawab Khamed masih sibuk dengan setumpuk dokumen.

            “Ohya? Di mana itu tepatnya?” tanya semakin menggebu. Sudah ku bayangkan aroma kebebasan dalam benak ku.

            “Nanti kita omongin pas raker, jangan lupa kasih tau Esa. Dan bantuin meriksa ini dong..” celotehnya sambil memberi ku sebagian dari tumpukan dokumen yang ada di depannya.

            “Soal ujian” desah ku parau. Inilah satu-satunya hal yang tak ku sukai dalam bagian bahasa. Harus memeriksa ratusan jawaban dari ujian bahasa yang dilakukan tiga bulan sekali. Akan lebih menyakitkan lagi bila ternyata hasil ujian tersebut jauh dari yang diharapkan. Rasanya ingin sekali ku bakar semua kamus dan ku masukan abunya ke dalam minuman para santri. Agar mereka pandai berbahasa. Itu tujuannya, tapi kenyataan tetap mewajibkan segala hal harus di raih dengan kerja keras.

*****

            Menjelang magrib aku segera kembali ke kamar. Tak ku sangka Lilis tengah berada di sana. Aku pernah satu kamar dengannya dan selama itu tak pernah ada hal yang membuat ku bisa dekat dengannya. Bisa jadi dia menjaga jarak dengan ku. Karena sudah sangat jelas perbedaan ku dengannya. Aku gak suka make up, dia gak bisa hidup tanpa make up. Aku sangat cuek soal penampilan sementara baginya penampilan adalah segalanya. Bahkan pernah suatu ketika saat kami faslu at takhosus berkumpul di depan kelas. Terlihat Lilis tengah berjalan dari kejauhan.

            “Pasti ngaca deh, satu..dua..tiga..” ledek Dina tiba-tiba.

            “Tuh kan...wkwkwkwkwk”

            “Apaan sih? Apaan sih?” tanya ku heran masih belum menemukan hal yang membuat mereka tertawa.

            “Ihh...lo mah..” ucap Fatma nampak kecewa dengan pertanyaan ku.

            “Seriuss tau..”

            “Si Lilis pe..” bisik Habi,

            “oh...” segera ku luaskan pandangan ku mencari keberadaan wanita itu. Benar saja tak jauh dari aula besar ia tengah becermin sambil merapihkan kerudungnya.

            “Eh eh eh liat deh ada cermin lagi tuh, kira-kira dia ngaca lagi gak?” tanya Bibah.

            “Pasti..” jawab kami serempak. Dan benar saja, ia masih menyempatkan diri bercermin dan kembali merapihkan jilbabnya. Dan lagi-lagi gelak tawa membahana di antara kami. Jadi  tak heran bila pria yang menjabat sebagai ketua bagian bahasa itu terpikat padanya.

             “Pe coba deh liat ke jendela” ucapnya begitu aku tiba.

 

            “Kenapa?” tanya ku.

            “Liat ajah!”

            “Ada Esa kan di sana?” tanyanya lagi.

            “Eh? Iya..dia lagi jalan mau ke masjid” jawab ku.

            Ia tersenyum dan memejamkan matanya. Aku tak mengerti apa yang ia lakukan. Mungkin sebagian dari pelampiasan rasa rindunya.

            “Ko bisa tau kalau Esa ada di sana?” tanya ku heran. Padahal ia sama sekali tak melihat jendela.

            “Derap langkahnya”

            “.........................................”  aku tercekat. Tak habis pikir, mengapa pria itu menyia-nyiakan wanita cantik yang begitu tulus mencintainya ini? Apa karena pria itu telah menemukan wanita lain?

            Sejak hari itu, Lilis semakin merapat pada ku.

