Prev :
#1. Mr. Mata itu - Penjara Suci https://senjadimusimsemi.blogspot.com/2020/08/penjara-suci.html
#2. Mr. Misterius - Penjara Suci https://senjadimusimsemi.blogspot.com/2020/11/2-mr-misterius.html
#3. Persahabatan - Penjara Suci https://senjadimusimsemi.blogspot.com/2020/11/3-persahabatan-penjara-suci.html
Kini segalanya
memang telah berubah. Terutama setelah kedekatan ku dengan pria yang menjabat
sebagai ketua bagian bahasa itu menjadi buah bibir. Aku yakin semua perubahan
ini bukan tentang diri ku. Tapi tentang pria itu. Dunia ku memang semakin
bewarna setelah pria itu hadir dalam hidup ku. Banyak di antara mereka yang
mendadak dekat. Tapi tak sedikit pula yang sinis. Terlebih dia, Lilis dan
teman-teman dekatnya. Lilis yang semula dekat kini berbalik sinis pada ku.
Apa
istimewanya laki-laki itu? aku masih belum mengerti. Pernah suatu ketika, aku
memutuskan untuk menjauhinya. Aku memilih mereka ketimbang pria itu. Aku tak
pernah terpikir harus meninggalkan teman demi seorang laki-laki. Laki-laki yang
sangat bangga akan donor tulang rusuk mereka untuk para perempuan.
Aku
menghindari segala sesuatu yang mengharuskan ku bertemu dengan pria itu. Aku
tak berbicara atau bahkan sekedar melirik ke arahnya saat ia berpapasan dengan
ku. Aku hanya ingin semuanya kembali normal.
Dan ku tunjukan pada mereka, tak ada yang istimewa antara aku dan pria
itu. Aku hanyalah diriku. Meski dunia ku mulai kelabu.
Hingga
suatu malam, usai belajar. Ku putuskan untuk melihat nilai ujian matematika di
mading. Aku begitu antusias, dan tak peduli dengan sejumlah orang yang tengah
antri di belakang ku.
“Kia........”
Suara itu?
aku terdiam. Tak ingin memalingkan wajah ku. Suara itu bagai sebuah mantra yang
memaksa aliran darah ku terhenti seketika.
“Kia, lo
kenapa? lagi ada masalah?” kembali ku dengar suara itu. Tepat di belakang ku.
Aku masih tak bergeming, berpura-pura tak menghiraukan kehadirannya. Meski
jantung ku berdetak tak menentu.
“Kia...maaf”
ucap suara itu lagi. Suaranya terdengar begitu lembut. Aku tak kuasa, mengapa
aku bisa berlaku seperti ini pada orang yang justru membawa pelangi ke dalam
hidup ku? Hingga akhirnya ku palingkan wajah ku. Masih tak menatapnya, aku
hanya melihat sarung tenun yang dikenakannya.
“Lo kenapa?
Apa Gue punya salah sampe lo kaya gitu?”
“Gak
apa-apa” ucap ku datar, menahan air mata yang kini sudah siap untuk terjatuh.
“Terus
kenapa lo jauhin gue?”
“...............”
“Ki?”
“Gak
apa-apa Esa !!!” ucap ku setengah berteriak dan pergi meninggalkannya. Tapi
langkahku tertahan, ku angkat kepala ku. Dia meraih lengan ku, dan kini aku
menatapnya.
“Ehhh...Ehhh
jangan pacaran di sini,” ucap Jey seolah menyadarkan waktu yang baru saja
terhenti.
“Lepasin”
ucap ku. Dan air mata pun tak dapat terbendung lagi.
*****
Keesokan
harinya ibu datang menjenguk ku. Haru biru memenuhi ruang hati ku. Berbagai
macam siasat mulai bermunculan dalam benak ku. Saat ibu ku tengah beristirahat.
Ku raih ponselnya dan segera ku kirim pesan singkat pada pria bernama David
itu.
“Dav” hanya
satu kalimat itu yang ku kirimkan. Dan tak lama menunggu, pesan balasan sudah
membuat ponsel ibu ku berdering.
“Kia?”
“Iya...”
“Kia gue kangen
banget sama lu”
“Makasih”
“Lu gak
kangen sama gue?”
“Enggak”
“....................”
“Gue takut
ada yang sakit hati kalau gue kangen sama lu” jawab ku mengingat beberapa
terror yang dilakukan mantanya pada ku. Wanita yang belum lama menjadi mantannya
itu memaksa ku untuk menjauhinya. Meski aku tahu, ia memutuskan hubungan mereka
demi aku. Aku tak merasa menang. Ruang dalam hati ku tetap kosong.
“Gue udah
putus Kia, inget?”
“Tapi dia
masih sayang sama lu, dan gue gak mau nyakiti dia”
“Kalau lu
kaya gini terus justru gue yang sakit”
“Tapi..”
“Gue serius
cinta sama lu”
“......”
aku terdiam. Tak membalas apapun, masih dikelilingi asap keabu-abuan.
“Lu arah
yang gue tuju, Please..kasih gue kesempatan”
“Yaudah
kita jalanin ajah dulu” jawab ku setelah sekian lama pertimbangan. Aku tak
ingin menyakiti dia yang juga sahabat ku. Tak pula menyakiti teman-teman ku dan
Esa yang begitu baik pada ku.
“Terima
kasih”
*****
Dalam
penjara suci ini ada satu hari yang dikeramatkan, yaitu hari Jum’at. Bukan karena
mitos yang katanya setan dan jin selalu party
di malam jum’at. Tapi karena hari jum’at adalah hari libur nasional bagi
penjara suci ini. Berbeda dengan sekolah lain di Indonesia yang berlibur di
hari minggu.
