Hari-hari telah berbeda sejak saat itu. Sejak pertama
kali bapak berkata gak ada sekolah umum setelah kelulusan ku. Ancur lebur semua harapan ku untuk merajut helai demi helai sejarah dalam sebuah
sekolah yang ku impikan. Bahkan
sudah ku toreh hitamnya
tinta di atas kertas putih akan indahnya kisah yang akan ku lalui, tapi
apa yang bisa ku lakukan? Keputusan bapak bagaikan sebuah perintah tanpa koma, hanya
tanda seru raksasa yang bertengger di sana. aku cuma
bisa diam,
terbungkus sebaris senyum hambar yang menyembunyikan ribuan rintik air mata.
Pesantren, bukan hal asing untuk ku.
Hampir semua keturunan kakek dari bapak pernah tinggal dalam penjara suci
itu. Aku pun pernah berangan untuk meneruskan studi di
sana. Entah mengapa keinginan itu meluap begitu
saja. Dan di
sini lah aku tepat di sudut sebuah kamar salah satu pesantren di kota Bogor.
Aku cuma diam, berdesakan di antara himpitan
orang-orang yang lalu lalang. Sendu tangis perpisahan, harunya keceriaan
berbaur dalam padatnya ruang kamar. Aku pun begitu, sendu kini menelusup ke dalam hati. Tak
pula ku tahan linangan air mata itu. Meski telah ku bulatkan tekad ku, tapi
masih saja kepedihan itu menjalar. Aku tak rela ditinggalkan di tengah
kerumunan orang asing, ku tak ingin sendirian. Aku tak mau, aku rindu ibu ku.
Aku rindu semua yang ada dalam kamar ku. Bahkan serpihan debu yang menempel di
permukaan buku-buku tua koleksi ku pun, aku rindu.
Sungguh waktu terasa begitu lambat berlalu, ketika mereka
pergi menjauh. Baru saja detik itu berganti tapi hati ku sudah mengering bagai debu. Hembusan angin pun menertawakan ku, bangga akan kebebasannya.
Hilir mudik dari satu celah ke celah lainnya, dari atas ke bawah, depan ke
belakang dan segala arah. Meniup, menghentak, dan mengguncangkan setiap benda
yang ada di hadapannya. Tapi aku? Hanya sebatas ruang ini kebebasan ku.
“Hei..” suara itu memudarkan pandangan ku. Aku terjaga,
segera ku hapus linangan air mata ku. Seorang gadis tengah duduk di hadapan ku,
ia menatap ku. Aku tak mengerti dengan apa yang ia lakukan, aku hanya terdiam
dengan ribuan tanya yang ada di kepala.
"Gue Jane, lo siapa?” ucapnya lagi, sebaris senyum
menghiasi wajahnya. Aku membalas senyumnya, ia adalah satu-satunya gadis yang
terlihat begitu ceria. Tak ada kesedihan bola matanya.
“Kia, Kia
Mustopo ..”
jawab ku membalas genggaman tangannya.
Hari ku telah berubah, benar hari ku memang sangat
berubah. Aku tak
pernah menyangka akan berhasil melalui tiap detik yang berlalu tanpa keluarga
ku. Tapi kini? Seribu delapan ratus detik itu sudah berhasil ku lalui. Dan pada
detik itu pula aku mendapatkan teman pertama ku.
*****
Sang malam dalam hari-hari ku pun telah berubah. Mereka
tampak begitu berbeda. Masih dengan kegelapan yang sama dengan ribuan bintang
yang sama tapi tetap saja malam itu telah berubah. Dan malam ini aku duduk di
antara ratusan santri lainnya dalam aula besar. Ada seorang pria di depan sana
duduk di atas kursi dan berbicara panjang lebar tentang segala hal mengenai
penjara suci ini. Ah...apa mereka tidak tau, mendengarkan seorang
bergumam dari kejauhan hanya membuat kelopak ini sangat sulit untuk ditegakan.
Aku tak habis pikir mereka mau membuang waktu hanya untuk hal yang sangat
membosankan. Ku luaskan pandangan ku, dan benar saja banyak santri tertidur di
antara santri yang lainnya.
“Masmuki[1]?” tanya seorang gadis berjas biru pada ku.