*****

            Malam ini, setelah raker selesai. Aku dipanggil ustadzah untuk datang ke kamarnya. Aku mempunyai firasat baik untuk hal ini. Dan benar saja ustadzah memberi ku surat izin untuk pulang ke rumah. Ya walaupun hanya satu hari, tapi setidaknya aku bisa pulang dan bertemu dengan semua orang yang ku rindukan. Ada hal yang membuat ku sangat bersemangat selain keluarga ku, yaitu David. Yah, pria itu memang sangat luar biasa. Sesungguhnya tak banyak orang yang suka padanya. Selain karena ia adalah seorang pria yang jenius luar biasa tapi dia juga sangat sombong. Tak pernah menghargai pendapat dan jawaban orang lain. Awalnya akupun tak begitu peduli dengan kehadirannya. Aku hanya mengenalnya sebagai teman sekelas selama satu semester

            Sejak perpecahan kelas di kelas tujuh, aku tak pernah satu kelas dengannya. Sampai akhirnya kami dipertemukan oleh berbagai lomba. Sejak itu persaingan kami mulai memudar, karena bagaimana pun kami harus berusaha demi nama baik sekolah. Dan saat itulah kami mulai berteman baik. Selalu menyempatkan diri untuk berdiskusi tentang pelajaran yang menurut kami sulit untuk mendapatkan jawaban.

            Dan belum lama ini, kami dipertemukan kembali. Tak ada banyak hal yang berubah. Hanya penampilannya saja yang lebih necis dan seorang kekasih yang kini bertengger di hatinya. Selebihnya tetap sama,  keras kepala, jenius dan sederhana. Karena itu bagi ku setiap kali terlibat percakapan dengannya tak pernah sia-sia. Selalu ada banyak ilmu di dalamnya.

*****

            Keesokan harinya setelah pulang sekolah aku segera berkemas. Mengenakan seragam perpulangan. Setelah berpamitan sana-sini aku segera melangkahkan kaki ku untuk pulang. Aku sudah tak sabar untuk berpelukan dengan guling di kamar ku. Hingga tak terasa aku sudah berada di depan rumah ku. “Adik ku sudah besar” bisik ku dalam hati melihat adik ku untuk pertama kalinya. Padahal terakhir aku bertemu dengannya ia masih kecil dan imut sekali, sampai semua tetangga ku memanggilnya bule kampung. Tapi kini, sangat berbeda. Kemana larinya kulit putih itu? kata ibu ku kulitnya menghitam sejak ia hobi main layang-layang. Sayang sekali..

Aku terdiam, melihat seisi kamar ku yang mulai tertutup oleh debu. Ku langkahkan kaki ku untuk segera menjamah semua benda kesayangan ku. Aku terpaku begitu melihat karton warna biru yang tergantung di langit-langit kamar ku. Bukan soal kartonnya tapi tulisan tangan ku di atas karton itu. “Say no to drugs, say no to love, and say no to boys !!!” membuat ku tergelitik. Ku luaskan pandangan ku, begitu banyak tempelan kertas di atas dinding kamar ku. Berisi rumus-rumus matematika, fisika dan kimia yang kini telah terlupa oleh ku. Tak hanya itu, ada beberapa puisi dan gambar ilustrasi yang ku buat sendiri. Sangat berantakan. Tak jauh dari ranjang tidur ku ada setumpuk buku-buku. Bukan buku bacaan, tapi buku kumpulan rumus  matematika, fisika dan kimia. Kamar ku sama sekali tak mengenal boneka, aku tak begitu menyukainya. Aku lebih memilih buku-buku atau kertas lakmus untuk uji coba kimia dari pada harus mengeluarkan uang untuk membeli sebuah boneka.

            “Dav” ku kirimkan pesan singkat pada teman lama ku itu.

            “Ki?” jawabnya. Begitulah, pertemanan kami begitu dekat. Bahkan ia selalu tau apapun yang berkaitan dengan ku. Seperti pesan singkat kali ini, meski aku menggunakan nomor baru tapi ia begitu mudah mengenalinya.

            Ya”

            “Hey..Apa kabar? Kapan pulang?” ia kembali membalas pesan ku.

            “Lebih keren dari nukleon dong pastinya. Baru sampe nih”

            “Wih..”

            “Entar malem gue mau ke warnet” jelas ku. Tapi setelah itu ia tak lagi membalas pesan singkat ku.

