Aku memang
tak pernah mengenal yang namanya patah hati. Bagaimana rasa, bentuk dan efeknya
aku tak pernah tahu. Bahkan cinta pun masih dalam masa penjajakan yang telah
gagal total di tengah jalan. Ironisnya aku pernah berpikir hubungan ku dengan
David itu akan menjadi moment yang mengenalkan ku dengan yang namanya cinta senjati. Tapi, ah
laki-laki memang sama saja. Semua laki-laki yang identik dengan makhluk keras
kepala itu memang sama. Perlahan aku mulai termakan doktrin Jey tempo hari.
Bahwa tak ada kata serius yang terkandung dalam aktivitas pacaran. Bahwa
laki-laki tak pernah benar-benar menginginkan wanita dalam hidupnya kecuali
untuk hal yang berhubungan dengan alat palampiasan nafsu belaka.
Kampret!
Bodohnya
aku telah terjerat dalam permainan kata laki-laki itu. Aku tak heran mengapa
lebih banyak laki-laki yang menjadi guru sastra sepanjang perjalanan ku dalam
dunia pendidikan. Karena mereka sudah diberi bakat sejak lahir untuk
memanipulasi kata yang meluluhkan hati wanita. Tapi begitulah bahkan akupun
sempat terbuai dengan permainan kata-kata itu. Huh, dasar laki!
Pikiran ku
semakin menggila, jangan-jangan kata
cinta itu memang sebuah mantra? Yah mantra untuk membodohi wanita. Arhggg...
kembali ku dongakan wajah ku. Tak ada siapapun di kelas ini, hanya aku seorang
diri.
Entah
mengapa, sejak aku dicampakan oleh laki-laki bernama David. Bukan luka atau
apapun yang mereka katakan sakit itu yang ku rasakan. Hanya benci, kebencian ku
terhadap laki-laki semakin mengakar dan berdiri kokoh.
Begitu
matahari semakin terik, segera ku langkahkan kaki ku keluar. Hari pertama di
penjara suci setelah liburan panjang. Tak ada yang istimewa, bahkan semangat
para pejuang perang badar dalam dada sudah ludes terbakar api kebencian.
Ku luaskan
pandangan ku pada setiap penjuru penjara suci ini. Sepi, banyak para santri
yang belum kembali. Desau angin pun terdengar begitu jelas. Dari kejauhan
terlihat beberapa santri yang tengah
mengantri untuk mengambil makan siang. Ku palingkan pandangan ku pada
gumpalan awan. Awan putih yang menggumpal dan bergerak perlahan.
“Essaaaa..”
desah ku. Melihat gumpalan awan itu beriring membentuk lengkungan yang begitu
lekat dalam benak ku. Iyah Bener-bener gak ada obat., senyuman Esa Rajawali.
“Kia..........!!!!”
Gumpalan awan itu terlihat begitu nyata. Apakah semua ini
hanya halusinasi ku saja?
“Kieeeeeee...!”
“Hey,”
seseorang menepuk punggung ku, sontak ku palingkan pandangangan ku pada orang
itu.
“Esa? Hah
Esa????” aku terkejut melihat sosok yang tengah menyita perhatian ku kini
berdiri tepat di samping ku. Aku tercekat,
memastikan semua ini bukanlah imajinasi dalam pikiran ku sendiri.
“Dipanggilin
dari tadi bukannya nyaut” ucapnya sambil menggoyang-goyangkan tapak tangannya.
“Gu..gue...”
“Gini, gue
mau ngomong soal telpon lo tempo hari”
“....................”
ku picingkan alis ku, mencoba mendobrak kegugupan yang kini membelenggu ku.
Tempo hari?
“Jangan
nyesel kalo gue jadi apa yang lo minta” ucapnya lagi. Dengan tatapan kosong
meninggalkan ku.
“Mak,
maksudnya?” aku tercekat. Ia pergi, begitu saja tanpa kalimat penjelasan.
Bahkan tanpa menoleh sedikit pun, membiarkan aku diserbu oleh ribuan tanda
tanya.
*****
“Woy...bantuin
Gue dong!!” teriak Khamed dengan bahasa arab begitu tiba di ujung tangga sambil
membawa beberapa tumpukan kardus. Aku terkesiap, tersenyum kecil yang masih ku
kulum sendiri. Dina bergegas menghampirinya sementara aku hanya terdiam
memandangnya.
“Ki...!!!”
kini ia memanggil ku. Matanya melirik pada sebuah tas besar disampingnya yang
tergeletak begitu saja. Kode! Karena itu segera ku langkahkan kaki ku mengambil
tas besar itu. Andai laki-laki itu makhluk peka yang menyadari semua kode yang
terpancar dari pandangan wanita. Aku dan semua wanita di dunia ini tak harus
menjadi ahli pembuat kode sekaligus seorang penerjemah. Aneh rasanya bila harus
mengungkap segala yang kita inginkan pada laki-laki dalam sebuah barisan kata.
“Banyak
banget buku lo” gerutu ku mengangkat tas yang beratnya setengah dari berat
badan ku.
“Kita ini
kelas akhir sayang, ujian sudah ngantri di depan mata” jelasnya sambil terus
berjalan menuju kamarnya. Benar!
“Gak lama
lagi kita sudah ujian Taftisy- pemerikasaan buku” ucap Khamed.
“Terus
fathul kutub- membaca kitab kuning” sambungnya.
“Imamah¬-
mejadi imam sholat, Khitobah- berpidato, Ta’lim- Mengajar dalam kelas, Hipzu
suar- Hapalan Ayat-ayat Al-Qur;an, Paper- Karya Ilmiyah...” ucap Khamed lagi.
Ia tampak begitu antusias, sementara aku mulai merasa muak. Sepertinya virus
malas itu kembali merajai hati ku.
“Yaudah
enjoy aja lagi, nikmati prosesnya” ucap ku. Aku yakin mereka menangkap nada
menyepelekan dalam ucapan ku. Seketika tatapan menyelidik mereka membanjir ku.
*****
No comments:
Post a Comment