Bagi ku,
hari jum’at lebih dari sekedar hari kemerdekaan dan kebesaran para santri. Tapi
juga obat yang ampuh untuk menghilangkan rindu. Sejak aku menjalin hubungan
yang disebut dengan long distance
relationship. Aku punya kebiasaan unik yang sangat aneh. Aku selalu
menyempatkan diri ku untuk kabur ke warnet terdekat untuk bisa bertemu
dengannya dalam chatting di hari
jum’at. Meskipun hanya lewat layar komputer yang berisikan kata-kata tapi itu
semua sudah cukup untuk menghilangkan rasa rindu ku. Terlibat dalam
perbincangan dengannya adalah candu. Entah mengapa aku selalu menantikan
saat-saat itu.
Hubungan ku
dengan pria bernama David itu sama sekali tak berubah. Bila ia merayu, aku
malah geli mendengarnya. Aku tak pernah memanggilnya dengan kata yang mesra.
Yang berbeda adalah perlahan dan sangat ku sadari aku mulai merindukannya. Dia
menarik ku keluar dari keruhnya dunia. Lilis dan teman-temannya pun tak lagi
sinis pada ku meski aku tetap dekat dengan Esa. Bahkan aku kerap kali pamer
kemesraan ku dengan David yang sebenarnya tak pernah terjadi. Hanya untuk
meyakinkan, bahwa aku sudah mempunyai kekasih dan itu bukan Esa Rajawali.
Seperti
hari ini, saat semua santri wati tertidur pulas dan santriwan menunaikan sholat
jum’at. Aku kembali mengajak Dina untuk kabur ke warnet. Beruntung kali ini dia
kembali menjadi tugas jaga. Makanya dengan tenang ku langkahkan kaki ku
melewati pintu gerbang belakang penjara suci ini.
Tak
beruntung, kali ini tak ku temukan dia dalam kolom chat di facebook. Jadilah
aku sendiri dalam dunia maya ini. Dina masih asik dengan aktivitasnya tapi aku
sudah mulai bosan. Satu-satunya alasan ku ke tempat ini hanya untuk bertemu
dengannya.
“Udah Ki?”
tanya Dina begitu menyadari kehadiran ku di sampingnya.
“Iya, David
enggak ada di sana. Kayanya dia masih di sekolah” jawab ku.
“Udah
jangan murung begitu, yuk kita pulang”
“Pulang?”
“Iya,”
“Din gue
pulangnya lewat sini ajah ya, ada pirasat buruk nih” ucap ku begitu kami hendak
pulang.
“yaudah,
hati-hati ya” ucap Dina. Aku berpisah di persimpangan jalan, Dina melalui jalan
biasa yang ramai oleh kendaraan. Sementara aku melewati jalan sepi yang teduh.
Tak memakan banyak waktu aku sudah tiba di rumah Ustad Senior. Ustad Senior
adalah salah satu pengasuh penjara suci ini. Hanya sekali menyebrangi jalan aku
sudah tiba di penjara suci. Tapi seketika ku hentikan langkah ku. Ustad Pul sudah
menantiku di sebrang jalan. Matanya menyelidik, menatap dalam ke arah ku. Aku
gugup, tak mampu mengusai sendi-sendi ku yang tak henti bergetar. Demi apapun
aku harus tenang dan berpura-pura tak ada yang terjadi, meski kini aku tengah
di tertawakan sang waktu.
“Dari mana
kamu?” tanya Ustad Pul dengan bahasa arab yang sangat fasih, begitu aku tiba di
sisi lain jalan. Ia mendelik hingga kedua bola matanya nyaris keluar. Membuat
ku semakin bergidik.
“Dari rumah
Ustad Senior” jawab ku bohong. Aku masih menundukan wajah ku. Berharap ia tak
menemukan kebohongan yang ku sembunyikan di balik rangkaian kata.
“Sudah
ijin?” tanyanya lagi menatap ku bagai seekor elang yang tengah memburu
mangsanya. Sambil menggertakan pentungan yang kini tengah dibawanya.
“Belum
Ustad” jawab ku.
“Apa????”
ia semakin garang. Mengobrak-abrik nyali ku yang kian menciut.
“Jangan
diulangi lagi, cepet masuk !!!!” ucapnya. Masih tak berkedip mendelik pada ku.
Tanpa pikir panjang, aku segera berlari menjauh darinya.
“Selamat..selamat”
*****
Aku
terbangun dengan penuh keterkejutan pagi ini. Mendadak Lilis memberitahu ku
kalau aku termasuk ke dalam bagian dari para pengurus yang datang lebih awal
untuk acara pelantikan pengurus baru. Padahal aku tak ada persiapan sama
sekali. Aku pikir, aku akan datang terakhir mengingat tugas ku sebagai bagian
bahasa begitu banyak. Tapi kenyataan berkata lain. Dengan persiapan seadanya
aku segera bergegas.
Setelah
berkemas, aku segera turun dan menghampiri mereka yang tengah menunggu ku. Tak
lama setelah kedatangan ku perjalanan pun dimulai. Dalam perjalanan begitu
banyak canda dan keceriaan. Tak harus khawatir tidak menggunakan bahasa resmi,
tidak harus takut dikatakan dengan tanda kutip saat berbicara dengan ikhwan .
Ada beberapa asatidz dan asatidzah yang menyertai kepergian kami. Mereka pun
bersikap lebih lunak dari biasanya. Andai setiap saat seperti itu, mungkin
pondok pesantren ini tidak akan disebut dengan penjara suci.