*****

            Malam harinya sepupuku sudah datang menjemputku. Setelah berpamitan kami segera melesat menuju warnet terdekat. Aku sendiri memang tak ada keperluan, hanya untuk iseng-iseng saja. Jadi lah aku menjelajahi dunia facebook.

            “Woy..!!!”

            “Hey..udah nongol ajah lu,” jawab ku sedikit terkejut melihat teman lama ku itu sudah eksis di kolom chat ku.

            “Iyalah gue..gimana kabar penjara suci lu?”

            “Baik banget, sekarang ajah gue udah kangen nih. Pengen cepet-cepet pulang kesana”

            “Pulang?”

            “Iya..penjara suci itu udah kaya rumah buat gue”

            “Lebay lu”

            “Hahaha, lagi di mana lu?”

            “Gue? Di depan lu”

            “Eh? Jangan ngasal lu”

            “Serius, liat ajah” Dan benar saja, ketika ku angkat wajah ku. Ia tengah berdiri di hadapan ku.

            “Ko gak bilang lu ikutan ke warnet juga”                                                                  

            “Dih, Emang lu nyokap gue pake bilang”

            “Iya juga ya? Ahahaha”

            “Heh, gue pengen ngomong nih”

            “Sok, ngomong ajah”

            “Tapi gue maunya ngomong ya, bukan chatting”

            “Iya..”

            “Ki..” panggilnya. Kini ia benar-benar ada di hadapan ku.

            “Boleh masuk?”

            “Sempit ah” jawab ku melihat counter tempat komputer ku yang begitu sempit.

            “Bentar doang.”

            “Yeee..yaudah tapi jauh-jauh ya. Awas !!”

            “Lah katanya mau ngomong itu diem ajah lu” ucap ku menyadari kesunyian di antara kami. Dia malah diam membisu melihat aktivitas ku di dunia maya.

            “Heumm..gini Ki..”

            “Ape..?”

            “Heuuumm...”

            “......”

            “Gue..”

            “Apaan sih lu? Cepetan sempit tau..”

            “Gue....su...su..suka sama lu”

            “Hah?” aku terkejut. Maksudnya suka seperti apa?

            “I, iya gue suka sama lu”

            Aku terdiam,  aku gak ngerti harus ngapain.

            “Ki lu gak marah kan?”

            “Ki..”

            Aku masih bingung, tanpa sepatah kata pun. Aku pergi. Ku panggil sepupu ku, ku paksa untuk meninggalkan warnet saat itu juga. Aku gamang, sungguh aku gamang.

*****

            Ada beberapa panggilan tak terjawab begitu aku tiba di rumah. Tentu saja dari orang yang sama, David. Aku merasa ia telah berubah, dulu teman wanita saja cuma aku saja. Tapi kini, pacar sudah ganti yang ke sekian kali.

            “Halo..” ucap ku mengangkat panggilan masuk di handphone ku.

            “Ki..”

            “Iya..”

            “Lu marah ya?”

            “Enggak”

            “Alhamdulillah”

            “Terus gue gak boleh cinta sama lu?” tanyanya lagi.

            “Boleh” jawab ku.

            “Jadi..”

Nut..nut..nut..

            Ku tutup panggilan itu, aku tak ingin semakin terjebak dalam permainan kata-katanya. Dan aku harus istirahat karena besok aku sudah kembali ke penjara suci ku. Aku sudah rindu.  Dan aku tak sabar ingin mendengar kisah seru dari sahabat baru ku, Esa Rajawali.

*****

            “Jangan cari apapun yang kau inginkan, tapi raihlah apa yang kau butuhkan. Maka kamu akan selamat”

            Sepenggal kalimat dari nasihat ayah ku menjadi bekal perjalanan ku kali ini. Aku termenung, untuk lebih mendalami makna dari kalimat itu. Selama ini aku tak pernah memberi sekat antara keinginan dan kebutuhan. Aku pikir semua hal yang ku inginkan adalah hal yang ku butuhkan. Karena jika aku tak membutuhkannya aku tak mungkin menginginkannya. Tapi sepenggal kalimat itu telah berhasil membuat ku dibanjiri tanda tanya. Aku memang kurang pandai merangkai kalimat, maka tak heran bila aku pun kesulitan untuk memahami arti dari kalimat itu.

