Konsep Dasar Pengukuran Kas
Persediaan
Sebelum tahun 2005 IAS 2 membolehkan penggunaan tiga
alternatif pengukuran kas persediaan, yaitu metode FIFO dan Rata-rata
Tertimbang yang oleh IAS 2 disebut sebagai ?benchmark treatments?, serta
satu lagi metode yang oleh IAS 2 disebut sebagai ?allowed alternative
treatments? yaitu metode LIFO. Namun efektif mulai 1 Januari 2005
IFRS tidak membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran kas
yang berlaku tinggal metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang. Pembatasan
penggunakan metode akuntansi semacam ini merupakan indikasi bahwa IFRS pada
dasarnya tidak sepenuhnya menggunakan principles-based, bahkan dalam kasus akuntansi
persediaan menjadi lebih rules-based dibanding US GAAP.
perbedaan mendasar akuntansi persediaan antara IFRS dan US
GAAP adalah pada alternatif metode yang diperkenankan untuk diterapkan.
IFRS lebih membatasi penggunakan alternatif metode akuntansi yang boleh digunakan,
sedangkan US GAAP memberi keleluasaan lebih luas dalam memilih alternatif
akuntansi persediaan yang akan diterapkan, sesuai dengan situasi dan keadaan
yang dihadapi oleh masing-masing perusahaan, sehingga dapat dikatakan bahwa
untuk kasus standard akuntansi persediaan, fakta yang terjadi justru
sebaliknya, yaitu IFRS justru lebih condong ke rules-based sedangkan US
GAAP justru lebih condong ke principles-based.
Kepemilikan Persediaan
Tidak ada perbedaan tentang standard pengakuan persediaan
antara IFRS dengan US GAAP, keduanya menyatakan bahwa persediaan hanya akan
diakui sebagai aset perusahaan atau mudahnya diakui sebagai persediaan pada
saat persediaan tersebut telah menjadi sumber ekonomi bagi perusahaan, atau
secara hukum telah menjadi hak milik perusahaan. Secara umum, perusahaan harus
mencatat adanya pembelian atau penjualan persediaan pada saat secara legal
telah terjadi perpindahan kepemilikan persediaan. Baik IFRS maupun
US GAAP menyatakan pentingnya ketepatan cut-off transaksi persediaan
pada akhir periode akuntansi untuk menjamin ketepatan pengukuran kinerja
operasional perusahaan selama satu periode, sehingga untuk kepentingan
pelaporan persediaan dan kas penjualan dalam laporan keuangan diperlukan
ketepatan penentuan transfer kepemilikan atas persediaan.
akuntansi berdasarkan IFRS maupun
berdasarkan US GAAP menyadari adanya empat hal yang bisa menimbulkan
ketidaktepatan pelaporan persediaan, yaitu:
(1) persediaan dalam
perjalanan dengan syarat FOB destination atau FOB shipping point,
(2) penjualan
konsinyasi,
(3) pembelian persediaan dengan skema pendanaan tertentu (product
financing arrangements),
(4) penjualan dengan
hak istimewa untuk pengembalian barang (sales with generous or unusual right
of return). Tidak ada perbedaan standard akuntansi antara IFRS dan US
GAAP untuk akuntansi atas empat kemungkinan kasus pembelian dan penjualan
persediaan seperti tersebut di atas.
Dapat disimpulkan bahwa ketentuan standard akuntansi untuk
kepemilikan persediaan, baik IFRS maupun US GAAP sama-sama menekankan pada
kejelasan aturan akuntansi dengan mengacu pada substansi transaksi, sehingga
bisa dikatakan bahwa kedua standard sama-sama menggunakan basis aturan atau rules-based,
atau jika sudut pandangnya ditekankan pada substansi transaksi, dapat
dikatakan bahwa keduanya sama-sama menggunakan basis prinsip atau principles-based.
Penilaian Persediaan
IAS 2 mendiskripsikan bahwa basis utama akuntansi persediaan
adalah kas, dan kas didefinisikan sebagai jumlah kas pembelian atau kas
konversi, termasuk kas lain untuk membuat persediaan ada di lokasi perusahaan
dan dalam kondisi seperti pada saat pelaporan persediaan. Dikatakan bahwa
kas atas pembelian persediaan mencakup harga beli, biaya angkut, asuransi, dan
biaya penanganan persediaan (handling costs). Potongan tunai, rabat, dan
jenis-jenis potongan pembelian lain jika ada harus dikurangkan ke kos
persediaan. Dapat disimpulkan bahwa sampai dengan titik ini, tidak ada perbedaan
kententuan pengukuran kas persediaan antara IFRS dengan US GAAP, keduanya
membuat aturan yang boleh dikatakan sama persis, karena memang untuk kasus kas
perolehan persediaan tidak ada ruang untuk penerapan konsep principles-based,
sehingga mau tidak mau harus menggunakan konsep rules-based.