“Heummm.. Kia” Jawab ku. Parasnya cantik, tapi tatapannya
menyimpan senjata yang siap membunuh kapan saja. Ia menatap
ku dalam, tanpa
kedipan.
“Isma’ie jaidan..la tatahadas[2]” ucapnya kemudian. Hah, apalagi itu? kelas
bahasa arab ku belum belajar sejauh itu. Dan aku hanya bisa terdiam mengulum
kekesalan ku sendiri. Oh Tuhan malam pertama ku dibuat membosankan dan
mendapat teguran.
Lengkap lah sudah.
Hari demi hari berlalu, dan rasa rindu itu
kian menumpuk dan memupuk di dalam hati ku. Aku rindu ibu, bahkan marahnya pun
aku rindu. Kenakalan adik ku, ayah ku dan sepeda kecil yang selalu berdecit
saat menopang tubuh ku. Bahkan aku rindu pada cicak yang selalu merayap di
dinding kamar ku. Semakin ku mengingat semua itu semakin aku merindu. Yah hari
ku memang telah berubah.
Kalung jengkol yang melingkar di sekeliling leher ku. Dan
berbagai alat memalukan ini melekat di tubuh ku. Sementara para senior sangat
asik menggoda kebodohan ku karena semua ini.
Masa orientasi siswa yang sangat membosankan. Aku diminta untuk
menyanyi, berlari, dan semua hal memalukan yang membuat hati mereka merasa
senang. Malas, yah... hidup dalam banyak aturan. Aku masih tak
percaya bahwa aku rela meletakan hidup ku dalam aquarium
raksasa. Yang hanya bisa melihat dunia dari kejauhan. “Hidup hanya
sekali sayang” sangat jelas sebaris kalimat ibu ku menari-nari dalam
otak ku. Bukan kah karena hanya sekali kita harus menikmatinya?
Bukannya malah meletakan hidup itu dibalik jeruji. Heummm...dengan sebal
ku putuskan untuk berhenti sejenak. Berharap sang waktu mau
untuk tinggal lebih lama.
“Hei kamu !!!” teriak seseorang dari kejauhan.
“Kamu !!!!” orang itu menghampiri ku, geram.
“Yah?” tanya ku, menatap wajahnya dengan berjuta rasa kesal terpampang
di sana.
“Enak banget yah? Tanda tangannya udah dapet semua belum?” gertaknya, sambil melirik buku tugas ku yang masih sangat bersih. Yeah, penjara suci ini memaksa ku untuk meminta semua tanda tangan pada senior dan mau melakukan apapun untuk tanda tangan itu. Kegiatan dalam masa orientasi siswa ini tak hanya membosankan tapi juga memuakkan.
“Belum ka,” jawab ku singkat.
“Ya.. gak apa-apa sih kalau kamu mau mandi di tengah
lapangan nanti malem” ucap wanita itu diiringi senyum penuh kemenangan. Ngancam gue? Kampret!
“Maksudnya, hukuman ka?”
Aku paling alergi hukuman. Bukan karena aku anak teladan, tapi karena
aku tak suka menjadi bahan ledekan. Dengan berat hati kembali ku langkahkan
kaki ku. Ku lihat daftar nama senior yang masih berjejer dalam buku tugas itu.
Tak ada satu pun yang sudah ku dapat.
*****
“Udah tau alasan kamu ada disini?” Tanya seorang wanita
yang aku tidak tau namanya, akan tetapi almamaternya cukup meyakinkan ku bahwa
ia seorang pengurus organisasi disini. Aku hanya terdiam memakukan pandagan ku
pada langkahnya yang tak henti memutari ku.
“Punya mulut enggak? Jawab!” teriaknya. Fine. Gue harus jawab.
“Tau ka” jawab ku sekenanya.
“Apa?” teriaknya, lagi.
“Gagal misi orientasi?” jawab ku dengan santai. Sumpah males demi apapun. Gue kira di
penjara suci ini gak ada acara orientasi. Kampret lah !
“Betul, jadi kamu tau kan konsekuensinya?” matanya memicing tajam.
Yeah seneng kan lu?
“Iya tau ka”
“Oke, langsung aja. Kamu dihukum berdiri di sini sampai
jam 12 malam”
“Di tengah lapangan gini ka?”
