Hari ini
angkasa dibelenggu awan mendung. Entah mengapa aku merasa semangat ku mulai
surut. Sama sekali tak bergairah untuk ke sekolah. Semua mata pelajaran hanya
berlalu di depan mata ku. Meski raga ku ada di kelas ini tetapi tidak dengan jiwa
ku. Rindu rumah mulai meracuni ku. Aku rindu mereka dan dia. Yah, dia yang
belakangan selalu menanyakan kabar ku.
“Eh Ki, emang
bener ya gosip itu?” Khamed menarik tangan ku begitu aku tiba di pelataran
kelas. Banyak hal yang ku tau tentangnya, termasuk hubungannya dengan Esa
beberapa tahun lalu. Walaupun ia tak pernah mengakuinya, tapi aku tahu semua
itu belum pernah berakhir.
“Gosip apa
ukhti?” tanya ku sambil berbisik. Aku khawatir ada santri lain yang mendengar
ku berbicara tidak dengan bahasa resmi.
“Iya, yang
katanya si Esa bantu ngetikin lo itu? emang ngetik apa sih?” tanyanya
menghujani ku. Aku terdiam, tak ada seorang pun yang tahu tentang hal itu.
“Mmm...i,
iyah ukhti” jawab ku kemudian.
“Lo yang
minta ketikin?” Ia semakin menggebu. Aku semakin tak mengerti kemana arah
pembicaraan ini. Apakah aku salah? Atau aku melakukan hal yang di anggap tidak
benar?
“Dia”
“Masa?
Orang kaya Esa mau ngetikin lo” ucapnya lagi. Sekarang aku tahu bahwa, semua
ini bukan tentang diri ku. Tapi justru tertuju pada pria yang menjabat sebagai
ketua bagian bahasa itu. Sorot matanya semakin membuat ku yakin, tak pernah ada
yang berakhir antara dia dan pria itu.
*****
Belum
hilang perhelatan sengit dalam kepala ku tentang Khamed. Ada kejutan lain yang
menantiku di dalam kelas. Lilis, duduk di atas meja guru dan menatap ku penuh
arti. Tak berkata sepatah kata pun tapi justru kebungkamannya membuat ku ngeri.
Tapi aku hanya terdiam berusaha membiasakan diri dan berpura-pura tak menangkap
apapun dari sorot matanya.
“Hey..”
Lilis menghampiri ku, ku tolehkan pandangan ku padanya.
“Baru
jadian ya?” tanyanya kemudian. Kening ku mengernyit tak mengerti, jadian?
Maksudnya jadian yang dikatakan awal pacaran antara laki-laki dan wanita atas
nama cinta itu?
“Iya.. lo baru
jadian sama Esa?” ia kembali mempertegas pertanyaannya.
“What?” aku
terkejut. Jadian sama Esa? Apa permintaan sahabat itu bisa dikatakan jadian?
Aku tak habis pikir, belum sampai satu minggu aku menjadi sahabat yang terlihat
dipaksakan itu. Tapi, berbagai gosip sudah menyerang ku. Ditambah lagi dengan
tatapan sinis mereka yang dikecewakan pria itu.
“Ya
ampun...enggak” jelas ku panik, berharap tak ada lagi pertanyaan aneh yang akan
dihunuskan pada ku.
“Gak usah
grogi gitu ki, gak apa-apa ko gue ikhlas asal dia bahagia sama lo” ucapnya
lagi.
“Lis percaya
sama gue, gue sama dia gak ada apa-apa” jelas ku. Aku mengerti gejolak hatinya yang
masih mencintai pria itu.
“Ohya?”
“Iya.. lo
pikir ajah, mana mungkin dia suka sama orang kaya gue” tekas ku. Berharap
pernyataan itu bisa menenangkan kegundahan di hatinya. Padahal aku sendiri
bingung hal apa yang membuat mereka kian terlena. Pria itu tak lebih dari pria
angkuh bagi ku.
“Jadi lo
sahabatnya?” matanya mulai berkaca-kaca.
“Iya.. ”
jawab ku. Ku dekap tubuhnya, aku tau betapa ia merindu. Ia membalas pelukan ku,
ku rasakan cairan hangat mulai merembas di bahu ku. Ia menangis, begitukan
cinta?