Tanpa sadar
mobil yang mengantar kami telah terhenti di depan sebuah bangunan. Villa kecil
dengan kolam ikan besar di depannya. Udaranya begitu sejuk, awan-awan
berterbangan di atas langit yang membiru. Indah, aku tak kuasa mengedipkan mata
ku. pelantikan kali ini sangat berbeda dengan pelantikan ku dulu. Dulu aku
dilantik di tengah hutan dalam sebuah gunung. Tiap kali ingin mengambil air,
kami harus menuruni medan yang begitu curam. Tapi kali ini ada satu kamar mandi
yang disiapkan tak jauh dari villa kecil itu. Sayangnya villa itu hanya untuk
para astidz dan asatidzah jadi kami sebagai pengurus tetap harus bermalam di
dalam tenda. Perkemahan tak jauh dari villa, tepat beberapa meter dari
belakangnya. Meski tidak terjal, tapi jalan yang dipenuhi rumput liar yang
rimbun itu berbentuk turunan. Jadi tetap saja harus ekstra hati-hati.
Tak ada
banyak waktu untuk berleha-leha. Begitu tiba, kami segera bergegas mendirikan
tenda dan mempersiapkan keperluan lainnya. Mengangkat semua bahan makanan,
minuman dan obat-obatan. Tak hanya itu kami pun membawa beberapa peralatan
masak. Kemah itu bukan perkara yang mudah.
Ada empat
tenda yang sudah berdiri, tenda untuk santri putra dan putri serta untuk
pembimbing putra dan putri. Setelah persiapan selesai kami segera melakukan
agenda pertama yang yaitu upacara pembukaan dan pembacaan do’a. Dipimpin oleh pembina
pramuka.
Ini
bukanlah kali pertama aku mengikuti perkemah. Dulu aku sangat aktif dengan
kegiatan pramuka. Bahkan saat aku baru duduk di kelas empat sekolah dasar. Aku
sudah merasakan berkemah di bumi perkemahan Rawa Gatong yang terkenal sangat
angker, di perkemahan Rawa Semut dan bumi perkemahan Cibubur. Jadi aku sudah
tak asing dengan semua yang ada di sini. Mulai dari rasa lelah, kantuk dan
dingin yang tak pernah ingin ketinggalan. Tapi kali ini aku sama sekali tak
bergairah. Menurut ku, perkemahan ini begitu membosankan. Sangat berbeda dengan
kegiatan perkemahan ku dulu. Makanya aku tak terlalu banyak ikut campur, aku
hanya melakukan apa yang sudah menjadi tugas ku.
“Melamun
ajah” Eca mengejutkan ku. Membuat ku tersengat arus keterkejutan yang
dibuatnya. Ku lirik tajam ia yang kini berbaring di samping ku.
“Mikirin
siapa sih?” tanya nya lagi.
“Gak
mikirin apa-apa, capek. Dan gak tau kenapa gak semangat banget dari tadi” jelas
ku sambil memandang atap tenda yang bergelayut.
“Yaelah,
bentar lagi juga Esa dateng”
“Lah ko
Esa?”
“Iya Gue
tau lo gak semangat karena gak ada dia kan? Ayo ngaku..” ledek Eca. Pandangannya
menusuk, seolah mencari apapun yang membuktikan sebuah kebenaran dari bola mata
ku.
“Haduhh..lo
kecapean kayanya, jadi ngawur begitu”
“ Jujur
ajah sama gue, lo suka sama Esa kan?”
“Ih
Eccaaaaa...” aku mulai kesal. Walau sejak tadi aku memang memikir kan pria itu
tapi bukan berarti aku menyukainya. Aku memikirkannya karena ia ketua bagian
bahasa, dan aku khawatir program kerja hari ini tak dilaksanakan. Walau ia
orang yang sangat tekun, tapi menurut ku terkadang ia bisa sangat ceroboh.
“Gue bisa
liat mata Lo”
“Gini ya
Eca, emang belakangan ini Gue sering khawatir sama dia tapi itu bukan pertanda
kalau gue suka. Rasa khawatir itu kan wajar, sebagai teman yang baik” jelas ku
tak mau kalah. Lagi pula, dekat dengan pria itu saja sudah diserbu dengan
begitu banyak intimidasi dari orang-orang yang tak pernah ku duga. Bagaimana
bila aku benar-benar menyukainya?
“Oke, semua itu semakin bikin gue
yakin kalau lo emang ada sesuatu sama dia. Belum waktunya ajah buat diakuin”
ucapnya menyeringai.
“Ih
Eca...!!!”
“Khawatir
itu ciri yang paling jelas dari cinta” ledeknya.
“Terserah
ah” jawab ku kesal.
“Tapi awas
ya, jangan ngelanggar kaya yang lain. Kalau sampe pacaran berarti pertemanan
kita putus”
“Ahahahaaaaa...lebay.
Selama lo berbahasa juga Gue gak akan ngelanggar peraturan lo”
“Oke..”
“Deal” dan
kemudian gelak tawa kami pun tak dapat terbendung lagi. Aku dan Eca memang tak
dapat menikmati perkemahan ini. Makanya setiap ada kegiatan yang memungkinkan
untuk absen. Kami selalu mengambil kesempatan itu. Seperti sore ini, kami
merebahkan tubuh kami sambil menunggu jurit malam tiba.
*****
Begitu
magrib tiba, aku, Yul dan Eca pergi ke villa untuk sholat. Sementara Lilis dan
yang lainnya tetap berada di perkemahan mengawasi peserta pelantikan. Tak perlu
waktu lama untuk mencapai villa. Jalan yang menurun membuat kami berjalan
sambil setengah berlari.