“Mau ditengah kuburan?”
“Enggak
ka” yakale otak lu di mana, mending di
tengah lapangan lah.
“Karena kamu masih anak baru, saya kasi dispensasi untuk siraman.
Tapi Next? Jangan harap kamu bisa lolos” Ucapnya dan ngeloyor pergi. Haruskah gue bilang terima kasih? Kampret!
Ku lirik jam dinding raksasa tepat di hadapan ku. 20.00, oke Cuma 2 jam gue berdiri di sini. Dari
sini aku dapat melihat penjara suci ini lebih jelas. Tiang-tiang yang menjulang
tinggi seolah berlomba mencakar langit. Entah kenapa ditengah banyaknya lalu
lalang langkah sebelum tiba jam tidur, suasana disini tetap hening. Dan aku
mulai menikmatinya.
Blurrrrrrrhhh….
“KAMPRET..!!!!” teriak ku begitu seember air yang dingin
luar biasa menimpa tubuh ku. Seketika pandangan ku teralihkan ke lt.2 bangunan
santri putra. Sumber air ini berasal, dan di sana seorang pria yang berdiri
memegang ember kosong terpaku melihat ku basah kuyup.
“What the f…, sorry” ucapnya nyaris tak bersuara.
Kampret ! Batin ku kesal.
“Woy..!! liat-liat
dong, ” maki ku. Pria itu
berlalu begitu saja. Sialan ! masih ada 1 jam hukuman
yang harus ku lewati. Dan badan basah kuyup karena kampret sialan itu.
*****
Udara dingin menerobos masuk begitu ku buka pintu kamar.
Aku terpaku, merasakan aliran darah ku yang mulai membeku.
Dengan sigap aku menggosok-gosokan kedua tangan ku untuk mengusir hawa dingin.
Langit masih tertidur ketika aku mulai melangkah. Kegelapan seolah menjadi
selimut bagi sang malam. Membuat bulan dan bintang berlomba untuk memantulkan
cahaya dan merajai kegelapan.
Dingin, belum pernah aku merasakan dingin seperti
ini. Membuat deretan gigi ku bergetar.
Aku tak
habis pikir, Penjara
suci ini memang tak mengenal kata pribadi. Kamar mandi berukuran besar yang diperuntukan
untuk semua santriwati. Bagaimana mungkin mereka membuat kamar mandi
yang begitu besar tanpa sekat sedikitpun. Hanya beberapa aling-aling untuk
toilet tanpa pintu. Aku tertegun, gimana
gue mandi? Gak mungkin kalau gue harus buka…ahhh kampret ! Aku bukan seorang yang pemalu tapi tak
pula tak punya malu untuk mandi di hadapan banyak orang. Makanya
untuk menghindari hal itu ku beranikan untuk bangun lebih awal dari
siapa pun dan memulai aktifitas. Mandi, mencuci pakaian kotor dan
segalanya. Ibu memang mendidik ku
untuk mandiri. Terbiasa
hidup berdampingan dengan kesusahan dan perjuangan. Tapi untuk terjaga dan
menahan dingin sedingin ini? Hmmmm… Dan lagi-lagi aku rindu ibu.
Setelah usai sholat subuh berjamaah, saatnya aku bersiap untuk mengaji kitab kuning rutin. Kitab akhlaqulil banats atau akhlaqulil
banin namanya. Ku pusatkan pandangan ku pada satu bintang yang masih
bertengger manis di angkasa. Terlihat seperti cahaya yang berkilauan di antara
biasan sinar mentari yang mulai menyembul di ufuk timur.
“Si kampret sialan...” bisik ku, pria itu berjalan
keluar dari lorong santri putra. Pria angkuh, Aku tak percaya kembali melihatnya
berjalan dengan tenang menuju aula besar. Pandangannya lurus terfokus pada
irama setiap langkahnya. Guratan wajahnya menggambarkan kesunyian, seolah luka
telah menggerogoti hatinya. Ku hujamkan pandangan sinis ku pada pria itu.
Pria itu terhenti, dan menolehkan padangannya ke arah ku. Aku gugup, sorot mata
itu begitu tajam tapi tak ada satu hal pun di sana. Hanya tatapan kosong
yang dalam tanpa dasar.