Joint Products dan By-Products
Dalam beberapa kasus proses produksi, perusahaan memproduksi
lebih dari satu jenis produk secara bersamaan. Jika masing-masing jenis produk
memiliki nilai yang cukup signifikan, produk tersebut dinamakan sebagai joint
products atau produk bersama, jika hanya salah satu produk yang memiliki
nilai signifikan, maka produk lain dinamakan sebagai by-produks atau
produk sampingan. Dalam IAS 2, pada saat kas dari masing-masing produk
dalam produk bersama sulit diidentifikasi, maka diperlukan alokasi kas produksi
secara rasional ke masing-masing jenis produk. Biasanya, alokasi dilakukan
berdasarkan pada nilai relatif dari masing-masing jenis produk, yaitu yang
diukur berdasarkan harga jual masing-masing jenis produk. By-products didefinisikan
sebagai produk yang memiliki nilai relatif tidak signifikan dibanding nilai
dari produk utama perusahaan. IAS 2 menganjurkan bahwa by-products dinilai
berdasarkan nilai bersih yang dapat direalisasi (net realizable value), selanjutnya
kas yang dialokasikan ke by-products dikurangkan terhadap keseluruhan kas
produksi. Dalam kasus pengukuran kas untuk joint products dan by-products,
IFRS mendiskripsikan dengan sangat jelas tentang bagaimana standard
akuntansinya, dan dalam hal ini standard akuntansi yang ditawarkan oleh IFRS
juga tidak berbeda dengan standard akuntansi versi US GAAP, sehingga dalam
kasus inipun tidak bisa dikatakan bahwa IFRS menggunakan konsep principles-based
dan US GAAP menggunakan konsep rules-based, tetapi akan lebih tepat
dikatakan bahwa baik IFRS maupun US GAAP sama-sama menggunakan konsep rules-based.
Direct Costing
Metode yang telah diterima secara umum dalam mengalokasikan kas
overhead tetap ke dalam persediaan akhir dan kas penjualan dikenal dengan nama (full)
absorption costing. Dalam kasus ini IAS 2 mengharuskan penerapan metode
ini. Namung demikian untuk keperluan keputusan manajerial perusahaan bisa
menerapkan alternatif dari absorption costing, yaitu variable costing
atau direct costing. Dalam direct costing kas persediaan
hanya terdiri dari kas langsung saja, yaitu terdiri dari kas bahan baku, kas
tenaga kerja langsung, dan kas overhead variabel, selanjutnya seluruh kas tetap
diperlakukan sebagai kas periode (period costs). Alasan utama
penggunakan direct costing adalah agar kontribusi marjinal (marginal
contribution) untuk masing-masing jenis produk bisa kelihatan jelas efek
linieritasnya, sehingga memudahkan proses perencanaan dan pengendalian
bisnis. Namun demikian, penggunakan direct costing mengakibatkan kas
persediaan tidak mencakup seluruh kas yang diperlukan untuk memproduksi
persediaan, sehingga direct costing dipandang sebagai metode yang tidak
sesuai dengan IAS 2, sehingga jika perusahaan secara interen menggunakan direct
costing maka untuk keperluan pelaporan keuangan harus membuat penyesuaian
untuk membuat kas persediaan sesuai dengan IFRS yang menganjurkan penggunakan absorption
costing. Dapat disimpulkan bahwa dalam kasus direct costing, IFRS
tidak menggunakan konsep principles-based melainkan sama persis dengan
US GAAP yang menggunakan konsep rules-based.
Pengukuran Kas Persediaan Dengan
Metode Identifikasi Khusus
Basis teoritis penilaian persediaan dan kas penjualan adalah
berdasarkan kas produksi atau kas peroleh yang melekat pada barang yang masih
ada dalam persediaan atau barang yang sudah terjual, dan jika teori ini
benar-benar diterapkan maka dikatakan bahwa penilaian persediaan menggunakan
metode identifikasi khusus. Namun demikian, secara umum praktik penilaian
persediaan semacam ini dipandang tidak praktis, bahkan tidak bisa dioprasionalkan
dalam tataran praktik, karena biasanya setiap produk akan kehilangan identitas
spesifiknya pada saat produk tersebut telah melewati proses produksi dan proses
penjualan, kecuali untuk persediaan-persediaan yang memiliki nilai sangat
tinggi dan perputarannya sangat rendah. IAS 2 menetapkan bahwa metode
identifikasi khusus harus diterapkan atas persediaan yang tidak saling
menggantikan (interchangeable) serta atas barang yang dibuat dan
dipisahkan untuk memenuhi projek tertentu. Untuk persediaan yang memenuhi
kreteria semacam ini penggunaan metode identifikasi khusus menjadi keharusan (mandatory)
dan alternatif metode penilaian persediaan yang lain tidak diperkenankan
untuk diterapkan. US GAAP tidak mengharuskan penerapan metode penilaian
persediaan tertentu, tetapi hanya menyodorkan alternatif metode penilaian, yang
menjadi keharusan hanyalah konsistensi dalam menggunakan metode akuntansi yang
dipilih untuk diterapkan. Melihat fakta semacam ini, dapat dikatakan bahwa
untuk kasus semacam ini US GAAP lebih princile-based dibanding IFRS.