Usai sholat
magrib aku tak segera kembali ke perkemahan. Biasan sinar rembulan dari
percikan air kolam memukau ku. Iramanya begitu indah, di antara biasan dari
cahaya itu terdapat warna seperti pelangi. Tiba-tiba seseorang dalam
bayang-bayang menyembul dari kejauhan. Aku tercekat, semakin ku fokuskan
pandangan ku pada bayangan itu. Semakin lama semakin mendekat hingga ku sadari
orang itu adalah Esa yang tengah berjalan. Tak lama setelah kedatangan Esa yang
mengenakan sweater hitam itu datang lah para pengurus lainnya. Ku hampiri
mereka, wajah-wajah penuh semangat itu menyambut ku.
“Berubah..”
bisik ku parau. Esa yang baru saja tiba itu sama sekali tak menyapa ku. Ia
justru menghampiri Khamed yang tak ku sadari kehadirannya di belakang ku. Entah
mengapa pandangan ku tak beralih darinya. Mulai dari gelak tawa mereka sampai
akhirnya Esa menyerahkan sweater hitam yang dipakainya pada Khamed. Ku sadari
bahwa hubungan mereka yang dulu renggang kini telah membaik. Tanpa sadar aku
tersenyum melihatnya. Walau sempat terasa getir di hati ku karena diabaikan.
“Eh Ki lo
gak pakai jaket?” lagi-lagi seseorang mengejutkan ku. Ku palingkan pandangan ku
pada sumber suara. Dan ku temukan Ran tengah berdiri di sana. Seorang laki-laki
bertubuh jangkung itu terlihat dengan seulas senyum melengkung di wajahnya.
“Apa Ran?”
tanya ku.
“Lo gak
pakai jaket?” tanyanya lagi.
“Enggak”
“Emang gak
dingin?”
“Dingin
lah”
“Kenapa gak
pake jaket?”
“Gak bawa”
“Kena..”
“Udah ah
Ran, lo nyebelin banget sih?”
“Yaudah nih
pake jaket gue ajah”
“Apa? Jaket
lo? Enggak deh makasih”
“Dari
pada..”
“Udah ah
Ran” ku tinggalkan Ran sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Ran adalah seorang
laki-laki yang sangat sabar. Karena terlalu sabarnya, ia selalu diam meski
dibuli sekalipun. Sama halnya kali ini, ia tetap sabar meski aku sudah bersikap
sangat kasar padanya.
*****
Begitu
tengah malam tiba, para pengurus berkumpul di perapian. Lilis selaku bagian pramuka mempimpin pertemuan itu.
Membahas tugas dan berbagai macam pos-pos yang harus dijaga dalam jurit
malam.
Tiap-tiap
pos memiliki tantangan tersendiri sesuai dengan namanya. Mulai dari pos agama
di mana setiap peserta di wajibkan menjawab semua pertanyaan tetang agama,
sampai pos uji nyali yang menyeramkan. Dan aku mendapat bagian sebagai pos
bayangan yang mengawasi para santri agar tidak tersesat. Perjalanan pun
dimulai, aku berjalan berdampingan dengan yang lainnya. Ku perhatikan sekeliling
ku, tak ada cahaya sama sekali. Rembulan, bintang gemintang dan
kunang-kunanglah sumber pencahayaan kami. Semak belukar menjadi bayang-bayang
menyeramkan dalam kegelapan. Aku bergidik, betapa aku takut akan kegelapan itu.
Aku tak pernah mampu bertahan lebih lama dalam kegelapan.
“Hey,”
seseorang menyapa ku. Aku sudah tau suara milik siapa itu. Dan benar saja ketika ku palingkan wajah
ku, Esa tengah berjalan sejajar dengan ku. Aku hanya membalasnya dengan
senyuman hambar. Entah mengapa aku merasa enggan padanya. Ia telah mengacuhkan
ku. Lagi.
“Gue punya
lagu loh buat lo” ucapnya lagi. lagu? Lagi-lagi aku menoleh ke arahnya. Wajah
itu, iyah wajah yang tak pernah bisa ditebak apa yang ada di dalam otaknya.
“Inget gak,
puisi yang lo tulis di buku gue?” tanyanya. Kali ini ia menolehkan pandangannya
pada ku. Membuat ku gugup, malu karena saat itu aku tengah memandangnya berusaha menebak apa yang sedang ia pikirkan.
Puisi? Ku kerutkan keningku, pertanyaannya memaksa otak ku kembali mengumpulkan
puing-puing memori tentang puisi yang dikatakannya. Ia mulai bersenandung.
Tanpa sadar aku terseyum mendengarnya.
“Aduhh gue
lupa lagi liriknya” ia menggaruk-garuk kepalanya.
“Tapi bener
ko begitu nadanya, nanti deh gue nyanyiin lagi sambil baca liriknya hehe” ucapnya
lagi.
“Sambil
pake gitar biar lebih keren, lagu itu cuma buat lo Ki” tambahnya, pandangannya
menembus jauh ke dasar hati ku. Dan tiba-tiba gugup itu kembali datang,
meracuni pikiran ku. Ada apa ini?
“Thanks”
imbuh ku. Masih terpaku pada gurat di wajah itu. Apapun itu telah memaksa otak
ku untuk bekerja lebih keras tiap kali aku teringat padanya. Laki-laki angkuh
itu.
*****
Akhirnya
tiba saatnya di mana aku memisahkan diri. Perjalanan panjang dan lembab ini segera
ku akhiri. Aku bersama Jey menunggu pos bayangan di tepi sawah. Meski sempat
hujan, tapi pesawahan yang dipenuhi padi ini tetap tak kehilangan pesona. Aku
terpaku memandangnya.
“Kia jangan
jauh-jauh dari gue lo” ucap Jey menghampiri ku. Tak lama semua orang kembali
melanjutkan perjalanan mereka. Tinggalah aku dan Jey di tepi sawah ini. Kami
duduk di bawah pohon sambil menunggu kedatangan para santri.
