Thursday 16 January 2014

Mata Itu #1

Hari itu..

Saat ku langkahkan kaki ku, terdengar sayup-sayup suara memanggil nama ku. Ku hentikan langkah ku, ku dapati ayah ku termangu memandang senja. Yeh senja, gurat merah tenggelam yang mempesona. Aku terpaku, meski masjid yang cukup besar berdiri kokoh di depan rumah ku. Tapi pesona senja tetap memukau mata ku.

"Sayang..." panggil ayah ku parau. Segera ku palingkan pandangan ku pada sosok pria luar biasa di hadapan ku. Lagi-lagi mata sendu itu menghipnotis ku, sungguh mata itu. Mata yang begitu dalam, saksi segala peih dan pahit perjalanan hidup yang dilalui ayah ku.

"Apa pernah punya cita-cita.." ucapnya kemudian. Semakin ku dekatkan diriku, ku sandarkan kepala ku pada ujung-ujung lutut yang mulai renta itu.

"Ingin jadi seorang pejuang islam, berdakwah seperti oyot dan uyut ipi dulu. Keluarga kita memang berdarah seorang pendakwah."

"Apa kan sekarang duka dakwah, itu artinya apa udah berhasil meraih cita-cita" ucap ku, berharap dapat mengusir sendu di matanya. Ayah ku seorang yang tak pernah mengeluh. Selalu mengajarkan kemandirian pada diri ku. Tapi mata itu tak bisa berbohong, bola mata coklat yang terbingkai oleh kelopak yang tegas itu menceritakan semuanya.

"Tapi apa berharap, garis dakwah dalam keluarga kita gak terputus di apa"
"Dan apa liat, kemampuan itu ada di ipi"

DEG..!!!

 "Untuk bisa bermanfaat bagi dunia kan gak harus jadi ustadzah pak" ucap ku.

"Iya, tapi lebih baik lagi kalau sambil syiar dan berdakwah. Gak cuma bermanfaat bagi dunia tapi juga akhirat"
"Banyak ko ustadzah yang kuliyahnya di ekonomi, hukum dan lain-lain"

"Tapi pak." sergah ku.

"Apa gak liat jiwa itu di dede, tapi apa gak maksa. Semua jalan terbentang dan apa cuma kasih saran"

Azan berkumandang dan senja mulai hilang. Ayah ku bangkit dan membelai kepala ku lembut lalu pergi ke masjid. Aku terpaku, "Ustadzah" bukan hal yang mudah. Dan aku masih diselubungi akan bola mata coklat yang sendu itu. Ayah ku telah berharap. Dan baru kali ini ayah ku mengungkapkan keinginannya atas ku. Tapi aku.............

Wednesday 8 January 2014

"Bila" Karya Rudyard Kipling pada 1909









Bila kau tetap bisa menegakan kepala ketika semua orang di sekitar mu tidak dapat melakukannya dan mereka menyalahkan mu..
Bila kau bisa menaruh kepercayaan pada dirimu ketika semua orang meragukan mu, tapi kau juga memperkenankan keraguan mereka..
Bila kau bisa menunggu dan tidak lelah menunggu,
Atau dibohongi tapi tidak berbohong,
Atau dibenci tapi tidak membenci,
Namun kau tidak tampak terlalu baik, dan berbicara dengan bijak.

Bila kau bisa bermimpi tapi tidak diperbudak mimpi mu,
Bila kau bisa berpikir tapi tidak menjadikan pikiran mu sebagai tujuan mu,
Bila kau bisa menghadapi kemenangan dan bencana
Dan memperlakuka kedua penipu ini setara
Bila kau mampu mendengar kebenaran yang kau ucapkan
Dipelintir oleh para bajingan untuk membuat perangkap bagi orang bodoh
Atau melihat hal-hal yang kau curahkan untuk kehidupan mu menjadi hancur
Dan membungkuk dan membangunya kembali dengan alatalat usang..