*****
Sunyi senyap kembali menelusuk seisi ruangan kelas.
Beberapa pria sibuk dengan kegiatan mereka bahkan ada pula yang tengah lelap
dalam tidurnya. Aku mendekati kedua teman dekat ku, Jane dan
loviy.
“Hi girls..” sapa ku begitu tiba.
“Eh.. Pe lu tau gak, Loviy lagi jatuh cinta.” ucap Jane menggebu. Yah begitulah mereka memanggil ku “Pepe”. Kata itu pertama kali diucapkan oleh Susi. Susi adalah teman seangkatan ku, meski tidak satu kelas tapi kebaikannya membuat semua orang merasa dekat dengannya. Tak memakan waktu lama, kata itu bagai virus yang begitu cepat menyebar.
“Jatuh cinta? Serius? Siapa yang
bisa bikin doi jatuh cinta?” tanya ku tak kalah menggebu. Loviy yang merupakan
salah seorang teman sekelas sekaligus sekamar ku, hanya tersenyum malu mendapat pertanyaan
itu. Tak hanya itu, letak lemari kami pun berdekatan membentuk garis lurus.
Jadi jangan heran, aku merasa lebih dekat dengan mereka melebihi dari
siapa pun.
“Ciiieee...ciiieee....” ledek ku dan Jane bersamaan, lagi-lagi Loviy tertunduk malu. Aku tak yakin, ketika aku mengingat peraturan penjara suci ini yang sudah ku tanda tangani di atas materai. Bahwa dalam penjara suci ini dilarang keras untuk mempunyai hubungan spesial dengan lawan jenis.
“Eh tapi lo tau kan peraturan di sini?” tanya ku.
“Yoi....lu lupa ya? peraturan itu ada buat dilanggar.”
Jawabnya.
“Anjaaaay…
gue suka gaya lu” goda ku.
Memang tak akan ada habisnya bila berbicara tentang
cinta. Hal paling asburd di dunia dengan pemaknaan yang tak
pernah sama. Hanya mereka yang jatuh cinta yang dapat memaknai dan merasakan
sensasinya. and ofcourse not me. Aku hanya tau sedikit mengenai cinta, tentang hal yang
membuat orang bahagia dan bisa saling membunuh karena tak tahan dengan rasa
sakitnya. Nahloh, Rumit kan? Dan hal ini tengah dirasakan
teman dekat ku, Loviy. Ia selalu menceritakan kisah aneh yang ada dalam
imajinasinya. Seperti kali ini, di jam istirahat. Kita tengah duduk manis di
depan kamar sambil menyantap beberapa cemilan. Loviy tak pula berhenti
menceritakan tentang si pria yang membuatnya jatuh cinta. “Dia itu
mirip sama Leonardo de Caprio, romantis, dingin, keren...” mendengar
celotehnya, membuat ku mempunyai definisi baru tentang cinta. Cinta dapat
membuat seseorang itu berparas malaikat. Oh God,
“Pe..kenapa lo?” tanya Jane menyadari air muka ku
yang mengeras.
“Girls, itu itu itu...si Lenardo de Caprio gue...”
teriak Loviy.
“What? Si...siapa?” tanya ku heran. Aku tak ingin sesuatu
yang buruk terjadi.
“Itu...cowok yang pake baju lengan panjang yang gulung
sampe siku, aduhh siapa ya namanya?” ucap Loviy ceria.
“...............” aku terpaku. Pria
itu, pria yang Loviy kagumi. Adalah pria yang memiliki tatapan kosong tanpa
dasar. Dia adalah pria yang ku benci.
“Oh, itu sih Esa” jawab Jane,
seketika wajah Loviy semakin merona.
“Lupain dia Viy..” ucap ku, Jane menatap ku
heran. Gue gak rela lo jatuh cinta
sama makhluk “sok” kaya dia.
“Maksud lo?”
“Gue gak bisa cerita, tapi menurut gue mending lo jatuh
cinta sama yang lain ajah”
“Kenapa?” Loviy berontak, tentu saja ia tak terima.