Rintik
hujan mulai turun. Gerimis, aku menyukai gerimis sama seperti aku menyukai
senja. Mereka adalah aspek paling penting dalam setiap adegan romantis dalam
film drama. Beruntung hanya gerimis hingga kami masih bisa menghidari basah
hanya dengan berteduh di balik daun pepohonan.
“Pernah
jatuh cinta?” tanya Jey mengusir kebisuan di antara kami.
“Nngg..belum,
ada apa? pertanyaannya aneh” tanya ku padanya. Ia tak bergeming, seolah
memandang sesuatu di antara rimbun padi yang mulai menguning.
“Sama”
jawabnya.
“Loh?”
“Emang
cinta itu apa sih?” tanyanya lagi.
“Lo yang
sering gonta-ganti pacar, malah nanya gue yang belum pernah punya pacar” ucap
ku. Keningnya berkerut, seolah memikirkan sebuah pertanyaan yang tak pula tau
apa dan di mana jawabannya.
“Pacar pertama itu bukan berarti
cinta pertama, jadi pacaran itu bukan berarti cinta” jawabnya, masih tak
bergeming. Kini ia mengambil sehelai batang padi di depannya.
“Jadi lo
mau bilang, kalau lo itu gak pernah cinta sama mantan-matan lo itu?” tanya ku
bingung.
“Ngggg.....yang
jelas ketika gue sayang sama seseorang gue bakal berusaha untuk ngejaga dia.
Kalau liat dari apa yang udah gue lakuin. Rasanya itu bukan sayang apalagi
cinta” jelasnya. Aku tercekat, pernyataannya itu membuat ku bingung. Lagi-lagi
dan lagi otak ku di landa stunami pertanyaan tentang cinta. Jadi ketika seorang
laki-laki menyatakan cinta dan meminta untuk jadi pacarnya itu bukan berarti
cinta? Lalu apa?
“Kalau gak
cinta kenapa lo pacarin, terus kenapa lo perjuangin dia?” tanya ku kesal.
Bagaimana tidak? Perkataannya itu sama seperti pengakuan akan sebuah permainan yang
tak mungkin bisa dimenangkan oleh lawan mainnya. Iyah, hanya dia seorang lah
pemenangnya.
“Perlu lo
tau, laki-laki itu suka tantangan. Semakin menantang akan semakin menarik,”
jelasnya lagi.
“Jadi?”
“Ya gitu,
gue sendiri belum pernah jatuh cinta” jawabnya. Teman ku yang satu ini memang
sedikit berbeda. Ia lebih ekstrim, ia tak pernah segan atau malu untuk mengakui
hal buruk yang pernah dilakukannya. Ia tak pernah menjadi orang lain. Makanya
aku tak heran bila ia berkata begitu. Repotasinya sebagai play boy sudah menjadi paradigma.
“Emang
gimana sih rasanya jatuh cinta?” tanya ku. Aku terkesiap, menyadari pertanyaan
yang begitu saja ku ucapkan. Hanya sunyi, aku menyadari air muja Joe yang
berubah seketika. Ia memandang sesuatu yang jauh di sebrang sawah.
“Kan gue
udah bilang, gue belum pernah jatuh cinta”
“Heumm...”
“Tapi,
kalau lo mulai ngerasa hidup jadi lebih berarti dengan hadirnya seseorang.
Berarti lo jatuh cinta”
“Esa..”
desah ku pelan.
“Apa?”
“Nothing!!”
aku tekejut. Apa aku baru saja menyebut nama Esa? Lalu apa aku sudah jatuh cinta? Pria angkuh
itu memang selalu sukses membuat ku mengeluarkan tenaga ekstra tiap kali
berpapasan dengannya. Ah, bukan! Apapun yang terjadi pada ku itu bukan
menandakan aku jatuh cinta. Bukan !!!!
“Makanya
jangan mau diajakin pacaran.”
“Terus lo
apa dong?” heran, apa semua yang Jey katakan itu benar? Lalu mengapa begitu
banyak laki-laki yang menjadikan cinta sebagai pondasi atas ikatan yang mereka
sebut dengan pacaran.
“Gue
bilang, kalau dia cinta pasti ngejaga, kan tau sendiri anak-anak jaman sekarang
pacaran ngapain ajah?”
“halahhhh”
aku semakin bingung. Mengapa harus ada cinta? Mengapa manusia butuh cinta?
Bukankah untuk mempertahankan keturunan hanya butuh berhubungan badan? Bukan
cinta dan bla bla bla yang membuatnya semakin rumit untuk dimengerti.
Tak lama
kemudian anak-anak mulai berdatangan. Berkelompok, saling menjaga satu sama
lain. Aku menghampiri dan memastikan tak ada yang sakit. Lalu memberi tahu arah
yang benar untuk menuju pos selanjutnya. Dan seperti biasa, Jey kembali
melancarkan aksinya. Tebar pesona sana-sini.
*****
Tak terasa
waktu sudah menujukan waktu dini hari. Itu artinya aku harus segera kembali ke
penjara suci untuk melakukan tugas ku sebagai bagian bahasa. Aku dan Jey segera
bergegas menuju pos terakhir. Dalam perjalanan ada banyak orang yang pula ingin
menuju pos akhir. Hingga perjalanan ini tak terasa sulit. Dan kami sudah tiba
di pos akhir, pos uji nyali. Di mana kami dapat dengan sesuka hati
menakut-nakuti para peserta. Lucu sekali melihat ekspresi ketakutan mereka.