Bila kau bisa membuat kemenangan mu menjadi satu tumpukan..
Dan meresikokannya pada sebuah permainan lontaran dan lemparan..
Dan kalah dan memulainya lagi dari awal,
Dan tidak pernah mengatakan sepatah kata pun tentang kekalahan mu..
Bila kau bisa memaksa jantung dan saraf dan urat mu,
Melayani giliran mu jauh setelah semua itu tiada
Dan terus bertahan ketika tidak ada sesuatu dalam diri mu..
Kecuali kamauan yang mengatakan padanya "Bertahanlah !"

Bila kau bisa berbicara dengan kerumunan orang dan mempertahankan kebijakan mu
Atau berjalan dengan para raja dan tidak kehilangan sentuhan umum,
Bila baik musuh maupun teman tidak dapat menyakiti mu..
Bila semua orang berhitung pada mu, tapi tidak terlalu banyak..
Bila kau bisa mengisi menit yang tidak kenal ampun..
Dengan berlari jauh selama enam puluh detik..
Dunia dan isinya akan menjadi milik mu.
Dan lebih dari itu, kau akan menjadi Manusia dewasa, anak ku !



Wednesday 1 January 2014

Perjalan itu, "Puncak Gede Pangrango"

26 Desember 2013,
Waktu kian berlalu, detik-detik masih enggan untuk sejenak beristirahat dalam peraduan ku. Mereka tetap berlalu menjauh dan meninggalkan ku yang saat itu tengah menunggu sesuatu yang menurutku akan menentukan pergi atau tidak aku dalam petualangan luar biasa bersama mereka yang pula luar biasa. Dalam untaian doa yang teriring jutaan harap, aku terdiam dan masih menunggu hingga akhirnya. Ku putuskan untuk mengambil daypack dan mengencangkan tali sepatu ku. Menuju pondok pesantren Daarul Uluum tercinta untuk memulai petualangan baru ku..

Setelah berkemas aku langsung berangkat menuju terminal kampung rambutan, diantar oleh adik laki-laki ku. Alwi Abdul Aziz namanya. Setelah lama menunggu akhirnya aku tiba di pondok pesantren Daarul Uluum. Redam sudah badai rindu yang mengamuk dalam hati ku, kini pintu gerbang itu berdiri kokoh di hadapan ku. Tak lama menunggu datanglah mereka. Mereka yang akan mengukir sejarah bersama ku dalam sebuah perjalanan panjang menuju puncak gunung gede pangrango. Mereka adalah Choerunnisa, Rhafika Medik, Fikri Aziz, Muhammad Iqbal, Andi Muhammad Yasin, Fikri junior, Abdul rohim, Alip dan Aji.

Malam itu terasa sangat luar biasa untuk ku, angin tak ragu-ragu berhilir mudik membuat ku semakin merapatkan kepalan jari jemari ku. Bintang gemintang terlihat lebih terang, aku benderang. Semakin tak sabar untuk mulai melangkahkan kaki ku.

27 Desember 2013,
Setelah sarapan untuk mengganjal perut kami semua, aku, bolang (Fikri Aziz) dan balunk (M. Iqbal) pergi menuju gedung TNGGP untuk mengurus perizinan simaksi. Setelah menunggu ribuan detik itu berlalu akhirnya nama ketua kelompok kami si bolang di panggil juga oleh recetionist. Aku galau, detak jantung ku semakin cepat berpacu oleh tiap hembusan nafas ku. Teringat akan beberapa persyartan yang terlupa oleh ku. Surat pernyataan dari orang tua dari Alip dan Fikri yang saat ini masih duduk di bangku SMA. Peluh kian deras membasahi tubuh ku, aku benar-benar khawatir saat ini. Dan benar saja, ketika ku palingkan wajah ku pada bolang yang telah usai berbicara dengan petugas. Masih tak di berikan izin untuk kedua teman kecil ku itu. Meski Balunk yang berperan sebagai kepala rumah tangga telah berbicara dengan tegas tetap petugas itu tak memberikan perizinan untuk kami. Hingga akhirnya kami putuskan untuk menghubungi ibunda Balunk dan Alip untuk bersaksi bahwa beliau telah memberikan izin kepada mereka. Yah..walaupun sebernernya linu hati ku ketika tahu ada seorang pendaki putri yang baru saja meninggal terjangkit hipotermia alias kedinginan. Dan dengan alasan itu pula lah para petugas memperketat perizinan. Untuk meminimalisir resiko terburuk yang akan terjadi. Dan karena itu pula lah, kami tak pula diberi izin. Meski ibunda Balunk  sudah mengikhlas dan ridho akan kepergian anaknya untuk menjejaki puncak gunung gede pangrango.

