Wednesday 18 November 2020

#5. Patah hati - Penjara Suci


            Aku memang tak pernah mengenal yang namanya patah hati. Bagaimana rasa, bentuk dan efeknya aku tak pernah tahu. Bahkan cinta pun masih dalam masa penjajakan yang telah gagal total di tengah jalan. Ironisnya aku pernah berpikir hubungan ku dengan David itu akan menjadi moment yang mengenalkan ku dengan  yang namanya cinta senjati. Tapi, ah laki-laki memang sama saja. Semua laki-laki yang identik dengan makhluk keras kepala itu memang sama. Perlahan aku mulai termakan doktrin Jey tempo hari. Bahwa tak ada kata serius yang terkandung dalam aktivitas pacaran. Bahwa laki-laki tak pernah benar-benar menginginkan wanita dalam hidupnya kecuali untuk hal yang berhubungan dengan alat palampiasan nafsu belaka.

Kampret!

            Bodohnya aku telah terjerat dalam permainan kata laki-laki itu. Aku tak heran mengapa lebih banyak laki-laki yang menjadi guru sastra sepanjang perjalanan ku dalam dunia pendidikan. Karena mereka sudah diberi bakat sejak lahir untuk memanipulasi kata yang meluluhkan hati wanita. Tapi begitulah bahkan akupun sempat terbuai dengan permainan kata-kata itu. Huh, dasar laki!

            Pikiran ku semakin menggila,  jangan-jangan kata cinta itu memang sebuah mantra? Yah mantra untuk membodohi wanita. Arhggg... kembali ku dongakan wajah ku. Tak ada siapapun di kelas ini, hanya aku seorang diri.

            Entah mengapa, sejak aku dicampakan oleh laki-laki bernama David. Bukan luka atau apapun yang mereka katakan sakit itu yang ku rasakan. Hanya benci, kebencian ku terhadap laki-laki semakin mengakar dan berdiri kokoh.

            Begitu matahari semakin terik, segera ku langkahkan kaki ku keluar. Hari pertama di penjara suci setelah liburan panjang. Tak ada yang istimewa, bahkan semangat para pejuang perang badar dalam dada sudah ludes terbakar api kebencian.

            Ku luaskan pandangan ku pada setiap penjuru penjara suci ini. Sepi, banyak para santri yang belum kembali. Desau angin pun terdengar begitu jelas. Dari kejauhan terlihat beberapa santri yang tengah  mengantri untuk mengambil makan siang. Ku palingkan pandangan ku pada gumpalan awan. Awan putih yang menggumpal dan bergerak perlahan.

            “Essaaaa..” desah ku. Melihat gumpalan awan itu beriring membentuk lengkungan yang begitu lekat dalam benak ku. Iyah Bener-bener gak ada obat., senyuman Esa Rajawali.

            “Kia..........!!!!”

Gumpalan awan itu terlihat begitu nyata. Apakah semua ini hanya halusinasi ku saja?

            “Kieeeeeee...!”

            “Hey,” seseorang menepuk punggung ku, sontak ku palingkan pandangangan ku pada orang itu.

            “Esa? Hah Esa????” aku terkejut melihat sosok yang tengah menyita perhatian ku kini berdiri tepat di samping ku. Aku tercekat,  memastikan semua ini bukanlah imajinasi dalam pikiran ku sendiri.

            “Dipanggilin dari tadi bukannya nyaut” ucapnya sambil menggoyang-goyangkan tapak tangannya.

            “Gu..gue...”

            “Gini, gue mau ngomong soal telpon lo tempo hari”

            “....................” ku picingkan alis ku, mencoba mendobrak kegugupan yang kini membelenggu ku. Tempo hari?

            “Jangan nyesel kalo gue jadi apa yang lo minta” ucapnya lagi. Dengan tatapan kosong meninggalkan ku.

            “Mak, maksudnya?” aku tercekat. Ia pergi, begitu saja tanpa kalimat penjelasan. Bahkan tanpa menoleh sedikit pun, membiarkan aku diserbu oleh ribuan tanda tanya.

*****

            “Woy...bantuin Gue dong!!” teriak Khamed dengan bahasa arab begitu tiba di ujung tangga sambil membawa beberapa tumpukan kardus. Aku terkesiap, tersenyum kecil yang masih ku kulum sendiri. Dina bergegas menghampirinya sementara aku hanya terdiam memandangnya.

            “Ki...!!!” kini ia memanggil ku. Matanya melirik pada sebuah tas besar disampingnya yang tergeletak begitu saja. Kode! Karena itu segera ku langkahkan kaki ku mengambil tas besar itu. Andai laki-laki itu makhluk peka yang menyadari semua kode yang terpancar dari pandangan wanita. Aku dan semua wanita di dunia ini tak harus menjadi ahli pembuat kode sekaligus seorang penerjemah. Aneh rasanya bila harus mengungkap segala yang kita inginkan pada laki-laki dalam sebuah barisan kata.

            “Banyak banget buku lo” gerutu ku mengangkat tas yang beratnya setengah dari berat badan ku.

            “Kita ini kelas akhir sayang, ujian sudah ngantri di depan mata” jelasnya sambil terus berjalan menuju kamarnya. Benar!

            “Gak lama lagi kita sudah ujian Taftisy- pemerikasaan buku” ucap Khamed.

            “Terus fathul kutub- membaca kitab kuning” sambungnya.

            “Imamah¬- mejadi imam sholat, Khitobah- berpidato, Ta’lim- Mengajar dalam kelas, Hipzu suar- Hapalan Ayat-ayat Al-Qur;an, Paper- Karya Ilmiyah...” ucap Khamed lagi. Ia tampak begitu antusias, sementara aku mulai merasa muak. Sepertinya virus malas itu kembali merajai hati ku.

            “Yaudah enjoy aja lagi, nikmati prosesnya” ucap ku. Aku yakin mereka menangkap nada menyepelekan dalam ucapan ku. Seketika tatapan menyelidik mereka membanjir ku.

*****

 

 

 

No comments:

Rangkuman Debat Pertama Capres 2024

Anies Baswedan Visi dan Misi 1.        Menempatakan hukum sebagai rujukan utama untuk memastikan hadirnya rasa keadilan memberikan keber...