*****
Aku
termenung, entah semua ini halusinasi ku semata atau memang terjadi. Tapi
sungguh aku merasa semua mata mulai tertuju pada ku, sejak aku akrab dengan
pria itu. Meski harus ku akui sejak aku menjadi sahabat yang sekali lagi ku
tekankan sangat dipaksakan itu. Pria yang selalu angkuh dan sok eksclusive itu
mulai terbuka pada ku. Ia banyak bercerita, tentang keluarga, teman-teman
termasuk kisah cintanya yang belum lama kandas. Tapi ada satu hal yang membuat
ku heran, ia tak pernah bercerita tentang keberadaan Khamed di hatinya. Pernah
sekali ku tanyakan, tapi ia hanya menjawabnya dengan kata-kata gak penting yang
justru mengalihkan perhatian ku dari pertanyaan itu. Dan bertingkah seolah tak
pernah ada apapun di antara mereka. Menimbulkan banyak spekulasi baru di benak
ku. Dan aku hanya perlu memberi sedikit kesempatan pada waktu untuk mengungkap
semua itu.
Seiring
berjalannya waktu, aku semakin mengenal pria itu. Ketua bagian bahasa yang
sejak awal sudah membuatku kesal, mulai merubah pandangan ku terhadapnya. Kerja
kerasnya, tanggung jawabnya dan semua keputusan yang diambilnya membuat ku
terpukau. Sangat berbeda dengan sosok Esa Rajawali yang ku kenal sejak awal. Ia
tak sombong hanya kurang pandai untuk memulai pembicaraan dan menyapa orang
lain. Terlebih orang itu sangat asing
baginya. Ia pun tak angkuh, hanya membatasi dari tingkah yang merepotkan. Esa
Rajawali yang ku kenal saat ini sangat berbeda dengan apa yang semua orang
katakan. Meski ia masih duduk di bangku Aliyah tapi pemikirannya telah berada
jauh di depan. Berjalan di atas visi dan misi. Dan aku mulai membuka diriku
untuk dekat dengannya sebagai teman dalam satu bagian, yakni language
departement of HISADA.
“Ki, nanti
raker di kantor yah. Tentang program kerja kita muhadatsah antar pondok
membuyarkan lamunan ku.
“Serius
Ukhti? Jadi kemana kita muhadatsahnya?” tanya ku menggebu. Aku tak sabar dengan
acara itu. Setidaknya dengan adanya acara itu aku bisa menyegarkan kembali otak
ku. Tak lagi tembok menjulang tinggi yang membatasi.
“Bandung, Minggu
lalu Esa udah observasi kesana” jawab Khamed masih sibuk dengan setumpuk
dokumen.
“Ohya? Di
mana itu tepatnya?” tanya semakin menggebu. Sudah ku bayangkan aroma kebebasan
dalam benak ku.
“Nanti kita
omongin pas raker, jangan lupa kasih tau Esa. Dan bantuin meriksa ini dong..”
celotehnya sambil memberi ku sebagian dari tumpukan dokumen yang ada di depannya.
“Soal
ujian” desah ku parau. Inilah satu-satunya hal yang tak ku sukai dalam bagian
bahasa. Harus memeriksa ratusan jawaban dari ujian bahasa yang dilakukan tiga
bulan sekali. Akan lebih menyakitkan lagi bila ternyata hasil ujian tersebut
jauh dari yang diharapkan. Rasanya ingin sekali ku bakar semua kamus dan ku
masukan abunya ke dalam minuman para santri. Agar mereka pandai berbahasa. Itu
tujuannya, tapi kenyataan tetap mewajibkan segala hal harus di raih dengan
kerja keras.
*****
Menjelang
magrib aku segera kembali ke kamar. Tak ku sangka Lilis tengah berada di sana.
Aku pernah satu kamar dengannya dan selama itu tak pernah ada hal yang membuat
ku bisa dekat dengannya. Bisa jadi dia menjaga jarak dengan ku. Karena sudah
sangat jelas perbedaan ku dengannya. Aku gak suka make up, dia gak bisa hidup
tanpa make up. Aku sangat cuek soal penampilan sementara baginya penampilan
adalah segalanya. Bahkan pernah suatu ketika saat kami faslu at takhosus berkumpul
di depan kelas. Terlihat Lilis tengah berjalan dari kejauhan.
“Pasti
ngaca deh, satu..dua..tiga..” ledek Dina tiba-tiba.
“Tuh
kan...wkwkwkwkwk”
“Apaan sih?
Apaan sih?” tanya ku heran masih belum menemukan hal yang membuat mereka
tertawa.
“Ihh...lo
mah..” ucap Fatma nampak kecewa dengan pertanyaan ku.