Waktu terus terus berlalu, berbagai usaha terus kami lakukan untuk mendapatkan izin itu. Mulai dari melobi mang keling, petugas jaga di pos satu sampai pak polisi yang ikut memperketat penjagaan. Tapi apadaya izin masih belum di tangan. Membatalkan perjalanan sungguh tak mungkin, sudah berhari, minggu bahkan bulan kami menantikan perjalanan ini. Memulangkan teman kecil kami pun mana kuat hati ini. Hingga akhirnya Balunk si kepala rumah tangga dengan bijak dan lapang dada berkata "Yaudah kalian pergi ajah, biar gue yang jaga Alip sama Fikri disini". Aku tertegun, meski sudah di katakan seperti itu rasanya tak akan sama. Aku tak beranjak begitupun yang lainnya. Kami seolah tak ikhlas dengan keikhlasan Balunk tapi tak pula redo kalau perjalanan ini dibatalkan. Sungguh sedikit kekeliruan berakibat sangat fatal, aku semakin hanyut dalam sesal ku.

"Udah...udah...ayo semua pergi sekarang, sebelum petugas itu dateng lagi" ucap seseorang. Aku bangkit, entah siapa yang berkata seperti itu. Tapi siapapun itu, adalah sebuah pertanda bahwa usaha kami melobi mang Keling tidak sia-sia. Kami diberi izin masuk meski hanya dengan delapan simaksi. Ukhti vica dan ukhti Nisa menarik nafas panjang. Butiran air mata pun menyembul di sudut bola mata mereka. Aku girang, kekhawatiran ku dan semua hal buruk dalam benak ku hilang sudah. dan kini kembali ku kencangkan tali sepatuku, memulai perjalanan itu.


Hey..sungguh di luar dugaan ku. Gambaran jalan yang rata mulus itu tak ada di sini. Hanya jalan terjal menanjak dan berbatu. Belum sepuluh menit kaki ku berjalan, nafas ku bagai tengah di buru oleh waktu. Lelah menggelayuti tubuh ku, kunang-kunang mulai menyambar pandangan ku. Mungkin akan berbeda bila persiapan fisik ku lebih matang dari ini.

Tapi dengan semangat para pejuang perang badar aku tekatkan niat ku, mulai dari curug ci beurem, telaga biru, dan kandang batu telah berhasil kami lalui. Sebelum melewati kandang batu kami melewati air terjun air panas yang dikelilingi batu-batu kali yang licin dan berlumut. Tentu saja sangat menakutkan dan harus lebih ekstra hati-hati. Sisi kanan jurang sisi kiri terjun air panas. Tapi justru disitu kerennya.Ini dia pic yang kita ambil setelah berasil melewati jurang dan terjun air panas. Merelaxasi kaki dengan merendamnya di aliran sungai air hangat. Ceeeeeeeerrrrrrrsssssssss...