Firs-In, First-Out (FIFO) dan Weighted-Average Cost
Metode penilaian persediaan lain yang diperkenankan
oleh IFRS adalah metode FIFO dan metode rata-rata tertimbang (weighted-average
method). Dalam metode FIFO diasumsikan bahwa barang yang pertama dibeli
akan menjadi barang yang pertama digunakan atau barang yang pertama dijual,
tanpa memperhatikan aliran fisik persediaan yang sesungguhnya. Metode ini
dipandang paralel atau paling tidak lebih dekat dengan aliran fisik persediaan
pada perusahaan-perusahaan yang memiliki persediaan dengan tingkat perputaran
persediaan sedang hingga tinggi. Kekuatan metode ini adalah pada pelaporan
persediaan dalam laporan posisi keuangan (neraca), karena persediaan yang
pertama dibeli diasumsikan sebagai persediaan yang pertama dijual, maka saldo
persediaan akan terdiri dari persediaan yang terakhir dibeli, sehingga
pelaporan persediaan menjadi semakin dekat dengan tujuan pelaporan aset sebesar
nilai wajarnya. Dalam metode rata-rata tertimbang, kas persediaan akhir
ditentukan sebesar rata-rata kas persediaan selama satu periode. Meskipun dalam
metode rata-rata kas persediaan bisa terdistorsi oleh perubahan tingkat harga
persediaan, tetapi metode persediaan ini dalam kasus-kasus tertentu cukup
praktis untuk diterapkan. Untuk kasus metode FIFO dan metode rata-rata
tertimbang tidak ada perbedaan antara IFRS dengan US GAAP, keduanya membuat
aturan dan ketentuan yang sama.
Metode Harga Eceran (Retail
Method)
IAS 2 menjelaskan bahwa metode harga eceran mungkin
diterapkan pada kelompok industri tertentu. Metode harga eceran konvensional
digunakan oleh perusahaan-perusahaan yang menjual barangnya secara eceran untuk
mengestimasi kas persediaan akhir. Metode harga eceran dapat diterapkan pada
metode pengukuran kas FIFO, rata-rata tertimbang, atau pada metode the lower of
cost or net realizable value (LCNRV). Kunci utama metode harga eceran adalah
pada penentuan rasio kas atas harga eceran (cost-to-retail ratio). Perhitungan
rasio bisa bervariasi sesuai dengan asumsi arus kas yang digunakan, yaitu FIFO
atau rata-rata tertimbang. Metode perhitungan rasio kas atas harga eceran dapat
diterapkan dengan berbagai kemungkinan sebagai berikut:
1.
FIFO cost
2.
FIFO ? menggunakan LCNRV
3.
Average cost
4.
Average cost ? menggunakan LCNRV
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hal
persediaan dinilai dengan metode harga eceran (retail method), tidak ada
perbedaan teknis perhitungan antara IFRS dengan US GAAP, keduanya mengatur teknis
perhitungan kas persediaan dengan cara yang sama, sehingga untuk kasus ini
dapat dikatakan IFRS dan US GAAP menggunakan konsep rules-based atau
bisa juga dikatakan menggunakan konsep principles-based dari sisi
keleluasaan pemilihan alternatif metode.
Gross
Profit Method
Metode lain yang juga dikenal dalam IFRS adalah metode laba
bruto (gross profit method), metode ini secara konsep tidak berbeda
dengan metode harga eceran, fungsinya adalah untuk menentukan nilai persediaan
akhir berdasarkan rasio kas atas harga jual, terutama pada saat perusahaan
dalam posisi tidak memungkinkan untuk melakukan perhitungan fisik persediaan,
atau pada saat perhitungan fisik persediaan dipandang tidak layak untuk
diterapkan. Metode ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kewajaran (reasonableness)
jumlah dan nilai persediaan akhir. Dalam hal teknis penerapan metode ini,
dapat disimpulkan pula bahwa tidak ada perbedaan antara IFRS dengan US GAAP.
Fair
Value as an Inventory Costing Method
Secara umum persediaan dilaporkan sebesar kas-nya, namun
demikian sebagaimana telah dideskripsikan dalam berbagai metode penilaian
persediaan di atas, kas persediaan kemungkinan harus dipastikan kelayakannya
dengan menggunakan berbagai metode penilaian sebagaimana dideskripsikan
dalam IAS 2, dan pada saat jumlah nilai persediaan (recoverable amounts) tidak
sama dengan kas persediaan (dalam hal ini lebih rendah dari kas), maka perlu
dilakukan penghapusan atas kas persediaan untuk merefleksikan adanya penurunan
nilai (impairment) persediaan.
Namun demikian untuk lingkungan industri tertentu
dimungkinkan untuk melaporkan persediaan sebesar fair value di atas kas
produksi atau kas perolehan persediaan. IAS 41 menyatakan bahwa untuk
produk-produk pertanian dapat dilaporkan berdasarkan fair value-nya,
selanjutnya IAS 41 juga mendeskripsikan bahwa seluruh aset biologis harus
dinilai berdasarkan fair value dikurangi taksiran biaya penjualan,
kecuali pada saat fair value tidak bisa diukur dengan memadai.
Produk-produk pertanian dinilai berdasarkan fair value pada saat penen
dikurangi dengan taksiran biaya penjualan. Ketentuan tentang penggunaan fair
value dalam penilaian persediaan, sampai sejauh ini juga dapat disimpulkan
tidak ada perbedaan signifikan antara IFRS dengan US GAAP.