“Seriuss
tau..”
“Si Lilis
pe..” bisik Habi,
“oh...”
segera ku luaskan pandangan ku mencari keberadaan wanita itu. Benar saja tak
jauh dari aula besar ia tengah becermin sambil merapihkan kerudungnya.
“Eh eh eh
liat deh ada cermin lagi tuh, kira-kira dia ngaca lagi gak?” tanya Bibah.
“Pasti..”
jawab kami serempak. Dan benar saja, ia masih menyempatkan diri bercermin dan
kembali merapihkan jilbabnya. Dan lagi-lagi gelak tawa membahana di antara
kami. Jadi tak heran bila pria yang
menjabat sebagai ketua bagian bahasa itu terpikat padanya.
“Pe coba deh liat ke jendela” ucapnya begitu
aku tiba.
“Kenapa?”
tanya ku.
“Liat
ajah!”
“Ada Esa
kan di sana?” tanyanya lagi.
“Eh?
Iya..dia lagi jalan mau ke masjid” jawab ku.
Ia
tersenyum dan memejamkan matanya. Aku tak mengerti apa yang ia lakukan. Mungkin
sebagian dari pelampiasan rasa rindunya.
“Ko bisa
tau kalau Esa ada di sana?” tanya ku heran. Padahal ia sama sekali tak melihat
jendela.
“Derap
langkahnya”
“.........................................” aku tercekat. Tak habis pikir, mengapa pria
itu menyia-nyiakan wanita cantik yang begitu tulus mencintainya ini? Apa karena
pria itu telah menemukan wanita lain?
Sejak hari
itu, Lilis semakin merapat pada ku.
*****
Malam ini,
setelah raker selesai. Aku dipanggil ustadzah untuk datang ke kamarnya. Aku
mempunyai firasat baik untuk hal ini. Dan benar saja ustadzah memberi ku surat
izin untuk pulang ke rumah. Ya walaupun hanya satu hari, tapi setidaknya aku
bisa pulang dan bertemu dengan semua orang yang ku rindukan. Ada hal yang
membuat ku sangat bersemangat selain keluarga ku, yaitu David. Yah, pria itu
memang sangat luar biasa. Sesungguhnya tak banyak orang yang suka padanya.
Selain karena ia adalah seorang pria yang jenius luar biasa tapi dia juga sangat
sombong. Tak pernah menghargai pendapat dan jawaban orang lain. Awalnya akupun
tak begitu peduli dengan kehadirannya. Aku hanya mengenalnya sebagai teman sekelas
selama satu semester
Sejak
perpecahan kelas di kelas tujuh, aku tak pernah satu kelas dengannya. Sampai
akhirnya kami dipertemukan oleh berbagai lomba. Sejak itu persaingan kami mulai
memudar, karena bagaimana pun kami harus berusaha demi nama baik sekolah. Dan
saat itulah kami mulai berteman baik. Selalu menyempatkan diri untuk berdiskusi
tentang pelajaran yang menurut kami sulit untuk mendapatkan jawaban.
Dan belum
lama ini, kami dipertemukan kembali. Tak ada banyak hal yang berubah. Hanya
penampilannya saja yang lebih necis dan seorang kekasih yang kini bertengger di
hatinya. Selebihnya tetap sama, keras
kepala, jenius dan sederhana. Karena itu bagi ku setiap kali terlibat
percakapan dengannya tak pernah sia-sia. Selalu ada banyak ilmu di dalamnya.
*****
Keesokan
harinya setelah pulang sekolah aku segera berkemas. Mengenakan seragam perpulangan.
Setelah berpamitan sana-sini aku segera melangkahkan kaki ku untuk pulang. Aku
sudah tak sabar untuk berpelukan dengan guling di kamar ku. Hingga tak terasa
aku sudah berada di depan rumah ku. “Adik ku sudah besar” bisik ku dalam hati
melihat adik ku untuk pertama kalinya. Padahal terakhir aku bertemu dengannya
ia masih kecil dan imut sekali, sampai semua tetangga ku memanggilnya bule
kampung. Tapi kini, sangat berbeda. Kemana larinya kulit putih itu? kata ibu ku
kulitnya menghitam sejak ia hobi main layang-layang. Sayang sekali..
Aku terdiam, melihat seisi kamar ku yang mulai tertutup oleh
debu. Ku langkahkan kaki ku untuk segera menjamah semua benda kesayangan ku.