Betapa mudahnya orang jatuh cinta, bahkan dia belum sepekan mengenal pria itu
tapi kini ia membela dan sangat menyanjungnya. Aku terdiam mengulum senyum
hambar. Aneh, cinta itu aneh. Bagaimana mungkin ia jatuh cinta pada
pria seangkuh itu. Apa itu cinta? Sebuta itu kah cinta? Aku masih terdiam, terjebak
di antara jutaan pertanyaan tentang cinta. Sementara loviy, berlari menjauh
meninggalkan aku dan Jane.
Tak lama berselang, bel berbunyi. Yang artinya jam istirahat telah usai. Tentu saja aku dan Jane bergegas menuju kelas agar tak terlambat. Ku temukan Loviy di sana, wajahnya murung. Ia terdiam dalam lamunan, aku yakin ia risau karena ucapan ku. Tapi sungguh aku tak bisa menyembunyikan betapa aku menyesalkan pria itu.
“Pe, Loviy ngambek tuh!” Jane menyenggol
ku dan mendekatkan diri pada Loviy. Loviy menatap ku, dan aku mendekatinya
dengan manja.
“Loviy, maaf ya gue becanda ko..” rayu ku, tapi Loviy
tetap terdiam.
“Eh..eh Esa tuh” goda Jane. Tanpa sadar aku melirik arah yang di
tunjukan pada Jane. Benar saja, di sana di ujung lorong antara
ruang kelas pria itu berjalan.
“Gue mau maafin lo dengan satu syarat” ucap Loviy, masih
ketus dengan muka masam.
“Lo harus sampein salam gue buat dia” terang Loviy. Air
muka ku mengeras, enggak...!!! aku tak ingin terlibat apapun
yang berhubungan dengan pria itu.
“Gimana?” tanya Loviy.
“Gue....................”
“Cuma nyampein salam ajah, gampang kan?” imbuh Jane. Iya,
mudah bila salam itu tidak teruntuk kampret macam dia. Aku masih belum bisa
melupakan rasa kesal ku.
“Pe !!!" Jane mengejutkan ku.
“Huh........O...oke, Siapa namanya?” tanya ku. Semua ini
demi pertemanan yang sudah terjalin. Apa jadinya aku di penjara suci
ini tanpa seorang teman?
“Esa, Esa Rajawali !” jawab Jane.
“Ooookeee..” ucap ku dan mulai melangkah.
*****
Pria itu semakin dekat seiring dengan hembusan angin,
lagi-lagi matanya menggambarkan kekosongan. Jantung ku semakin menderu kecang,
aku gugup, sulit bernafas. Udara di sekitar ku lenyap, pandangan ku mulai
pudar. Ada apa ini? tidak seharusnya semua ini terjadi. Hanya langkahkan kaki,
sapa dan katakan. Tidak ada yang sulit, tapi sorot mata itu membuat pergelangan
kaki ku melemah.
“Esssss...” aku terbata. Pria itu baru saja melintas di
hadapan ku. Entah apa yang dia tuju, tapi aku harus menyampaikan salam itu demi
Loviy. Dengan sekuat tenaga kembali ku ayunkan kaki ku untuk mengejarnya. Ia
berjalan menuju lantai tiga tempat kediaman para ustad. Aku harus bisa, semakin
ku paksakan dan mulai berlari.
“Esa....!” teriak ku, tapi pria itu tak pula berhenti.
“Esa..!!” teriak ku lagi, tetap tak ada reaksi.
“Eeesaaaaa..... !”
Pria itu terhenti tepat di anak tangga terakhir menuju
lantai tiga. Ia menolehkan pandangannya ke segala arah mencari sumber suara
yang memanggilnya. Tak lama aku menyembul di balik gagang tangga sambil mengatur
nafas ku. Lagi-lagi ia menatap ku heran.
“Esa...” ucap ku, sambil mengatur nafas. Dia masih
terdiam dan menunggu.
“Esa ada salam dari Loviy..” ucap ku kemudian setelah
berhasil mengusai deru nafas ku. Ia mengernyitkan alisnya, dan
berkata..
“Apaan sih?”
Ia pergi, lagi lagi dan lagi. Aku rasa dia mempunyai
kelainan jiwa. Atau ia seorang spikopat. Menganggap semua orang bagai hewan
buruan. Aku semakin geram, ku langkahkan kaki ku dengan cepat menuju
kelas.