Ø IFRS: Property, Plant, and Equipment
Aset tetap atau PPE (Property,
Plant, and Equipment) adalah aset berwujud (tangible assets) yang
digunakan dalam kegiatan operasional perusahaan, yang memiliki manfaat lebih
dari satu periode akuntansi. Istilah aset tetap digunakan untuk membedakan
dengan aset tidak berwujud, yang juga memiliki masa manfaat lebih dari satu
periode akuntansi tetapi tidak memiliki wujud fisik, serta nilainya tidak
sepenuhnya dipengaruhi oleh eksistensi fisik dari aset.
Pengukuran Kas Investasi Awal
Seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk membuat aset tetap dalam kondisi siap dioperasikan harus
dicatat sebagai bagian dari kas aset. Elemen kas mencakup (1) harga beli, (termasuk
biaya legal dan fee perantara, pajak impor, pajak pertambahan nilai, dan
pajak-pajak lain yang bersifat final, dikurangi dengan diskon atau rabat), (2)
seluruh biaya langsung untuk membawa aset ke lokasi hingga siap dioperasikan
sesuai harapan manajemen, (termasuk biaya persiapan lokasi penempatan aset
tetap, biaya pemasangan, dan biaya uji coba), (3) taksiran biaya pembongkaran (dismantling
costs), pemindahan barang, dan penyiapan lokasi. Dari tiga macam elemen kas,
letak perbedaan US GAAP dan IFRS adalah pada perlakukan akuntansi atas dismantling
costs, US GAAP menggunakan prinsip kas historis, sehingga unsur biaya yang
sifatnya masih prediktif, apalagi peristiwanya akan terjadi setelah aset tetap
dihentikan pemanfaatannya, tidak diperlakukan sebagai unsur kas aset tetap.
Kas Aset yang Dibangun Sendiri
Konsep pengukuran kas atas
aset tetap yang dibangun sendiri adalah sama dengan aset tetap yang diperoleh
dengan membeli dalam bentuk jadi, yaitu bahwa seluruh kas yang diperlukan untuk
menyelesaikan pembangunan aset diperlakukan sebagai kas aset tetap,
permasalahan hanya akan terjadi pada saat kas aset ternyata melampaui recoverable
amount, kelebihan kas harus diperlakukan sebagai biaya pada periode
terjadinya kas. Jumlah abnormal dari sisa bahan, tenaga, dan sumberdaya yang
lain tidak boleh diperlakukan sebagai kas aset tetap.
Aset tetap yang dibangun
sendiri juga mencakup biaya pendanaan selama proses pembangunan berlangsung.
Ketentuan kapitalisasi biaya pendanaan diatur dalam IAS 23. Kontroveri muncul
untuk perlakuan akuntansi atas overhead kas tetap. Terdapat dua alternatif
perlakuan akuntansi atas overhead kas tetap:
- Dibebankan ke kas aset berdasarkan jumlah wajarnya atau dibebankan secara rata-rata, misalnya menggunakan basis yang sama dengan pembebanan untuk persediaan yang diproduksi sendiri, atau
- Dibebankan ke kas aset tetap hanya sebesar kenaikan fixed overhead cost yang dapat diidentifikasi.
Ketentuan dalam IAS 23
tersebut tidak berbeda dengan ketentuan yang berlaku dalam US GAAP.
Ketika IFRS belum mengatur masalah ini, praktisi akuntansi dianjurkan
untuk mempertimbangkan pedoman yang dikeluarkan oleh US GAAP.
Dalam
hal aset tetap diperoleh dengan cara dibangun sendiri, sampai dengan saat ini
belum ada perbedaan konsep dan standar antara US GAAP dan IFRS.
Kas atas Pertukaran Aset Tetap
Aset tetap kemungkinan
diperoleh melalui pertukaran antar aset tetap. US GAAP mengatur bahwa
pertukaran harus dibedakan sebagai berikut:
- Pertukaran tersebut antar aset sejenis atau tidak sejenis, kriteria sejenis atau tidak sejenis adalah pada fungsi dari aset tetap, jika fungsinya sama maka akan disimpulkan sebagai aset tetap sejenis.
- Jika pertukaran dilakukan antara aset tetap sejenis, maka tidak boleh diakui adanya laba pertukaran aset tetap, kecuali dalam pertukaran tersebut diterima sejumlah kas, maka laba diakui proporsional dengan kas yang diterima.
IFRS menetapkan standar yang
kurang lebih sejalan dengan yang diatur dalam US GAAP, perbedaanya adalah pada
ketentuan sejenis dan tidak sejenis. IFRS menggunakan istilah substansi ekonomi,
dalam arti bahwa pertukaran tersebut mengandung substansi ekonomi atau tidak.
Ukuran substansi ekonomi adalah pada pengaruhnya terhadap arus kas di waktu
yang akan datang, jika arus kas di waktu yang akan datang diprediksi tidak
terpengaruh oleh pertukaran, maka pertukaran akan dianggap sebagai tidak memiliki
substansi ekonomi, atau dianggap sebagai pertukaran aset tetap sejenis,
meskipun pada dasarnya aset tetap tersebut memiliki fungsi dan kegunaan yang
berbeda.
Kas Setelah Kepemilikan
Kas yang terjadi setelah
kepemilikan aset tetap, seperti perbaikan, pemeliharaan, atau perbaikan (betterment).