Aku terpaku begitu melihat karton warna biru yang tergantung di langit-langit
kamar ku. Bukan soal kartonnya tapi tulisan tangan ku di atas karton itu. “Say
no to drugs, say no to love, and say no to boys !!!” membuat ku tergelitik. Ku
luaskan pandangan ku, begitu banyak tempelan kertas di atas dinding kamar ku.
Berisi rumus-rumus matematika, fisika dan kimia yang kini telah terlupa oleh
ku. Tak hanya itu, ada beberapa puisi dan gambar ilustrasi yang ku buat
sendiri. Sangat berantakan. Tak jauh dari ranjang tidur ku ada setumpuk
buku-buku. Bukan buku bacaan, tapi buku kumpulan rumus matematika, fisika dan kimia. Kamar ku sama
sekali tak mengenal boneka, aku tak begitu menyukainya. Aku lebih memilih
buku-buku atau kertas lakmus untuk uji coba kimia dari pada harus mengeluarkan
uang untuk membeli sebuah boneka.
“Dav” ku
kirimkan pesan singkat pada teman lama ku itu.
“Ki?”
jawabnya. Begitulah, pertemanan kami begitu dekat. Bahkan ia selalu tau apapun
yang berkaitan dengan ku. Seperti pesan singkat kali ini, meski aku menggunakan
nomor baru tapi ia begitu mudah mengenalinya.
Ya”
“Hey..Apa
kabar? Kapan pulang?” ia kembali membalas pesan ku.
“Lebih
keren dari nukleon dong pastinya. Baru sampe nih”
“Wih..”
“Entar
malem gue mau ke warnet” jelas ku. Tapi setelah itu ia tak lagi membalas pesan
singkat ku.
*****
Malam
harinya sepupuku sudah datang menjemputku. Setelah berpamitan kami segera
melesat menuju warnet terdekat. Aku sendiri memang tak ada keperluan, hanya
untuk iseng-iseng saja. Jadi lah aku menjelajahi dunia facebook.
“Woy..!!!”
“Hey..udah
nongol ajah lu,” jawab ku sedikit terkejut melihat teman lama ku itu sudah
eksis di kolom chat ku.
“Iyalah
gue..gimana kabar penjara suci lu?”
“Baik
banget, sekarang ajah gue udah kangen nih. Pengen cepet-cepet pulang kesana”
“Pulang?”
“Iya..penjara
suci itu udah kaya rumah buat gue”
“Lebay lu”
“Hahaha,
lagi di mana lu?”
“Gue? Di
depan lu”
“Eh? Jangan
ngasal lu”
“Serius,
liat ajah” Dan benar saja, ketika ku angkat wajah ku. Ia tengah berdiri di
hadapan ku.
“Ko gak bilang
lu ikutan ke warnet juga”
“Dih, Emang
lu nyokap gue pake bilang”
“Iya juga
ya? Ahahaha”
“Heh, gue
pengen ngomong nih”
“Sok,
ngomong ajah”
“Tapi gue
maunya ngomong ya, bukan chatting”
“Iya..”
“Ki..”
panggilnya. Kini ia benar-benar ada di hadapan ku.
“Boleh
masuk?”
“Sempit ah”
jawab ku melihat counter tempat komputer ku yang begitu sempit.
“Bentar
doang.”
“Yeee..yaudah
tapi jauh-jauh ya. Awas !!”
“Lah
katanya mau ngomong itu diem ajah lu” ucap ku menyadari kesunyian di antara
kami. Dia malah diam membisu melihat aktivitas ku di dunia maya.
“Heumm..gini
Ki..”
“Ape..?”
“Heuuumm...”
“......”
“Gue..”
“Apaan sih
lu? Cepetan sempit tau..”
“Gue....su...su..suka
sama lu”
“Hah?” aku
terkejut. Maksudnya suka seperti apa?
“I, iya gue
suka sama lu”
Aku
terdiam, aku gak ngerti harus ngapain.
“Ki lu gak
marah kan?”
“Ki..”
Aku masih
bingung, tanpa sepatah kata pun. Aku pergi. Ku panggil sepupu ku, ku paksa untuk
meninggalkan warnet saat itu juga. Aku gamang, sungguh aku gamang.
*****
Ada
beberapa panggilan tak terjawab begitu aku tiba di rumah. Tentu saja dari orang
yang sama, David. Aku merasa ia telah berubah, dulu teman wanita saja cuma aku
saja. Tapi kini, pacar sudah ganti yang ke sekian kali.