“Gillaaaaaa.....!!!!” teriak ku. Membuat seisi kelas
menoleh ke arah ku. Begitu pun Loviy dan Jane. Ku percepat langkah ku, Jane terpaku.
“Ada apa?” tanya Jane.
“Lo bener-bener buta Viy, masa bisa jatuh cinta sama
orang sombong, angkuh, sok, belagu yang nyebelinnya pake banget itu?” ucap ku.
“Hah?” Jane heran.
*****
Aku semakin tak mengerti, pria itu dikenal baik oleh
kedua teman ku. Tapi aku sama sekali tak pernah melihat kebaikan dalam dirinya. Atau memang ia sudah membenci
ku sejak awal? Tapi apapun itu aku tak peduli. Semua itu hanya membuat
ku semakin yakin bahwa pria itu bukan seorang yang baik untuk dijadikan teman.
Dan aku harus waspada akan hal itu. Masih banyak hal yang jauh lebih berguna
ketimbang harus berurusan dengan pria autis itu.
Aku kembali terdiam, langkah ku terhenti tepat di depan
aula. Ada banyak orang di sana, termasuk pria itu bersama keluarganya.
Tiba-tiba aku teringat pada ibu ku. Biasanya pada jam yang sama aku selalu
terpaku di depan televisi untuk menonton kartun favorite ku,
dan ibu ku sangat marah dengan hal itu. Ia menginginkan aku untuk merapihkan
baju seragam dan buku-buku ku terlebih dahulu. Tapi tetap saja aku tak
mengindahkannya, dan kini aku merindukan hal itu.
Bagai sahara yang menantikan hujan, begitulah rindu ku
padanya. Membuat nafas terasa berat semakin aku mengingatnya. Oh tuhan,
beginikah deritanya menahan rindu?
Kembali ku langkahkan kaki ku. Ruang kamar yang terdiri
dari beberapa orang ini tampak lengang. Aku semakin dilanda sepi, sunyi ini
membunuh kesadaran ku. Tiba-tiba aku berlari, menerjang udara dan melawan
kewarasan ku. Aku tak ingin mencoreng nama baik yang mengiringi kepergian ku.
Tapi kini, aku sudah berada dalam sebuah bus yang padat penumpang. Aku masih
dilanda sunyi, logika ku berkata untuk kembali tapi hati ku memaksa ku untuk pulang.
Tubuh ku bergertar, teringat oleh ku beberapa baris hukuman yang mungkin akan
ku terima saat aku kembali. Tapi aku tetap tak peduli, aku harus bertemu dengan
ibu ku saat ini. hasrat ini membuat perjalanan selama dua jam sama sekali tak
terasa. Waktu berlalu begitu cepat kala mengantarkan ku pada sebuah rumah kecil
idaman.
Masih di bawah langit yang sama, awan yang sama dan
terpaan angin yang sama. Perlahan ku raih gagang pintu dan mulai mendorongnya.
“Mam..” desah ku begitu melihat seseorang berbalut mukena tengah bersimpuh
dalam sujudnya.
Oh tuhan, inikah rasanya rindu? Haru biru kala bertemu, hujan telah
menghampiri gurun di hati ku. Aku tersenyum, ku peluk wanita itu. Aroma
tubuhnya membuat ku semakin hanyut memeluknya.
“Kia...” ibu terkejut melihat
ku terpaku dibalik daun pintu.
“.....................” Lidah ku kelu, tak sanggup
berkata sepatah kata pun hanya linangan air mata yang semakin deras.
“Sudah ijin kamu?” tanya ibu ku lembut. Membelai kerudung
putih yang sudah berantakan di kepala ku. Bagai disambar petir aku mendapat
pertanyaan itu. Menyadari pelanggaran yang ku lakukan merupakan pelanggaran
kelas berat dengan hukuman yang berat pula. Kabur, yah aku kabur dari penjara
suci itu. Bukan karena penuh tekanan atau apapun itu, sungguh
aku kabur karena rindu. Aku sangat merindukan ibu ku, juga ayah dan adik ku.
“Kabur?” tanya ibu ku lagi. Kali ini ku anggukan kepala
ku sambil memejamkan mata berharap ibu ku tak marah dengan hal ini.