            “Ki..!!!” panggil Khamed begitu aku turun dari angkot. Ia melambai-lambai bersama yang lainnya dari atas bangunan kosong. Aku segera berlari, melewati gerbang dan menaiki tangga dengan cepat. Bukannya masuk kamar, aku justru menghampiri mereka yang tengah berkumpul di atas bangunan kosong.

            “Ukhti...” teriak ku tak kalah kencang dengan hembusan angin. Ini yang tak bisa ku temui di Bekasi. Udaranya yang sejuk, angin yang selalu hilir mudik membelai setiap raga yang melintas.

            “Bawa apa Ki?” tanya yang lainnya. Tanpa menjawab, ku serahkan tas ku yang penuh dengan masakan ibu ku. Tanpa pikir panjang, segera kami santap semua masakan itu. Tak sampai hitungan menit semua sudah habis.

            “Itu si Syara..” teriak Khamed kemudian. Seketika semua orang langsung tersenyum menantikedatangan Syara.

            “Dari mana dia. Rapih banget?” tanya ku.

            “Habis ambil handphone di ustad ” jelasnya.

            “Handphone? Yakin?” tanya ku tekejut. Kalau kabur, jajan di luar, bolos sekolah dan tidur di kelas sih pelanggaran yang sudah sering ku lakukan. Tapi kalau handphone aku merinding mendengarnya. Aku kembali teringat pada kejadian naas yang menimpa Yul beberapa minggu lalu. Ia tertangkap basah membawa sebuah handphone oleh bagian keamanan pusat. Dan hasilnya pada saat itu juga handphone Yul dimusnahkan. Dijatuhkan dari lantai paling atas hingga membentur permukaan beton lapangan. Hancur berkeping-keping lah. Penjara suci ini memang tak kenal ampun dengan pelanggaran.

            “Iya..Gue mau minta sms ” jelasnya lagi.

            “Cieeee..yang baru jadian, Esa di kemanain nih?” ledek yang lainnya begitu mendengar apa yang diucapkan Khamed.

            “Ih..amit-amit, apaansih”

            “Ko amit-amit entar jadian loh” ledek ku.

            “Jahat amat lo doain Gue jadian ama orang pelit kaya dia” jawabnya.

            “Emang Esa pelit yah?” tanya ku.

            “Pelit banget kali, sombong lagi, dasar makibaw ..” jelas Khamed berapi-api.

            “Enggak pelit tau,” sanggah ku. Sebenarnya aku tak tahu mengapa mereka berkata begitu. Dan entah mengapa aku ingin membelanya. Walaupun aku sendiri tak tahu kebenarannyag. Karena aku tak pernah minta apapun yang kemudian ditolaknya. Tapi aku yakin seandainya aku minta sesuatu pun, ia tak akan sampai hati untuk menolaknya.

            “Ciiieeee..” mereka berbalik meledek ku.

            “Lah ko ciiee sih? Gue kan beneran” ucap ku membela diri. Rasanya tak ada sesuatu yang special cuma karena aku mengungkapkan kebenaran.

            “Iya deh yang belain Esa” ledek yang lainnya.

            “Dari kemaren Gue suka ngomongin cowok lain enggak diledekin begini dah kayanya huh” gerutu ku.

            “Haha...karena keliatan tuh muka lo merah” sela Yul.

            “Eh, udah ah entar si Khamed cemburu lagi..ahahaha” ucap ku berusaha memindahkan badai ledekan ini pada Khamed.

            “Ngapain cemburu, Gue udah punya Eky” celetuknya penuh dengan kesombongan. Aku heran Khamed selalu saja bisa ngeles, menghina, menjelek-jelekan. Aku semakin yakin kalua hatinya berkata sebaliknya.

            “Apaan sih Ki, Gue juga udah punya Ipan” jelasnya. Seolah mengerti maksud dari tatapan ku.

            “Tuh Ki, semua orang disini udah punya. Cuma lo doang..kan pas banget tuh sama si makibaw wkwkwkwkwkwk” ledek Khamed. Heuhh rasanya ingin sekali aku ambil pisau bedah lalu mengeluarkan hatinya. Dan lihatlah siapa nama yang tertulis di sana.