Tiba-tiba
langkah ku terhenti di ujung jalan. Ku lihat Esa dan Lilis di sisi lain jalan
ini. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang salah dan harus ku perbaiki.
Meski aku tak tahu apa yang salah dan di mana letaknya. Perlahan kembali ku
langkahkan kaki ku. Wajah itu, aku belum pernah melihat gurat itu di wajahnya.
“Ngg..sorry”
ucap ku begitu aku berada tak jauh dari mereka. Ada banyak asatidz di sana,
tapi mereka berlaku seolah tak ada siapapun dan memamerkan kemesraan itu.
kemesraan? Apa hanya dengan duduk sangat berdekatan dengan seragam pramuka Esa
yang kini ada di punggung Lilis itu bermesraan? Tuh kan, memang ada yang salah.
Dan aku harus segera memperbaikinya.
“Ada apa
Ki?” tanya Lilis kemudian. Dan mereka masih tak berubah posisi atau apapun
setelah menyadari kehadiran ku.
“Udah jam
tiga pagi, gue dan Esa harus pulang” ucap ku kemudian, dan kembali ku
langkahkan kaki ku. Aku tak ingin menyaksikan hal seperti itu lebih lama lagi.
Mungkin karena tak pernah melakukannya. Aku selalu memberi jarak dengan makhluk
yang bernama laki-laki itu. Meski aku ingin, tapi hati ku selalu menolak. Tak
lama setelah kepergian ku, kembali ku tolehkan pandangan ku pada mereka. Deg!!
Ada apa ini? jantung ku berdetak kian cepat. Padahal hanya melihat mereka
saling melempar pandang. Sudahlah, aku tak ingin kembali menemukan hal-hal aneh
yang terjadi pada diriku. Maka, ku putuskan kembali melanjutkan perjalanan ku menuju
villa.
“Kia...!!!”
kembali ku tolehkan pandangan ku, dan Esa tengah berlari menghampiri ku.
“Ko gue
ditinggalin?” tanyanya sambil mengatur nafas.
“Bukannya
lo lagi sibuk?” jawab ku dengan pertanyaan dengan sedikit penekanan pada kata
sibuk.
“Sibuk?” tanyanya
heran. Dan aku hanya terdiam dan melanjutkan langkah ku. Tak lama ku dengar
derap langkahnya berusaha untuk menyusul ku.
Brukhh..!!
“Ki..!!!”
Spontan aku
berbalik dan memastikan apa yang baru saja ku dengar. ku lihat Esa tengah duduk
menahan sakit. Ia terperosok ke dalam lubang yang tertutup oleh gelapnya malam.
“Lo gak
apa-apa?” tanya ku panik.
“Sakit..”
jawabnya parau.
“Apa yang
sakit?” aku semakin panik.
“Pergelangan
kaki, kayanya gue gak bisa jalan”
“Apa?” Aku
panik. Meski aku kesal, tapi tetap tak bisa menyembunyikan betapa aku
mengkhawatirkannya.
“kalau gue
bantu jalannya gmn?”
“Yaudah gue
coba”
Aku mulai
membantunya untuk berdiri. Aku merasa bersalah karena meninggalkannya begitu
saja. Perjalanan tinggal sebentar lagi, aku harus bertahan menopangnya.
Setidaknya hanya itu yang bisa ku lakukan saat ini untuk membantunya.
“Ko
berenti?” tanyanya. Jalan setapak semakin menyempit dengan jurang yang begitu
curam di sisinya. Mustahil bila dilewati dengan posisi seperti ini.
“Jalannya”
desah ku. Bukannya panik ia malah melepas rangkulannya dan mulai berjalan
sendiri.
“Apa?” aku
tak percaya. Apa semua itu hanya sandiwara? Dia, seorang Esa dengan
keangkuhannya itu telah mempermainkan ku?
“Ayo
cepet,” ucapnya.
“...........................”
Kampret !
*****
Hanya
cahaya yang berkilauan yang dapat tertangkap pandangan ku. Lembut dan wangi
ruangan pun mulai ku rasakan. Hanya satu yang ku tahu saat ini aku tengah
berada di atas kasur yang begitu nyaman. Rasa letih yang menyerang tiap sendi
membuat ku enggan untuk beranjak. Dalam keheningan aku mendengar sayup-sayup
suara orang yang tengah berbincang. Bagaikan mimpi tapi terasa begitu nyata.
Hingga akhirnya kembali ku angkat kelopak mataku. Tak ada siapa pun, lalu siapa
yang berbincang? Karena penasaran aku mulai bangkit, menelusuri ruang kamar.
“Ya
ampun..” aku terkesiap. Buku harian ku terbuka, sepertinya aku lupa
merapihkannya saat rasa kantuk dan letih telah menguasi ku. Ku buka kembali
tiap lembar dalam buku harian itu. Astagfirullah... aku tak bisa membayangkan
bila ada orang yang membacanya.
“Eh udah
bangun” Khamed datang menghampiri ku.
“Iya, yang
lain udah balik ?”
“Udah,
makan yuk”
“ Tadi gue
mimpiin lo..”
“Ohya,
mimpiin apa?”
“Gue
mimpiin lo baca buku ini”
“Mimpi? Gue
emang baca buku harian lo kali ahahaha”
“Apa??”
“Iya gue
baca. Tapi cuma bagian yang terbuka ajah ko..” ucapnya. Benar saja kekhawatiran
ku, mereka membacanya. Setidaknya itu lembar itu berisi curahan hati atas
kejadian semalam. Aku yakin akan ada hal buruk yang terjadi karena semua ini.
Aku harus melakukan sesuatu.
“Ya ampun
ukhti tolong jangan kasih tau siapapun tentang yang lo baca di buku ini ya, please...” ucap ku memelas. Aku tak
tau harus berbuat apa. Yang ku tau hanya melakukan apapun agar Vica chu dan
Sonya bungkam soal ini.