“Ya Allah ...” ucapnya sambil terus membelai kepala ku.
“Mama emang kangen sama kamu, tapi kabur itu perbuatan
yang gak bener kan?” tambahnya. Dan aku kembali menganggukan kepala ku.
“Jangan ulangi lagi, nanti biar mamah bilang ke
Ustadzah biar kamu gak di hukum”
“............” aku tercekat mendengar kata hukuman itu.
Bergidik kala aku membayangkannya. Tapi ku rasa hukuman itu harga yang pantas
untuk membayar pertemuan yang sama sekali tak terduga ini. Pertemuan yang
mengusir segala sunyi dan sepi di hati ku.
“Jangan mam..” ucap ku. Ibu ku berhenti menghentikan
belaiannya kala aku menyanggah pernyataanya. Alisnya mengernyit, ia menatap ku
dalam.
“Kenapa” tanya ibu ku.
“Kia bukan anak kecil yang gak tau tanggung jawab
mah, kabur ini kemauan ku dan aku mau nanggung konsekuensinya” jelas ku. Ibu ku
terpana, ia terus menatap ku. Seolah berkata dalam tatapannya “anak ku sudah
dewasa”. Dan aku semakin larut dalam pelukannya.
Begitu mentari tergelincir dan membiarkan kegelapan
menguasai langit. Ayah ku kembali menceritakan sebuah dongeng klasik
perjuangannya saat masih remaja. Hal yang biasa kami lakukan setelah sholat
isya berjamaah. Meski sejak didirikannya sebuah masjid di depan rumah ku, ayah
tak lagi sholat di rumah. Tapi kebiasaan ini tak pernah terhenti, tetap terjaga
seperti saat ini. Ayah ku bercerita tetang episode saat bertemu dengan ibu ku.
Romantis sekali, cinta sederhana yang tak menuntut kesempurnaan. Hanya sebuah
rasa yang mengikat hati mereka. Membuat ku berkhayal akan seseorang yang
nantiakan ku cintai. Mencintai dengan sepenuh hati ku, tanpa cacat.
“Kia...” panggil ibu ku. Ayah ku berhenti
bercerita, ia menggerakan kedua bola matanya sebagai isyarat agar aku segera
memenuhi panggilan itu. Segera ku langkahkan kaki untuk menghampiri ibu ku.
“Ini..” ibu ku menyerahkan sebuah hand phone.
“Ada nomor Ustadzah di sana” tambah ibu ku.
Seolah mengerti akan tanda tanya besar yang melintas di kepala ku. Tanpa pikir
panjang, ku rain hand phone itu dan mulai menekan tutsnya.
Tiba-tiba jari-jemari ku menjadi kaku, ada rasa takut yang terselip di
antaranya. Aku gusar, dengan perlahan ku buka kotak pesan pada hand
phone ibu ku.
To : Ustadzah
Assalamu
a’alaikum, ini Kia bu.
Hari ini saya
kabur dan pulang ke rumah
Insya Allah
setelah semua selesai saya akan balik ke pondok
Terkirim sudah, sebuah pesan yang memberitahukan
pelanggaran ku ini. Aku yakin tanpa aku beri tahu pun, mereka akan tahu. Tak
lama berselang, hand phone ibu ku bergetar. Segera ku lirik
layar hand phone yang berkedip-kedip. “Satu pesan” desah
ku. Aku yakin pesan itu adalah balasan dari pesan yang baru saja ku kirim.
From : Ustadzah
Wa’alaikum
salam. Oh, Iya nantikalau sudah balik
Temui
ibu, biar kamu tahu hukuman mu
Bulu kuduk ku merinding, sebuah pesan itu bagai sebilah
pedang yang mengincar ku dari kejauhan. Tapi tak apa, aku harus belajar tentang
bagaimana manajemen resiko dan tanggung jawab. Akan ku temui Ustadzah yang
menjabat sebagai ketua bagian keamanan pusat itu dan menjalani apapun
hukuman yang akan diberikan.