Perlakukan akuntansi atas kas setelah pemilikan ditentukan oleh
karakteristik dari kas tersebut. Kas setelah pemilikan dapat dikapitalisasi
sepanjang kas tersebut diprediksi akan memberikan manfaat ekonomi di waktu yang
akan datang melampau prediksi manfaat ekonomi semula, misalnya umur ekonomisnya
bertambah, kapasitas produksinya bertambah, atau kualitas outputnya meningkat.
Sebagaimana halnya dalam kas
aset yang dibuat sendiri, jika kas penggantian melampaui batasan kas yang telah
ditetapkan, maka kelebihan kas harus dibebankan sebagai biaya pada periode yang
berjalan, dan pada saat perbaikan aset menyangkut penggantian sebagian dari
aset, bagian aset yang diganti harus diperlakukan sebagai penghentian aset.
Untuk komponen aset tetap yang
harus diganti secara periodik, karena usia ekonomisnya lebih cepat dibanding
aset tetap utamannya, maka komponen tersebut harus didepresiasi tersendiri
sesuai dengan umur ekonomis bagian dari aset tetap tersebut, sehingga ketika komponen
tersebut diganti atau direnovasi total, komponen tersebut diharapkan sudah
habis didepresiasi secara penuh. Jika ternyata masih tersisa kas komponen aset
tetap yang belum didepresiasi penuh dan komponen aset tetap yang baru telah
dibukukan sebagai komponen aset tetap, maka sisa kas aset tetap tersebut harus
dihapus dari rekening komponen aset tetap.
Prinsip umum yang dapat
digunakah adalah jika pengeluaran kas setelah pemilikan hanya ditujukan untuk
membuat aset tetap dapat berfungsi sesuai dengan prediksi kapasitas produksi
pada saat aset tetap diperoleh, atau untuk mengembalikan kapasitas aset tetap
ke kapasitas semula, pengeluaran kas setelah pemilikan tersebut tidak boleh
dikapitalisasi.
Pengecualian dapat diberikan
pada saat aset tetap diperoleh dalam kondisi memerlukan pengeluran tertentu
untuk membuat aset tetap tersebut dalam kondisi dapat dioperasikan sebagaimana
yang diharapkan. Dalam kondisi semacam ini, kas kas yang dalam kondisi normal
masuk dalam kategori biaya pemeliharan dan tidak dikapitalisasi, dapat
diperlakukan sebagai kas yang dikapitalisasi. Setelah restorasi aset tetap
selesai, selanjutnya pengeluaran biaya pemeliharaan harus diperlakukan sebagai
biaya periode.
Secara umum standar akuntansi
untuk pengeluaran setelah pemilikan, tidak ada perbedaan antara standard versi
US GAAP dengan versi IFRS. Ketentuan tentang kapitaliasi pengeluaran, yang
dalam US GAAP diklasifikasi ke dalam capital expenditures dan revenue
expenditures, dalam IFRS juga berlaku ketentuan yang sama.
Tidak ada perbedaan antara US
GAAP dan IFRS tentang peran penting prinsip penandingan (matching
principle). Sesuai dengan konvensi dasar tentang prinsip penandingan, kas
aset tetap harus dialokasikan ke masing-masing periode yang menikmati jasa aset
tetap melalui depresiasi. Pemilihan metode depresiasi harus disesuaikan
dengan karakteristik aset tetap yang didepresiasi, dengan tujuan agar
menghasilkan alokasi kas aset tetap secara sistematis dan rasional selama umur
ekonomis aset tetap.
Penentuan umur ekonomis aset
tetap harus mempertimbangkan sejumlah faktor, misalnya faktor perubahan
teknologi, keusangan normal, penggunaan secara fisik, serta kemampuan untuk
menggunakan aset tetap, baik secara legal maupun berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan keterbatasan yang lainnya. IAS 16 menyatakan
bahwa, meskipun secara normal tanah memiliki umur ekonomis tak terbatas
sehingga kas tanah tidak didepresiasi, tetapi pada saat di dalam kas tanah
dimasukkan unsur kas penataan kembali atau kas restorasi tanah pada akhir masa
penggunaannya, maka kas penataan kembali atau kas restorasi tanah harus
didepresiasi sesuai dengan umur ekonomisnya. Dalam bidang industri tertentu,
tanah kemungkinan memiliki umur ekonomis yang terbatas, misalnya terjadinya
penurunan kesuburan tanah atau karena spesifik yang lainnya, dalam kasus
semacam ini kas tanah harus didepresiasi sesuai dengan umur ekonomisnya.
IAS 16, revisi 2003,
menganjurkan penggunaan pendekatan komponen dalam depresiasi aset tetap. Dalam
pendekatan ini masing-masing komponen aset tetap yang memiliki umur ekonomis
berbeda atau memiliki pola pemanfaatan berbeda, didepresiasi secara terpisah
dengan metode yang bebeda. Pendekatan ini ditujukan untuk keperluan ketepatan
perlakuan akuntansi atas pengeluaran-pengeluaran di waktu yang akan datang yang
berkaitan dengan komponen aset tetap yang bersangkutan. Selanjutnya IAS 16
menyatakan bahwa metode depresiasi harus merefleksikan pola harapan manfaat
ekonomis aset tetap di waktu yang akan datang, sehingga ketepatan metode
depresiasi harus dikaji ulang paling tidak satu tahun sekali untuk disesuaikan
dengan kemungkinan perubahan pola manfaat ekonomis aset tetap.