“Yahh...telat.”
“Apa?”
seketika aku merasa dunia ku mulai runtuh.
“Ya udah si
biasa ajah,”
“..............”
“Jadi lo
sama Esa itu...” ia melirik dengan pandangan nakal yang menyelidik ke arah ku.
“Ukhti..!!!”
“Ciee..cieee...ciieee”
“Apapun,
ini cuma salah paham!!!!!!!”
*****
Tenang
menelusup ke dalam dada, ketika segala sesak di benak itu ku tumpah dalam buku
harian. Kecemasan dan segala gundah di dalam hati mulai reda. Ku lemparkan pandangan
ku pada indahnya senja.
Di penjara
suci ini, tepatnya jalan penghubung antara kelas dan masjid untuk wanita, senja
terlihat begitu menawan. Keniscayaan yang tak layak diabaikan oleh mata. Meski
senja itu tak bersanding dengan damainya lautan atau temaramnya pegunungan.
Tapi senja di tepi anak kali ciliwung dari sudut jalan penghubung ini tetap tak
mudah diabaikan. Ada hal yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat aku
berpapasan senja. Bagai magnet dan aku adalah sebongkah besi yang tak berdaya
akan daya tariknya. Dalam biasan sinar keemasan itu ku temukan hal yang hanya
bisa ku rasakan. Senja, sungguh aku begitu mencintai senja bila cinta
diartikan sebagai hal
penarik-perhatian-dari alam bawah sadar.
“Fokus..fokus..fokus..”
ucapku pelan, berusaha menghipnotis diri ku sendiri yang kembali tak karuan
begitu senja telah pergi. Kali ini aku ingin mengungkap segala apa yang ku
curahkan dalam buku harian kecil yang telah sekian lama menemani langkah ku
dalam penjara suci ini. Segala hal yang tak pernah ku ungkapkan pada orang
lain. Termasuk beberapa nama yang telah tertulis di dalamnya. Dan malam ini aku
ingin mengakhiri semua. Ku ungkapkan, ku jelaskan lalu ku musnahkan.
Tak begitu
lama, aku melihat Lilis dari kejauhan. Ia tengah terdiam sendirian di depan
kamar. Entah mengapa aku mulai merasakan hal buruk dari sorot matanya. Apakah
dia sudah tau? Dan seketika keberanian ku menguap begitu saja. Ku hentikan
langkah ku, ia mulai menyadari kehadiran ku.
“Lis...”
panggil ku. Ia menolehkan pandangannya ke arah ku. Segera ku percepat langkah
ku, ingin segera keluar dari situasi dingin seperti ini.
“Ini..”
segera ku serahkan buku harian itu. Entah mengapa aku merasa buku harian inilah
penyebab gundah di hatinya.
“Untuk
apa?”
“Tolong
dibaca, biar lo gak salah paham” jelas ku. Kini jantung ku mulai mengamuk di
dalam sana. Sementara Listy mulai membaca buku harian ku.
“Sayang?”
ia menolehkan pandangannya pada ku, nanar. Membuat ku terkesiap begitu
mendengar ucapannya.
“Ap..apa?
sayang?” aku tak mengerti.
“Di sini lo
bilang kalau lo sayang sama dia” jelasnya.
“Ehmm..
iyah gue memang sayang sama dia. Sama kaya gue sayang lo dan yang lainnya.
Sayang sama sahabat itu wajar kan?” jelas ku sekenanya. Aku tak tau apa yang
begitu saja keluar dari mulut ku. Apapun itu aku berharap, semua itu akan
mencairkan suasana yang telah membeku ini.
“...........................”
Lilis hanya terdiam memandang buku harian ku dalam. Ia tak menoleh pada ku,
sama sekali. Matanya tertuju pada setiap huruf yang tertulis tiap lembar buku
harian ku. Aku memandangnya lekat. Hingga akhirnya ku sadari ada bintik-bintik
air membekas di atas buku harian ku. Ia menangis..
Tanpa pikir
panjang. Setelah perhelatan sengit dalam kebisuan ku bersama Lilis. Ku buang
buku harian itu. Ku tusuk dengan tongkat agar ia berada jauh di dasar tempat
sampah dan tak ada lagi yang melihatnya.
*****
Tak lagi
gurat bibir yang tersungging ku temui. Semuanya datar cenderung menekuk wajah
mereka saat berpapasan dengan ku. Lilis dan dua orang temannya mereka memang
tiga serangkai di kelas ku. Mereka pula yang paling terasa berbeda pada ku
sejak buku harian ku menjadi buah bibir para santri. Sementara sisanya tetap
biasa-biasa saja meski aku tau ada banyak pertanyaan yang ingin mereka
layangkan pada ku. Tiga serangkai itu melihat ku sinis. Hampir tak menganggap
keberadaan ku dalam kelas ini.
Makin hari
berlalu, suasana pun semakin membeku. Bukan lagi tatapan tapi perlakuan dan
segalanya membuat ku merasa terkurung dalam bongkahan es. Semua ini memang
salah ku. Aku yang ceroboh hingga semuanya terungkap begitu saja. Aku sendiri
tak tau apa yang terjadi. Aku memang menyadari, tapi tak tau apa dan di mana
letak kesalahan ku. Hingga akhirnya kutub ini mencuat kepermukaan.
“Halo..”
ucap ku begitu menyadari nada sambung yang telah terhubung. Tak lama begitu aku
tiba di rumah saat liburan semester aku langsung menghubunginya. Iya dia, Esa
Rajawali.
“Iya? Ada
apa Kia?” tanya seseorang di sebrang saluran telpon.