“Halo..”
ucap ku mengangkat panggilan masuk di handphone ku.
“Ki..”
“Iya..”
“Lu marah
ya?”
“Enggak”
“Alhamdulillah”
“Terus gue
gak boleh cinta sama lu?” tanyanya lagi.
“Boleh”
jawab ku.
“Jadi..”
Nut..nut..nut..
Ku tutup
panggilan itu, aku tak ingin semakin terjebak dalam permainan kata-katanya. Dan
aku harus istirahat karena besok aku sudah kembali ke penjara suci ku. Aku
sudah rindu. Dan aku tak sabar ingin
mendengar kisah seru dari sahabat baru ku, Esa Rajawali.
*****
“Jangan cari
apapun yang kau inginkan, tapi raihlah apa yang kau butuhkan. Maka kamu akan
selamat”
Sepenggal
kalimat dari nasihat ayah ku menjadi bekal perjalanan ku kali ini. Aku
termenung, untuk lebih mendalami makna dari kalimat itu. Selama ini aku tak
pernah memberi sekat antara keinginan dan kebutuhan. Aku pikir semua hal yang
ku inginkan adalah hal yang ku butuhkan. Karena jika aku tak membutuhkannya aku
tak mungkin menginginkannya. Tapi sepenggal kalimat itu telah berhasil membuat
ku dibanjiri tanda tanya. Aku memang kurang pandai merangkai kalimat, maka tak
heran bila aku pun kesulitan untuk memahami arti dari kalimat itu.
“Ki..!!!”
panggil Khamed begitu aku turun dari angkot. Ia melambai-lambai bersama yang
lainnya dari atas bangunan kosong. Aku segera berlari, melewati gerbang dan
menaiki tangga dengan cepat. Bukannya masuk kamar, aku justru menghampiri
mereka yang tengah berkumpul di atas bangunan kosong.
“Ukhti...”
teriak ku tak kalah kencang dengan hembusan angin. Ini yang tak bisa ku temui
di Bekasi. Udaranya yang sejuk, angin yang selalu hilir mudik membelai setiap
raga yang melintas.
“Bawa apa
Ki?” tanya yang lainnya. Tanpa menjawab, ku serahkan tas ku yang penuh dengan
masakan ibu ku. Tanpa pikir panjang, segera kami santap semua masakan itu. Tak
sampai hitungan menit semua sudah habis.
“Itu si Syara..”
teriak Khamed kemudian. Seketika semua orang langsung tersenyum
menantikedatangan Syara.
“Dari mana
dia. Rapih banget?” tanya ku.
“Habis
ambil handphone di ustad ” jelasnya.
“Handphone?
Yakin?” tanya ku tekejut. Kalau kabur, jajan di luar, bolos sekolah dan tidur
di kelas sih pelanggaran yang sudah sering ku lakukan. Tapi kalau handphone aku
merinding mendengarnya. Aku kembali teringat pada kejadian naas yang menimpa
Yul beberapa minggu lalu. Ia tertangkap basah membawa sebuah handphone oleh
bagian keamanan pusat. Dan hasilnya pada saat itu juga handphone Yul dimusnahkan.
Dijatuhkan dari lantai paling atas hingga membentur permukaan beton lapangan.
Hancur berkeping-keping lah. Penjara suci ini memang tak kenal ampun dengan
pelanggaran.
“Iya..Gue
mau minta sms ” jelasnya lagi.
“Cieeee..yang
baru jadian, Esa di kemanain nih?” ledek yang lainnya begitu mendengar apa yang
diucapkan Khamed.
“Ih..amit-amit,
apaansih”
“Ko
amit-amit entar jadian loh” ledek ku.
“Jahat amat
lo doain Gue jadian ama orang pelit kaya dia” jawabnya.
“Emang Esa
pelit yah?” tanya ku.
“Pelit banget
kali, sombong lagi, dasar makibaw ..” jelas Khamed berapi-api.
“Enggak
pelit tau,” sanggah ku. Sebenarnya aku tak tahu mengapa mereka berkata begitu.
Dan entah mengapa aku ingin membelanya. Walaupun aku sendiri tak tahu
kebenarannyag. Karena aku tak pernah minta apapun yang kemudian ditolaknya.
Tapi aku yakin seandainya aku minta sesuatu pun, ia tak akan sampai hati untuk
menolaknya.
“Ciiieeee..”
mereka berbalik meledek ku.