Berdasarkan paparan di atas,
dapat disimpulkan bahwa IFRS mengatur secara lebih rinci tentang ketentuan
depresiasi aset tetap, terlebih lagi jika ketentuan depresiasi ini dihubungkan
dengan depresiasi untuk dismantling dan decommissioning costs. Dalam
hal terdapat situasi khusus seperti dalam kasus depresiasi tanah tersebut di
atas, pada dasarnya di bawah US GAAP praktik semacam itu tetap dimungkinkan
melalui wadah yang disebut dengan praktik industri, artinya praktik-praktik
akuntansi tertentu tetap dimungkinkan untuk diterapkan sepanjang praktik
tersebut telah berterima umum dalam bidang industri yang bersangkutan, serta
sesuai dengan rerangka konseptual akuntansi keuangan.
Nilai Residu
IAS 16 menyatakan bahwa nilai
residu sering tidak material dan dalam praktik sering diabaikan, namun demikian
untuk aset tertentu sangat dimungkinkan bahwa nilai residu cukup material,
terutama pada saat perusahaan menghentikan aset lebih awal dari umur
ekonomisnya, misalnya nilai residu aset tetap untuk bisnis perhotelan, yang
karena tuntutan kualias pelayanan, aset tetap cenderung dipelihara dengan
standar tinggi, bahkan untuk aset tetap tertentu bisa jadi nilai residunya
lebih tinggi dari kas perolehannya.
Dalam perspektif kas historis, nilai residu didefinisikan sebagai nilai
yang diharapkan dari aset tetap pada akhir masa kegunaan aset tetap, berdasar
nilai mata uang sekarang. Namun demikian nilai residu harus diukur berdasarkan
nilai bersih di luar biaya penghentian aset tetap. Dalam kasus tertentu,
dimungkinkan aset tetap memiliki nilai residu negatif, sebagai contoh adalah
nilai residu aset tetap pada saat suatu entitas harus mengeluarkan biaya untuk
penghentian aset tetap dalam jumlah yang cukup besar, atau pada saat
suatu perusahaan harus mengembalikan property seperti keadaan sebelum suatu
aset ditempatkan, misalnya untuk kasus tanah pertambangan yang menjadi objek
undang-undang perlindungan lingkungan. Dalam kasus semacam ini total beban
depresiasi kemungkinan akan melampaui kas perolehan aset tetap, sehingga
pada akhir umur ekonomis aset tetap, taksiran utang atas penghentian aset akan
sama dengan jumlah nilai residu negatif. Sehubungan dengan potensi kasus
semacam ini, nilai residu akan menjadi objek pengkajian ulang paling tidak satu
tahun sekali.
Jika pengukuran aset tetap
menggunakan metode revaluasi, nilai residu harus diukur ulang pada setiap
tanggal revaluasi aset tetap. Pengukuran nilai residu dilakukan dengan
menggunakan data nilai realisasi aset sejenis, dan umur ekonomis aset tetap
pada saat dilakukan revaluasi. Namun demikian dalam pengukuran nilai residu
tidak perlu dilakukan pengukuran potensi inflasi serta tidak perlu dilakukan
pengukuran nilai sekarang untuk mengakui adanya perubahan nilai waktu uang.
Sesuai dengan prinsip kas historis dalam akuntansi aset tetap, jika diprediksi
terjadi nilai residu negatif, nilai residu negatif dibebankan selama umur
ekonomis aset tetap, dengan cara seperti ini pada akhir umur ekonomis jumlah
biaya penghentian aset tetap telah habis dibebankan dan disebar ke seluruh
periode akuntansi selama umur ekonomis aset tetap.
Umur Ekonomis Aset Tetap
Umur ekonomis aset tetap
dipengaruhi oleh berbagai hal seperti kebijakan perbaikan dan pemeliharaan
aset, perubahan teknologi, dan permintaan pasar atas barang yang diproduksi
dengan menggunakan aset tetap yang bersangkutan. Jika ketika melakukan review
metode depresiasi ternyata dapat diidentifikasi berbagai hal yang mempengaruhi
penggunaan aset tetap, sehingga taksiran umur ekonomis menjadi di atas atau di
bawah taksiran sebelumnya, maka perubahan taksiran umur ekonomis diperlakukan
sebagai perubahan estimasi akuntansi, bukan sebagai koreksi atas kesalahan
akuntansi. Dengan demikian, tidak perlu dilakukan pelaporan ulang atas
biaya depresiasi yang dibebankan pada periode sebelumnya, perubahan
diperhitungkan secara prospektif, yaitu direfleksikan pada periode terjadinya
perubahan dan periode-periode sesudahnya.