            “Gue udah punya kali, kalian gak tau yah? Aahahaaa”

            “Siapa?” tanya Khamed, nadanya sangat menantang.

            “Heumm..namanya David, tapi belum jadian sih baru deket ajah” jelas ku lagi. Aku tak ingin berbohong, karena faktanya memang tak pernah ada kata jadian antara aku dan Dav.

            “Uuuuuu...” teriak mereka tak percaya.

*****

            Ternyata uforia keberadaan handphone Syara tak berhenti sampai mata hari terbenam. Begitu semua santri sudah tertidur kami kembali berkumpul di depan kamar ku. Ina asik saling berbalas pesan dengan kekasih hatinya. Khamed dan yang lainnya pun sama. Mungkin kami sudah memasuki usia fuber, selalu hal-hal yang dulu ku anggap aneh menjadi topik pembicaraan kami.

            Semakin larut, semakin menjadi saja. Dengan hanya menggunakan busana tidur kami masih berkumpul. Dan keberadaan ku di sini hanya karena satu alasan. Menunggu pesan balasan dari David. Aku tak tenang meninggalkannya begitu saja. Walau bagaimanapun dia pernah menjadi teman baik ku. Dan ku harap tetap demikian untuk selamanya. Tiba-tiba aku tak bisa menggerakan sendi-sendi dalam tubuh ku. Aku terkejut, sosok yang berdiri di belakang Ina melumpuhkan syaraf ku. Kedatangannya begitu cepat, sunyi dan mematikan itu membuat jantungku berdetak kian cepat “Mampus gue” bisik hati ku.

            “Ina...” panggilnya sambil menjewer telinga Ina. Aku masih tak bergeming, hanya membisu menatapnya hampa.

            “Apaan sih?” Ina menyingkirkan tangan yang menjewer telinganya. Syara yang baru menyadari kehadiran sosok itu ikut terdiam, matanya mulai berkaca-kaca.

            “Ina..” panggilnya lagi.

            “Apaan sih?” Ina masih tak peduli. Syara yang masih tak sanggup berkata, hanya memberikan isyarat bahaya. Akhrinya Ina terdiam, memutus pembicaraannyadan menolehkan pandangannya perlahan.

            “eh..ibu..” Ina terkejut.

            “Seneng ya abis telpon-telponan?” ucap Ustadzah. Sontak kami menunduk malu, sudah terbayang apa yang akan terjadi setelah ini.

            “Pakai kerudung kalian, ayo semuanya ke aula besar!!!” ucap Ustadzah ketus. Aku merinding mendengarnya. Rasanya lebih baik aku jatuh lalu bangkit lagi, ketimbang berurusan dengan bagian keamanan pusat.

            Aula besar yang luas terasa begitu sempit. Jendela yanag terbuka lebar terasa seperti tertutup dan tak menyisakan udara untuk bernafas. Aku sesak, jantungku tak karuan. Kami duduk membentuk garis sejajar di hadapan Ustadzah. Mata mereka menjelajah, menatap kami tanpa ampun. Bagai tertimpa najis mughalazah yang tak bisa dihilangkan.

            “Handphone siapa ini?” ucap ustadzah kemudian.

            “Sa..saya bu” jawab Syara lirih. Wajahnya masih tertunduk.

            “Siapa saja yang pernah menggunakan Handphone ini?” tanya Ustadzah. Tapi kami hanya terdiam. Karena sesungguhnya tak hanya kami yang tertangkap basah di sini saja yang pernah menggunakannya. Terutama Khamed, dia yang lebih sering menghubungi kekasihnya. Tapi sayangnya ia beruntung malam ini. Rasa kantuk menyelamatkannya. Dan kami tak bernyali sekecil itu untuk mengungkapkannya.

            “Ra?” gertak ustadzah menuntut jawaban.

            “Yang ada di.. di sini ajah bu” jawabnya lirih.

Bip..bip...bip...