“Gue mau
ngomong sesuatu” jelas ku yang masih diliputi rasa gamang.
“Iya ngomong
ajah, gak kaya biasanya”
“Gimana
kalau lo jadian lagi sama Lilis?” ucap ku begitu saja. Sedikit ragu, tapi sudah
ku bulatkan tekad ku. Satu-satunya cara untuk mencairkan suasana di penjara
suci adalah dengan menyatukan mereka kembali. Aku tak ingin menjadi kambing
hitam atas retaknya hubungan mereka. Kedekatan ku dengan pria itu sama sekali
tak ada hubungannya dengan mereka.
“Ko?
Maksudnya gimana?” suara itu tampak terkejut.
“Jadi belom
lama ini buku harian gue dibaca sama anak-anak” jelas ku perlahan.
“Terus apa
hubungannya buku harian lo sama gue?” tanya suara itu masih tak mengerti.
“Jadi, gue
curhat tentang lo di buku harian itu. Dan semua orang salah paham, termasuk
Lilis. Gue gak nyaman terus dicuekin sama mereka. Mungkin kalau lo jadian lagi
sama Lilis semua akan baik lagi” jelas ku. Berat sekali rasanya aku berkata
seperti itu. Bagai ada kilat yang menyambar jantungku dan memaksanya untuk
berdenyut kian cepat. Sesak...
“Buku
harian?”
“Iya..”
“Bukunya
itu kecil bukan? Ada gambar vampir gitu di depannya?”
“Hah? Iya..
ko tau?”
“Oh iyalah
tau, nih lagi sama gue bukunya”
“Apaa?????????????????????????????????????”
kini giliran aku yang terkejut bukan main. Bukan kah sudah ku buang buku itu?
mengapa kini ada di tangannya. Lalu, apa dia juga baca buku harian itu? oh my God...
“Iya, terus
kenapa?”
“Tapikan
buku itu udah gue buang”
“Enggak,
nih buktinya ada sama gue”
“Ko bisa?”
“Bisalah,
apa yang gak mungkin kalau Allah yang menghendaki?”
“Eessssaaaaa,
serius!!!!!!!!”
“Iya ini
serius”
“Apa
buktinya kalau buku itu bener-bener ada di lo?” tanya ku masih tak percaya. Aku
yakin betul, buku itu sudah ku buang. Bahkan tongkat yang ku gunakan untuk
menusuknya lebih dalam pun masih bertengger di depan kamar.
“Lo pernah
bawa keluar buku ini gak?”
“Enggak”
“Terus
masih kurang bukti apa kalau gue bisa tau buku yang lo sendiri gak pernah bawa
keluar” jawabnya. Benar juga ! lalu mengapa buku itu ada di tangannya?
“........................”
“Memang
kenapa dengan buku ini?”
“Gue mau lo
jadian lagi sama Lilis. Gue rasa itu akan lebih baik” ucap ku. Butir air mata
ku mulai berjatuhan.
“.....................”
Esa tak menjawab. Hanya desah nafasnya yang terdengar.
“Please...”
aku semakin memelas. Dan tak lama percakapan pun terputus.
Nut..nut..nut..
*****
Tak lama
setelah perbincangan via telpon ku dengan Esa aku kembali menekan nomor lain.
Yah, aku menghubungi David. Dia selalu punya cara untuk membuat ku tersenyum
dan melupakan semua kegamangan yang membelenggu otak ku.
“Halo?”
ucapnya tak lama setelah aku menekan tombol hijau pada ponsel ku.
“Iya,..”
“Siapa?”
tanya suara itu. Aku bingung, baru kali ini. Untuk pertama kalinya ia tak
mengenal suara ku.
“Gue”
jawabku.
“Siapa?”
kini aku benar-benar bingung. Apa yang terjadi? Apa yang membuatnya seperti
itu.
“Kia” jawab
ku datar.
“Oh..hai,
apa kabar?”
“Dav ada
apa sih?”
“Ah? gak
ada apa-apa, mungkin efek baru jadian kali”
“Apa?”
“Iya gue
baru jadian sama Riri,”
“Jadian?”
aku lemas. Bukankah beberapa bulan lalu, baru saja ia meminta ku untuk jadi
tujuan hidupnya?
“Jadi selama
ini lo anggap gue apa?” tanya ku lagi. Aku tak habis pikir, jadi selama ini
cuma aku yang berusaha? Aku selalu berusaha untuk bisa menyayanginya lebih dari
apapun. Meski aku tak cukup pandai untuk mengungkapkannya.
“Gue
nyerah, gue sadar lo terlalu jauh buat
gue.” Jawabnya enteng.
“Tap..tapi
gue udah mulai sayang sama lo” ucap ku begitu saja. Sungguh aku tak percaya.
Apakah ini nyata? Mengapa dia yang juga teman baik ku tega berbuat seperti ini
pada ku? setelah usaha ku untuk menimbulkan rasa itu kini aku dibuang begitu
saja?
“Udah Kia cukup, lo terlalu abu-abu buat gue”
“Tapi..”
“Lo lebih
pantes sama Esa lo itu”
“Esa????
Dia itu cuma temen gue!!!!!”
“Temen?
Yakin? Maaf, gue gak bisa lagi. Tolong jangan ganggu gue”
“David !!!”
aku marah.
Nut...nut...nut...
Begitu kah?
Begini kah rasanya dicampakan? Seketika semua
kata-katanya beberapa bulan lalu kembali terngiang di kepala ku. Bukan
sedih tapi aku marah bullshit!!! Benar
apa yang Jey ucapkan. Seharusnya sejak awal aku tak berpikir untuk memberinya
kesempatan.
*****