Karena hari mulai larut, kami putuskan untuk camp di Kandang Batu. Lembab, gelap dan dingin itulah suasana yang mendominasi di kandang batu. Pohon-pohon yang tinggi dengan julur yang menjuntai, sesekali suara gagak memperkental aroma mistis sekitar kandang batu. Dan benar saja ketika aku dan iim hendak wudhu untuk menunaikan sholat magrib ada suara-suara aneh yang mengudara. Aku terdiam, tapi hati ku teriak berontak. Ingin segera lari dan mencari tempat ramai yang bisa membuat ku nyaman. Tapi ku urungkan niat ku, terlintas pesan dari beberapa teman yang sudah menjejakan kakinya terlebih dahulu di puncak gede pangrango itu. Mereka bilang apapun yang kita lihat, apapun yang kita rasa dan dengar. Jangan panik, stay calm dan berdo'a. Makanya aku tetap terdiam sambil membaca mantra pesan ayah ku. Ayat kursi, Al-Ikhlas, Al-falaq dan An-Nas. Untuk mengusir gangguan jin dan melindungi perjalanan kami dengan izin Allah. Tapi tiba-tiba iim menarik ku berlari menjauh dari tempat itu. Ya ampunnn....apa yang akan terjadi bila seperti ini. Tak hanya itu ada pula rekan ku si Balunk yang melihat makhluk bewarna putih. Bikin greeeeerrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrhh ajah nih.

Setelah bermalam di kandang batu, keesokan paginya kami kembali memulai perjalanan menuju kandang badak dan puncak gunung. Saat mentari masih sibuk mencari celah untuk bisa menerobos masuk ke dalam jantung hutan. Kami sudah bergerak, cepat dan berpacu. Aku sesak, sungguh nafas ku mulai tersendat. Aku tak percaya bila sesak ini karena astma yang ku derita sejak lahir itu. Karena sudah lama astma ku hilang sembuh total berkat do'a dan usaha orang tua ku dengan izin Allah. Tapi kini sesak kembali menyerang paru-paru ku. Dan baru ku ketahui bahwa pasokan oksigen mulai sedikit. Semakin tinggi semakin menyempit, dan itulah yang menyebabkan langkah ku semakin berat dan kian bertambah berat. Tapi akhirnya kami tiba di kandang badak. Dalam perjalanan menuju kandang badak, kami bersama dengan rombongan lain yang berasal dari lampung. Karena paketu berasal dari lampung sangat mudah untuk kami saling berbaur. Jadilah tim kami bertambah enam orang menjadi 16 orang. Aku tak ingat banyak nama-nama mereka yang masih terlintas hanya seorang pria yang bernama "Yeeayyy!!" dan gadis bernama Reta dan Kiss. Mungkin karena keunikan yang terkandung dalam nama mereka membuat ku mudah untuk mengingatnya.

Misi tinggal sedikit lagi, setelah di kandang badak kita tak perlu membawa banyak bawaan. Hanya membawa diri dan perlengkapan seadaanya. Hanya tinggal beberapa senti lagi kalau dilihat dari peta. Tapi aslinya, bujubuneng... turun bero guys..!! semakin lama semakin menanjak semakin curam semakin menantang dan semakin lelah. Semakin banyak juga para PHP, bilangnya sih "semangat ya pasti bisa bentar lagi ko gak sampe sepuluh menit" aslinya masih 1 jaman lagi. Oooeeemmmjiiii -,- Tapi semangat itu semakin membara, ingin segera menginjakan kaki di puncak gunung gede pangrango. :)
Dan ini dia...








Guysss!!!! Di puncak lah yang menggambarkan betapa kecilnya kita. Sama sekali tak patut kesombongan itu masih bersemayam dalam dada. Dalam pendakian yang TERKUAT bukanlah dia yang bisa tiba dan kembali paling pertama dari yang lainnya, tapi Dia yang mampu menahan gejolak jiwanya untuk segera sampai demi keselamatan rekan-rekannya. Thanks for you all :*

Rangkuman Debat Pertama Capres 2024

Anies Baswedan Visi dan Misi 1.        Menempatakan hukum sebagai rujukan utama untuk memastikan hadirnya rasa keadilan memberikan keber...