“Lah ko
ciiee sih? Gue kan beneran” ucap ku membela diri. Rasanya tak ada sesuatu yang
special cuma karena aku mengungkapkan kebenaran.
“Iya deh
yang belain Esa” ledek yang lainnya.
“Dari
kemaren Gue suka ngomongin cowok lain enggak diledekin begini dah kayanya huh”
gerutu ku.
“Haha...karena
keliatan tuh muka lo merah” sela Yul.
“Eh, udah
ah entar si Khamed cemburu lagi..ahahaha” ucap ku berusaha memindahkan badai
ledekan ini pada Khamed.
“Ngapain
cemburu, Gue udah punya Eky” celetuknya penuh dengan kesombongan. Aku heran
Khamed selalu saja bisa ngeles, menghina, menjelek-jelekan. Aku semakin yakin kalua
hatinya berkata sebaliknya.
“Apaan sih
Ki, Gue juga udah punya Ipan” jelasnya. Seolah mengerti maksud dari tatapan ku.
“Tuh Ki,
semua orang disini udah punya. Cuma lo doang..kan pas banget tuh sama si makibaw
wkwkwkwkwkwk” ledek Khamed. Heuhh rasanya ingin sekali aku ambil pisau bedah
lalu mengeluarkan hatinya. Dan lihatlah siapa nama yang tertulis di sana.
“Gue udah
punya kali, kalian gak tau yah? Aahahaaa”
“Siapa?”
tanya Khamed, nadanya sangat menantang.
“Heumm..namanya
David, tapi belum jadian sih baru deket ajah” jelas ku lagi. Aku tak ingin
berbohong, karena faktanya memang tak pernah ada kata jadian antara aku dan
Dav.
“Uuuuuu...”
teriak mereka tak percaya.
*****
Ternyata uforia
keberadaan handphone Syara tak berhenti sampai mata hari terbenam. Begitu semua
santri sudah tertidur kami kembali berkumpul di depan kamar ku. Ina asik saling
berbalas pesan dengan kekasih hatinya. Khamed dan yang lainnya pun sama. Mungkin
kami sudah memasuki usia fuber, selalu hal-hal yang dulu ku anggap aneh menjadi
topik pembicaraan kami.
Semakin
larut, semakin menjadi saja. Dengan hanya menggunakan busana tidur kami masih
berkumpul. Dan keberadaan ku di sini hanya karena satu alasan. Menunggu pesan
balasan dari David. Aku tak tenang meninggalkannya begitu saja. Walau
bagaimanapun dia pernah menjadi teman baik ku. Dan ku harap tetap demikian
untuk selamanya. Tiba-tiba aku tak bisa menggerakan sendi-sendi dalam tubuh ku.
Aku terkejut, sosok yang berdiri di belakang Ina melumpuhkan syaraf ku.
Kedatangannya begitu cepat, sunyi dan mematikan itu membuat jantungku berdetak
kian cepat “Mampus gue” bisik hati ku.
“Ina...”
panggilnya sambil menjewer telinga Ina. Aku masih tak bergeming, hanya membisu
menatapnya hampa.
“Apaan
sih?” Ina menyingkirkan tangan yang menjewer telinganya. Syara yang baru
menyadari kehadiran sosok itu ikut terdiam, matanya mulai berkaca-kaca.
“Ina..” panggilnya
lagi.
“Apaan sih?”
Ina masih tak peduli. Syara yang masih tak sanggup berkata, hanya memberikan
isyarat bahaya. Akhrinya Ina terdiam, memutus pembicaraannyadan menolehkan
pandangannya perlahan.
“eh..ibu..”
Ina terkejut.
“Seneng ya
abis telpon-telponan?” ucap Ustadzah. Sontak kami menunduk malu, sudah
terbayang apa yang akan terjadi setelah ini.
“Pakai
kerudung kalian, ayo semuanya ke aula besar!!!” ucap Ustadzah ketus. Aku
merinding mendengarnya. Rasanya lebih baik aku jatuh lalu bangkit lagi,
ketimbang berurusan dengan bagian keamanan pusat.
Aula besar
yang luas terasa begitu sempit. Jendela yanag terbuka lebar terasa seperti
tertutup dan tak menyisakan udara untuk bernafas. Aku sesak, jantungku tak
karuan. Kami duduk membentuk garis sejajar di hadapan Ustadzah. Mata mereka
menjelajah, menatap kami tanpa ampun. Bagai tertimpa najis mughalazah yang tak
bisa dihilangkan.