*****
Aku sibuk dengan semua imajinasi dalam otak ku. Mencoba
menerka apapun yang akan terjadi saat aku kembali ke penjara suci itu. Aku tak
ingin pergi, sunggu tak ingin pergi. Aku ingin ada di dekat ibu yang selalu
memberi ketenangan saat aku gundah. Aku ingin di dekat ayah yang selalu
menopang ku untuk bangkit saat aku terjatuh. Aku ingin ada di dekat adik ku
yang selalu menggoda ku saat ku bersedih. Aku tak ingin pergi, Tuhan sungguh
aku tak ingin pergi. Langkah ku semakin berat, nafas ku sesak. Mengapa semua
ini terjadi, mengapa penjara suci itu harus ada dan memisahkan aku dengan
keluarga ku?
Kembali ku palingkan langkah ku dan berlari memeluk ibu
ku. Telah tiba saatnya aku untuk kembali. Tiga hari berlalu begitu cepat,
rasanya aku ingin menghentikan sang waktu agar aku bisa lebih lama lagi bersama
keluarga ku.
Tok...tok..tok..
Ku ketuk daun pintu begitu sampai di depan ruang
asatidzah[3]. Aku terdiam sejenak memandang kedua telapak kaki
ku. “Peristiwa besar menunggu mu di balik pintu itu, jangan takut.
Beranjaklah!”bisik ku pada diri ku sendiri. Kedua kaki yang dibalut oleh
sepasang kaus kaki hitam itu terlihat malu-malu. Mereka hanya terdiam, sambil
berbisik satu sama lainnya. Aku harus melakukan sesuatu, setelah menarik nafas
yang panjang, mulai ku gerakan tangan ku untuk menarik tangkai pintu di hadapan
ku. Seketika pintu itu bergetar, berderik menciptakan suara dentum yang cukup
keras.
“Assalamu a’laikum..” ucap ku begitu daun pintu setengah
terbuka. Masih tak ada jawaban, tak ada orang kah?
“Assalamu a’laikum..” ucap ku lagi.
“Wa’aliakum salam, dukhulan[4] !” jawab seseorang dari dalam. Aku kembali
menghirup udara sebanyak ku mampu. Entah mengapa aku khawatir tak
bisa melakukan hal itu setelah ku lalui pintu ini.
“Oh anti, kaifa haluki[5]?” tanya Ustadzah dengan nada penuh sindiran.
“In, inni bil khoeri alhamdulillah[6]” jawab ku sekenanya. ustadzah tampak sibuk dengan
bertumpuk-tumpuk dokumen di hadapannya. Ia sama sekali tak menoleh ke arah ku,
hanya sibuk dan sama sekali tak peduli dengan kehadiran ku. Mungkin artinya aku
harus menunggu, atau kehadiran ku di saat yang tidak tepat.
“Bagaimana liburan mu?” tanya Ustadzah lagi.
Tapi aku tak bergeming, berusaha mencari kata yang tepat untuk membuat sebuah
kalimat pembelaan atas diri ku.
“Yaudah langsung saja..” ucapnya lagi. Bola mata di balik
bingkai kaca mata berbentuk silinder itu tetap tak menoleh ke arah ku. Seolah
enggan dengan kehadiran ku.
“Ini, kamu pakai dan berdiri di tengah lapangan selama
satu jam. Dan seminggu kemudian kamu harus setoran surat al-waqi’ah. Kalau
telat akan ada hafalan lain yang menunggu” jelasnya sambil menyerahkan sebuah
kerudung bewarna merah kepada ku.
“I..iya ustadzah” jawab ku dan berlalu.
Aku kembali teringat saat pertama kali membaca rentetan hukuman yang terdapat di balik lembar peraturan. Di sana tertulis bahwa hukuman terberat ke dua dari semua hukuman untuk wanita adalah memakai kerudung bewarna merah sementara laki-laki di botak kepalanya. Dan aku bertekad bahwa aku tak akan menyentuh kerudung merah itu. Karena kerudung merah tak hanya menggambarkan si pemakai telah melakukan pelanggaran kelas berat tapi juga memberi kesan yang sangat buruk di lingkungan penjara suci ini. Dan kali ini kerudung merah itu ada dalam genggaman ku.
[1]Siapanamamu?
[2]Simak dengan baik, jangan mengobrol!
[3] Guru perempuan lebih dari dua
[4] Masuk!
[5] Oh kamu, apa kabar?
[6] Kabar saya baik, Alhamdulillah