            “Ada panggilan nih..” ucap ustadzah. Tanpa pikir panjang segera diambil handphonenya itu.

            “Halo...” jawab ustadzah dengan suara yang dibuat-buat. Mungkin agar tersamarkan. Aku semakin dilema, detak jantung ku kian bertambah cepat. Aku yakin, tak hanya aku yang merasa seperti ini.

            “Halo, ini temennya Khamed ya? Bisa bicara sama Khamed?”

            “Memang ini dari siapa ya?” tanya Ustadzah berapi-api. Sorot matanya mengerling, dipenuhi keyakinan akan kembali mendapatkan mangsa.

            “Bilangin dari Eky”

Nut...nut..nut....

            “Owh.. Khamed !!!” ustadzah mengendurkan kaca matanya.

            “Panggil Khamed !!!!”

            Suasana sunyi kembali. Hingga detak jantung ku dapat terdengar dengan jelas iramanya. Tak lama Khamed yang baru saja terjaga dari tidurnya telah tiba.

            “Udah? Ini saja Ra yang pernah memakai handphone kamu?”

            “I, iya bu”

            “Saya bingung harus berkata apa, kalian ini pengurus”

Bip..bip..

            “Ada sms,” ucap ustadzah.

“Ini temennya Kia ya? Tolong sampein ya bilang gue sayang banget sama dia” ustadzah membacakan pesan itu. Aku tercekat, semakin ku tundukan wajah ku. Entah apa yang ku rasa. Bagaikan jatuh dari gedung bertingkat tiga puluh lalu tertimpa tombak. Tak terbayang hukuman apa yang akan ku hadapi kali ini.

“Syara, Yul, Ina, Khamed, Kia,” ustadzah melanjutkan khotbahnya.

            Rasanya lebih baik tertangkap kabur atau bolos ketimbang hal ini. Malam ini adalah malam terburuk ku di penjara suci ini. Setelah mendengar panjang lebar khotbah ustadzah. Kami diberi hukuman, hal yang mustahil terlewatkan bila telah melakukan pelanggaran. Dan satu lagi julukan yang kami dapat “Diam-diam menghanyutkan”

*****

            Berubah. Aku meresa risih, tatapan setajam pisau itu telah berhasil mengoyak seisi jantung ku.  Mereka tahu perkara yang baru saja ku alami. Tentang pelanggaran menggunakan handphone sampai isu sms memalukan itu sudah menyebar keseluruh penjuru penjara suci ini. Bukan menjadi contoh yang baik, tapi malah sebaliknya.

            Terlebih teman sekelas ku. Mungkin karena aku telah melakukan pelanggaran berat maka setiap gerak yang mereka lakukan terasa seperti sebuah sindiran. Beginilah rasanya seorang yang bersalah. Dunia menjadi kelabu di mata ku. Tapi bukannya jera, aku malah bosan berada di kelas bersama mereka yang menatap ku seperti yang bersalah. Aku memang salah, tapi aku berharap mereka tak memandang ku demikian. Maka, jadilah aku membolos saat jam pelajaran ke dua. Kali ini aku tak sendiri, ku ajak Dinabersama ku.

            Setelah adzan dzuhur berkumandang, aku dan Dina keluar dari tempat yang kami rahasiakan. Tempat paling aman saat membolos, tak seorang pun tau kecuali kami berdua. Biasanya saat membolos kami pun melakukan pelanggaran lainnya. Bakso dan rujak sebagai penyempurna kebolosan kami. Sekali dipandang salah akan selalu salah. Meski sudah kebaikan yang telah ku lakukan. Makanya dari pada ku dianggap bersalah atas kesalahan yang tidak pernah ku lakukan. Lebih baik ku lakukan sekalian, sekali bersalah tetap bersalah.

            Dan siang ini, naluri liar ku tak pula reda. Saat yang lainnya tengah melakukan kegiatan pramuka. Aku kembali mengajak Dina untuk kabur. Kebetulan hari ini ia menggantikan salah seorang teman ku yang tengah berjaga. Jadi tak masalah untuknya keluar dari penjara suci ini. Sementara aku tentu akan dianggap kabur bila ku langkahkan kaki ku keluar dari penjara suci ini. Tapi tak masalah, aku adalah seorang ahli seni. Seni dalam melakukan pelanggaran.