“Handphone
siapa ini?” ucap ustadzah kemudian.
“Sa..saya
bu” jawab Syara lirih. Wajahnya masih tertunduk.
“Siapa saja
yang pernah menggunakan Handphone ini?” tanya Ustadzah. Tapi kami hanya
terdiam. Karena sesungguhnya tak hanya kami yang tertangkap basah di sini saja
yang pernah menggunakannya. Terutama Khamed, dia yang lebih sering menghubungi
kekasihnya. Tapi sayangnya ia beruntung malam ini. Rasa kantuk
menyelamatkannya. Dan kami tak bernyali sekecil itu untuk mengungkapkannya.
“Ra?”
gertak ustadzah menuntut jawaban.
“Yang ada
di.. di sini ajah bu” jawabnya lirih.
Bip..bip...bip...
“Ada
panggilan nih..” ucap ustadzah. Tanpa pikir panjang segera diambil handphonenya
itu.
“Halo...”
jawab ustadzah dengan suara yang dibuat-buat. Mungkin agar tersamarkan. Aku
semakin dilema, detak jantung ku kian bertambah cepat. Aku yakin, tak hanya aku
yang merasa seperti ini.
“Halo, ini
temennya Khamed ya? Bisa bicara sama Khamed?”
“Memang ini
dari siapa ya?” tanya Ustadzah berapi-api. Sorot matanya mengerling, dipenuhi
keyakinan akan kembali mendapatkan mangsa.
“Bilangin
dari Eky”
Nut...nut..nut....
“Owh..
Khamed !!!” ustadzah mengendurkan kaca matanya.
“Panggil
Khamed !!!!”
Suasana
sunyi kembali. Hingga detak jantung ku dapat terdengar dengan jelas iramanya. Tak
lama Khamed yang baru saja terjaga dari tidurnya telah tiba.
“Udah? Ini
saja Ra yang pernah memakai handphone kamu?”
“I, iya bu”
“Saya
bingung harus berkata apa, kalian ini pengurus”
Bip..bip..
“Ada sms,”
ucap ustadzah.
“Ini temennya Kia ya? Tolong sampein ya bilang gue sayang banget
sama dia” ustadzah membacakan pesan itu. Aku tercekat, semakin ku tundukan
wajah ku. Entah apa yang ku rasa. Bagaikan jatuh dari gedung bertingkat tiga
puluh lalu tertimpa tombak. Tak terbayang hukuman apa yang akan ku hadapi kali
ini.
“Syara, Yul, Ina, Khamed, Kia,” ustadzah melanjutkan
khotbahnya.
Rasanya
lebih baik tertangkap kabur atau bolos ketimbang hal ini. Malam ini adalah
malam terburuk ku di penjara suci ini. Setelah mendengar panjang lebar khotbah
ustadzah. Kami diberi hukuman, hal yang mustahil terlewatkan bila telah
melakukan pelanggaran. Dan satu lagi julukan yang kami dapat “Diam-diam
menghanyutkan”
*****
Berubah.
Aku meresa risih, tatapan setajam pisau itu telah berhasil mengoyak seisi
jantung ku. Mereka tahu perkara yang
baru saja ku alami. Tentang pelanggaran menggunakan handphone sampai isu sms
memalukan itu sudah menyebar keseluruh penjuru penjara suci ini. Bukan menjadi
contoh yang baik, tapi malah sebaliknya.
Terlebih
teman sekelas ku. Mungkin karena aku telah melakukan pelanggaran berat maka
setiap gerak yang mereka lakukan terasa seperti sebuah sindiran. Beginilah
rasanya seorang yang bersalah. Dunia menjadi kelabu di mata ku. Tapi bukannya
jera, aku malah bosan berada di kelas bersama mereka yang menatap ku seperti
yang bersalah. Aku memang salah, tapi aku berharap mereka tak memandang ku
demikian. Maka, jadilah aku membolos saat jam pelajaran ke dua. Kali ini aku
tak sendiri, ku ajak Dinabersama ku.
Setelah
adzan dzuhur berkumandang, aku dan Dina keluar dari tempat yang kami
rahasiakan. Tempat paling aman saat membolos, tak seorang pun tau kecuali kami
berdua. Biasanya saat membolos kami pun melakukan pelanggaran lainnya. Bakso
dan rujak sebagai penyempurna kebolosan kami. Sekali dipandang salah akan
selalu salah. Meski sudah kebaikan yang telah ku lakukan. Makanya dari pada ku
dianggap bersalah atas kesalahan yang tidak pernah ku lakukan. Lebih baik ku
lakukan sekalian, sekali bersalah tetap bersalah.