Contoh perlakuan akuntansi
atas perubahan estimasi umur ekonomis aset tetap, misalnya suatu aset tetap
dengan kas Rp100.000.000,00, prakiraan awal umur ekonomis 10 tahun, tanpa
antisipasi nilai residu. Depresiasi menggunakan metode garis lurus, sehingga
depresiasi per tahun adalah Rp100.000.000/10 tahun = Rp 10.000.000. Setelah dua
tahun berjalan, manajemen merevisi umur ekonomis aset tetap tersebut menjadi 6
tahun. Dalam kasus ini maka depresiasi tahun ke 3 sampai dengan tahun ke enam
adalah berdasarkan sisa nilai buku aset tetap, tanpa harus merevisi depresiasi
yang telah dibebankan selama dua tahun sebelumnya, sehingga dipresiasi per
tahun setelah tahun ke dua adalah: ? x Rp80.000.000 = Rp20.000.000,00.
Revaluasi Aset Tetap
IAS 16 menyediakan dua
pendekatan akuntansi untuk revaluasi aset tetap berwujud. Pertama adalah
akuntansi berdasar kas historis, di mana kas perolehan atau kas konstruksi
digunakan sebagai dasar pengakuan perolehan aset tetap, menjadi dasar
perhitungan depresiasi selama umur ekonomis aset tetap, dan juga sebagai dasar
penghapusan aset tetap dalam hal terjadi penurunan nilai aset tetap yang
bersifat permanen. Dalam sejumlah Negara metode ini menjadi satu-satunya metode
yang diperkenankan, tetapi dalam beberapa negara tertentu, terutama di
negara-negara yang tingkat inflasinya tinggi, mengijinkan baik revaluasi penuh
maupun revaluasi secara terbatas (selected revaluation), dan IAS 16
membolehkan praktik semacam ini dengan memberi mandat yang dinyatakan dalam
suatu model yang disebut ?model revaluasi (revaluation model)?. Dalam
model revaluasi, setelah pengakuan aset, selanjutnya elemen-elemen aset tetap
yang nilai wajarnya dapat diukur dengan terpercaya (reliable) harus
disajikan sebesar nilai revaluasinya, yaitu sebesar nilai wajar aset tetap pada
tanggal revaluasi dikurangi dengan akumulasi depresiasi sesudah revaluasi dan
akumulasi rugi penurunan nilai setelah revaluasi.
Dasar pemikiran pengakuan
revaluasi adalah berhubungan dengan laporan posisi keuangan (neraca) dan
pengukuran kinerja periodik entitas yang disajikan dalam laporan rugi laba
komprehensif. Sehubungan dengan pengaruh inflasi, yang jika diukur secara
tahunan tidak material, tetapi jika diukur selama umur ekonomis aset tetap
jumlahnya bisa menjadi material, maka laporan pisisi keuangan dapat menjadi
kumpulan beragam kas yang tidak bermakna jika prinsip kas historis tetap
dipertahankan dan revaluasi aset tetap tidak diperkenankan untuk diterapkan.
Lebih jauh lagi, jika
pembebanan depresiasi ke dalam laporan rugi laba didasarkan pada kas historis,
maka konsekuensinya laba akan menjadi lebih saji (overstated). Dalam
situasi semacam ini, entitas yang secara nominal tampak menguntungkan, karena
kinerjanya diukur dengan kas historis, bisa jadi akan menghadapi persoalan
likuiditas dan tidak mampu melanjutkan usahanya, atau paling tidak akan berada
dalam posisi kinerja organisasi yang lebih rendah dari yang dipersepsikan
pembaca laporan keuangan, tanpa adanya dukungan utang baru atau investasi baru.
IAS 29, Financial Reporting in Hyperinflationary Economies, mengatur
masalah penyesuaian depresiasi pada kondisi hiper inflasi. Disadari bahwa
penggunaan metode revaluasi akan menjadi tidak tepat dalam situasi ekonomi yang
dari waktu ke waktu tidak menghadapi inflasi yang yang berarti.
Dalam model revaluasi,
frekuensi revaluasi tergantung pada perubahan nilai wajar dari elemen yang akan
direvaluasi, dan konsekuensinya kekita nilai wajar aset yang direvaluasi
berbeda cukup material dengan nilai tersajinya (carrying amount), maka
diperlukan revaluasi ulang. Telah pula disadari bahwa model revaluasi memakan
biaya yang lebih besar dibanding model kas historis, oleh sebab itu hasil
survey di Inggris tahun 2005 yang dilakukan oleh the Institute of Chartered
Accountants menyimpulkan bahwa hanya 4% dari EU Companies yang
menggunakan model revaluasi untuk bangungan, tetapi tidak menggunakan model
revaluasi untuk aset tetap yang lain, dan hanya 28% dari EU Companies dengan
investasi pada property yang menggunakan metode nilai wajar (revaluasi) untuk
aset yang dimilikinya.
Berdasarkan uraian di atas,
secara konseptual model revaluasi memang lebih ideal dibanding model kas
historis, namun demikian dalam praktik model revaluasi lebih sulit untuk
diterapakan serta lebih memakan biaya. Pertanyaan lain yang bisa muncul
adalah tentang kenaikan manfaat informasi kuangan dengan model revalusi
dibandingkan dengan biaya untuk mengimplementasikan model revaluasi. Jika
manfaatnya jauh melampaui biayanya, maka model revaluasi akan menjadi relevan
untuk diterapkan. US GAAP tidak mengatur masalah revaluasi karena berbagai
pertimbangan tentang konsekuensi dari penerapan model revaluasi.