            Aku dan Dina, segera bersiap ketika yang lain mulai keluar mencari tempat yang nyaman untuk latihan. Aku pergi, bersamaan dengan yang lainnya. Tapi begitu mereka lengah aku segera memisahkan diri dan menghampiri Dina. Tanpa pikir panjang kami segera pergi, menuju warnet terdekat. Entah mengapa aku merasa masih ada yang harus ku selesaikan.

            “Mau kemana?” tanya seseorang secara tiba-tiba. Ku hentikan langkah ku, aku mengenal suara itu.

            “Mau keluar” jawab ku. Ku lihat Esa tengah berjalan menghampiri ku.

            “Kabur?” tanyanya lagi sambil menjitak kepala ku.

            “Apaan sih?”

            “Ini hukuman belum selesai kan? Udah jangan kabur, mending temenin Gue buat siapin keperluan kita” jelasnya.

            “Keperluan? emang Ada apaan ?”

            “Yeee...ko gak update banget sih, kita kan mau ada pelantikan bantara”

            “Ohya?”

            “Udah ayo sini” Esa menarik lengan baju ku. Gagal sudah rencana kabur ku.

*****

            “Apa yang harus disiapin?” tanya ku pada Esa. Aku heran bukannya melakukan sesuatu yang penting dia malah duduk santai di depan komputer sambil main games.

            “Gak ada,” jawabnya enteng.

            “Ko gitu?” tanya ku marah. Ku hampiri dia, seharusnya aku tengah bersama Dina dan menjelajahi dunia maya saat ini.

            “Udah duduk sini” ucapnya lagi. Aku heran, aku tak bisa marah pada pria ini. Padahal emosi telah meledak-ledak di dada ku. Tapi semua itu seolah tertahan, dan logika ku memaksa ku untuk menuruti perkataannya.

            “Nih..” Esa membuka sebuah file dalam komputer. Seketika pandangan ku menjelajahi isi dari file itu. Kata per kata, setiap huruf, bahkan aku sangat mengenal susunan kalimat itu.

            “Ya Allah,” aku berdecak kagum. Sejenak lidah ku menjadi kelu.

            “Tu, tulisan gue...” ucap ku mulai terbata. Betapa bahagia hati ku, melihat tulisan yang sekian lama ku tulis dengan tulisan tangan ku sudah tersusun rapih di atas microsoft word.  Tak terbayang bila aku sendiri yang melakukannya akan menghabiskan waktu berapa lama.

            “Syukron jazilan ” ucap ku lagi.

            “Jadi apa nih judulnya? Masa karya tulis bagus gini gak pake judul?” tanyanya kemudian.

            “Emang bagus ya?” jawab ku dengan pertanyaan tak percaya.

            “Bagus, kalau enggak gue males juga ngetiknya” jelasnya. Keren desah ku pelan, seenggaknya dia telah mengakui karya ku. Aku tahu betul bagaimana seleranya. Menjadi sahabatnya membuat ku tertarik masuk kedalam dunianya.

            “Apa ya?” tak pernah terpikirkan tentang judul. Yang ku lakukan hanya menulis apa yang ada di kepala ku.

            “Heumm.. cerita ini kan tentang persahabatan”

            “Iyah..”

            “Gimana kalau judulnya sahabat?”

            “Dengan tanda tanya besar di belakang kata sahabat itu” ucapnya lagi. Ia terlihat tengah membayangkan sesuatu. Mengangkat wajah dan memejamkan matanya, membentuk mimik aneh yang membuat ku geli.

            “Sahabat?”

            “Iya.. sahabat !”

            “Nice...sahabat”

            “SAHABAT” ia tersenyum. Dan seketika waktu pun terhenti. []

*****

No comments:

Rangkuman Debat Pertama Capres 2024

Anies Baswedan Visi dan Misi 1.        Menempatakan hukum sebagai rujukan utama untuk memastikan hadirnya rasa keadilan memberikan keber...