Dan siang
ini, naluri liar ku tak pula reda. Saat yang lainnya tengah melakukan kegiatan
pramuka. Aku kembali mengajak Dina untuk kabur. Kebetulan hari ini ia
menggantikan salah seorang teman ku yang tengah berjaga. Jadi tak masalah
untuknya keluar dari penjara suci ini. Sementara aku tentu akan dianggap kabur
bila ku langkahkan kaki ku keluar dari penjara suci ini. Tapi tak masalah, aku
adalah seorang ahli seni. Seni dalam melakukan pelanggaran.
Aku dan Dina,
segera bersiap ketika yang lain mulai keluar mencari tempat yang nyaman untuk
latihan. Aku pergi, bersamaan dengan yang lainnya. Tapi begitu mereka lengah
aku segera memisahkan diri dan menghampiri Dina. Tanpa pikir panjang kami
segera pergi, menuju warnet terdekat. Entah mengapa aku merasa masih ada yang
harus ku selesaikan.
“Mau
kemana?” tanya seseorang secara tiba-tiba. Ku hentikan langkah ku, aku mengenal
suara itu.
“Mau
keluar” jawab ku. Ku lihat Esa tengah berjalan menghampiri ku.
“Kabur?”
tanyanya lagi sambil menjitak kepala ku.
“Apaan
sih?”
“Ini
hukuman belum selesai kan? Udah jangan kabur, mending temenin Gue buat siapin
keperluan kita” jelasnya.
“Keperluan?
emang Ada apaan ?”
“Yeee...ko
gak update banget sih, kita kan mau ada pelantikan bantara”
“Ohya?”
“Udah ayo
sini” Esa menarik lengan baju ku. Gagal sudah rencana kabur ku.
*****
“Apa yang
harus disiapin?” tanya ku pada Esa. Aku heran bukannya melakukan sesuatu yang
penting dia malah duduk santai di depan komputer sambil main games.
“Gak ada,”
jawabnya enteng.
“Ko gitu?”
tanya ku marah. Ku hampiri dia, seharusnya aku tengah bersama Dina dan
menjelajahi dunia maya saat ini.
“Udah duduk
sini” ucapnya lagi. Aku heran, aku tak bisa marah pada pria ini. Padahal emosi
telah meledak-ledak di dada ku. Tapi semua itu seolah tertahan, dan logika ku
memaksa ku untuk menuruti perkataannya.
“Nih..” Esa
membuka sebuah file dalam komputer. Seketika pandangan ku menjelajahi isi dari
file itu. Kata per kata, setiap huruf, bahkan aku sangat mengenal susunan
kalimat itu.
“Ya Allah,”
aku berdecak kagum. Sejenak lidah ku menjadi kelu.
“Tu,
tulisan gue...” ucap ku mulai terbata. Betapa bahagia hati ku, melihat tulisan
yang sekian lama ku tulis dengan tulisan tangan ku sudah tersusun rapih di atas
microsoft word. Tak terbayang bila aku
sendiri yang melakukannya akan menghabiskan waktu berapa lama.
“Syukron
jazilan ” ucap ku lagi.
“Jadi apa
nih judulnya? Masa karya tulis bagus gini gak pake judul?” tanyanya kemudian.
“Emang
bagus ya?” jawab ku dengan pertanyaan tak percaya.
“Bagus,
kalau enggak gue males juga ngetiknya” jelasnya. Keren desah ku pelan,
seenggaknya dia telah mengakui karya ku. Aku tahu betul bagaimana seleranya.
Menjadi sahabatnya membuat ku tertarik masuk kedalam dunianya.
“Apa ya?”
tak pernah terpikirkan tentang judul. Yang ku lakukan hanya menulis apa yang
ada di kepala ku.
“Heumm..
cerita ini kan tentang persahabatan”
“Iyah..”
“Gimana
kalau judulnya sahabat?”
“Dengan
tanda tanya besar di belakang kata sahabat itu” ucapnya lagi. Ia terlihat
tengah membayangkan sesuatu. Mengangkat wajah dan memejamkan matanya, membentuk
mimik aneh yang membuat ku geli.
“Sahabat?”
“Iya..
sahabat !”
“Nice...sahabat”
“SAHABAT”
ia tersenyum. Dan seketika waktu pun terhenti. []
*****
No comments:
Post a Comment