Nilai Wajar
Sebagai basis dari metode
revaluasi, standar mendeskripsikan nilai wajar yang digunakan dalam setiap
kasus revaluasi, yaitu yang didefinisikan sebagai nilai aset yang dapat
digunakan sebagai basis nilai pertukaran antara dua fihak yang sama-sama
memahami aset dan berkenan untuk melakukan pertukaran.
Nilai wajar memang diakui sebagai nilai yang paling tepat untuk
diterapkan, terlepas dari sulitnya melakukan pengukuran atas nilai wajar aset
tetap. Pada saat ini istilah nilai wajar (fair value) diterapkan dalam
IFRS tanpa petunjuk detail tentang bagaimana menerapkannya. Pada bulan Mey
2009, IASB mempublikasikan Exposure Draft (ED) tentang fair value
measurements, yang mengacu pada US GAAP, tepatnya mengacu pada FAS 157,
yang digunakan oleh IASB sebagai titik awal perumusan nilai wajar (as the
starting point for its deliberations) tentang pedoman pengukuran nilai
wajar. Berdasarkan ED 2009, IASB mendeskripsikan bahwa pengukuran nilai wajar
dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) peringkat sebagai berikut, peringkat I
adalah didasarkan pada harga standar (quoted prices) pada pasar aktif
untuk aset atau utang yang dinilai, peringkat II adalah didasarkan pada hasil
obervasi langsung atau tidak langsung atas harga di pasar aktif untuk aset dan
utang yang sejenis, dan peringkat III adalah berdasarkan data yang tidak
diobservasi, tetapi mampu merefkelsikan asumsi bahwa para partisipan pasar akan
menggunakannya sebagai dasar pengukuran harga dan utang, termasuk asumsi
tentang risiko.
Ø Klasifikasi Liabilitas Jangka Pendek Sesuai IFRS
Suatu liabilitas (kewajiban), menurut IAS 1,
masuk klasifikasi “Jangka Pendek” (atau Lancar) apabila :
- Diharapkan bisa diselesaikan (dibayar/dilunasi) dalam kurun waktu operasional normal perusahaan;
- Jatuh tempo dalam jangka waktu tidak lebih dari 12 bulan dari tanggal laporan posisi keuangan (tanggal neraca);
- Dimiliki untuk maksud diperdagangkan;
- Entitas tidak memiliki hak tanpa syarat untuk menunda penyelesaian laibilitas selama sekurang-kurangnya 12 bulan setelah periode pelaporan.
Jika tak satupun diantara
keempat kriteria di atas terpenuhi, maka suatu liabilitas diklasifikasikan
sebagai “liabilitas jangka panjang”.
Masuk dalam klasifikasi liabilitas jangka pendek, antara lain:1. Kewajiban yang timbul dari pembelian barang atau jasa yang digunakan dalam operasional normal perusahaan, diantaranya:
- Utang Dagang
- Utang Tertulis Jangka Pendek
- Utang Upah dan Gaji Pegawai
- Utang Pajak
- Utang Lain-lain
- Pendapatan Diterima Dimuka
- Deposit Dari Pelanggan
- Sewa Diterima Dimuka
Lebih jauh lagi, laibilitas
lainnya yang masuk klasifikasi jangka pendek adalah liabilitas tidak
diselesaikan dalam siklus operasi normal tetapi jatuh tempo untuk diselesaikan
dalam waktu dua belas bulan setelah periode pelaporan atau dimiliki untuk
tujuan diperdagangkan. Misalnya:
- Liabilitas keuangan yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk diperdagangkan;
- Cerukan bank;
- Bagian jangka pendek dari laibilitas keuangan jangka panjang;
- Dividen terutang;
- Pajak penghasilan terutang; dan
- Terutang nonusaha lainnya
Khusus “Liabilitas
Keuangan”. IAS 1 mengijinkan perusahaan mengakui suatu liabilitas
keuangan jangka pendek apabila liabilitas tersebut akan jatuh tempo dalam jangka
waktu dua belas bulan setelah periode pelaporan, meskipun:
- kesepakatan awal perjanjian pinjaman untuk jangka waktu lebih dari dua belas bulan; dan
- perjanjian untuk pembiayaan kembali atau penjadwalan kembali pembayaran, atas dasar jangka panjang telah diselesaikan setelah periode pelaporan dan sebelum tanggal penyelesaian laporan keuangan.
Ø Klasifikasi Liabilitas Jangka Panjang Sesuai IFRS
Kewajiban-kewajiban yang akan terselesaikan melebihi siklus operasional normal perusahaan masuk klasifikasi “Liabilitas Jangka Panjang”, antara lain:- Kewajiban yang timbul sebagai bagian dari strukturisasi modal perusahaan berjangka panjang, misalnya: pinjaman bank jangka panjang, promes, kewajiban sewa jangka panjang.
- Kewajiban yang timbul tidak dari opersional normal perusahaan, misalnya: kewajiban premi pensiun, liabiltas pajak tangguhan yang penyelesaiannya belum diketahui secara pasti.
Masterpiece
FE.AK Universitas Pancasila
1212215086
No comments:
Post a Comment